Download App

Chapter 2: MEMULAI KEHIDUPAN BARU

Satu tahun berlalu. Ada banyak hal yang sudah aku lewati. Dua belas bulan penuh makna. Dimana aku berjuang untuk membiasakan diri dengan kesendirian. Berusaha tegar, walau ada lubang luka menganga di lubuk hatiku yang terdalam.

Aku yang sudah resmi menyandang status janda pindah dari kota asalku. Sejak memutuskan untuk keluar dari rumah yang aku tinggali bersama Ramdan, aku tinggal di rumah orang tuaku. Sekarang aku keluar dari rumah mereka dan ingin memulai hidup baru di lingkungan yang baru. 

Pergi sejauh mungkin, melupakan semua kenangan yang pernah terlukis di kanvas hidupku. Aku tidak pernah menyesal bertemu Ramdan, tetapi kalau saja aku bisa memilih, aku tentu saja memilih untuk tidak pernah bertemu dengan lelaki seperti dia.

Letak rumah orang tuaku yang tidak terlalu jauh dari rumah yang pernah aku tempati berdua dengan Ramdan merupakan salah satu faktor yang membuatku melakukan ini. Ada seseorang yang pernah berkata padaku, cara terbaik untuk melupakan seseorang adalah tidak lagi menjalin interaksi dengan orang tersebut.

Di dalam benakku, aku belum memiliki keinginan untuk memulai kembali hubungan pernikahan dengan siapa pun. Selama satu tahun kesendirianku, sudah banyak lelaki yang memintaku untuk menjadi istri. Sayangnya, perselingkuhan Ramdan meninggalkan luka yang teramat dalam di hatiku. Aku seperti mati rasa dan tidak memiliki keinginan untuk menikah. Mungkin suatu hari nanti.

Kegagalan dalam pernikahan memang sering menimbulkan trauma tersendiri bagi sebagian orang dan aku termasuk salah satu dari mereka. Setiap lembar kegagalan yang terangkum dalam buku hitam pernikahanku dan Ramdan masih begitu jelas isinya. Bagiku, kegagalan itu bukan tidak mungkin akan terulang kembali.

Beberapa temanku justru memberikanku dorongan untuk segera menikah lagi, melupakan Ramdan, dan memulai hidup bahagia. Bagiku, semua tidak sesederhana itu. Setelah gagal, aku tidak ingin gagal lagi untuk kedua kali. Aku ingin menata kembali puzzle hidupku perlahan, satu persatu, dengan sangat hati-hati.

Sekarang aku tinggal di sebuah kota yang cukup padat penduduknya. Menempati sebuah kontrakan dengan fasilitas yang lumayan. Aku sengaja memilih tempat yang minimalis untuk menekan pengeluaranku. Ruangan yang aku tinggali merupakan sebuah rumah dengan ukuran sedang dua lantai dan aku hanya menyewa lantai dasarnya saja.

Aku pergi berbekal uang hasilku bekerja selama aku tinggal bersama orang tua. Beberapa hari belakangan aku baru saja diterima bekerja sebagai cleaning service di sebuah rumah sakit yang cukup terkenal di kota ini. Berharap, ini awal dari kisah manis yang mulai aku tulis kembali.

Pagi ini merupakan hari pertama aku masuk kerja. Aku berpakaian apa adanya. Kaos panjang yang sedikit kebesaran hingga hampir selutut dan celana jeans sebagai bawahannya. Jilbab instan bertengger di kepala untuk menutupi rambut panjangku. Tidak lupa, aku juga mengenakan kaos kaki. Lagipula, di sana nanti aku akan ganti dengan baju seragam khusus. Kebetulan pihak rumah sakit tempatku bekerja mengizinkan pekerjanya untuk mengenakan hijab. 

Aku bukanlah seorang wanita suci. Kehidupan masa laluku sebelum menikah tidak sebaik sekarang. Aku dulu belum berhijab dan berpakaian layaknya wanita pada umumnya. Dengan rambut tergerai dan juga pakaian ketat pas badan.

Sejak menikah dengan Ramdan, aku memutuskan untuk berpenampilan tertutup. Meskipun dia tidak setuju dengan keputusanku, aku tetap melaksanakannya. Semua bermula saat aku melihat sebuah postingan di laman Instagram tentang kewajiban seorang wanita menutup aurat. Aku pikir, aku harus memulai untuk menutup diriku. 

Mungkin hal ini yang membuat Ramdan akhirnya berpaling, tetapi aku tidak menyesal. Dengan menutup diriku aku akhirnya mengetahui kalau dia tidak pernah tulus mencintaiku. Dia hanya mencintai kemolekan fisikku yang terbuka. Entah mengapa, kejadian ini semakin membuatku bertekad untuk berpakaian dengan baik dan benar menurut kepercayaanku.

Karena jarak yang tidak terlalu jauh, aku menggunakan jasa ojek online khusus wanita untuk mengantarku ke lokasi kerja.  Tentu saja aku tidak ingin sembarangan menggunakan jasa angkutan umum. Sebagai seorang wanita apalagi dengan statusku yang sekarang, aku harus menjaga diriku dengan sebaik-baiknya. 

Seorang janda adalah status yang sangat sensitif. Ramah terhadap siapa saja dianggap genit, acuh dibilang jual mahal. Serba salah, tetapi aku tidak takut. Aku tidak keberatan dengan statusku sekarang. Aku bisa tersenyum dari hati. Bukan hanya sebatas ulasan bibir. Ya, aku bahagia berpisah dengan Ramdan. 

Sesampainya rumah sakit tempatku bekerja, aku bergegas ke ruang ganti khusus karyawati yang kemarin ditunjukkan oleh petugas yang menerimaku bekerja.  Mengganti pakaianku dengan pakaian khusus lalu mengambil beberapa peralatan untuk membersihkan lantai. Seperti sapu dan juga kain pel. 

Suasana rumah sakit masih sangat sunyi. Aku sempat melirik jam tanganku, masih menunjukkan  pukul enam pagi. Suasana yang sunyi itu membuat suara tepukan sendal jepitku menggema. Belum terbiasa dengan tempat kerjaku yang baru membuat bulu kudukku berdiri. Aku hanya berdoa dalam hati, semoga tidak ada penampakan yang muncul seperti yang aku lihat di layar televisi.

Aku tidak bekerja sendirian. Ada beberapa pekerja lain. Aku juga memiliki area yang harus dibersihkan. Setiap kami memiliki area kerja masing-masing. 

Aku bertugas di bangunan yang khusus untuk area Dokter Spesialis. Di bangunan itu berisi deretan ruangan-ruangan khusus. Mulai dari ruangan spesialis mata, kulit, penyakit dalam, anak dan lain sebagainya. 

Aku tidak keberatan menjalani pekerjaanku sekarang. Aku sadar diri, pendidikanku tidaklah tinggi. Di zaman seperti sekarang, semua pekerjaan harus menggunakan ijazah dan juga tidak jarang yang harus menggunakan uang pelicin. 

Aku hanya ingin bekerja dengan nyaman, meskipun menguras tenaga. Pekerjaan ini membuatku mengenang masa-masa pacaran dengan Ramdan. Dulu dia sering menjemputku pulang dan terkadang mengantarku ke tempat kerja. Dia terlihat begitu manis dan sangat menyayangiku. Sayangnya semuanya tidak berlangsung lama. Rasa cinta Ramdan padaku ternyata luntur seiring waktu. 

Aku mendengar suara ketukan sepatu menggema, mengisi setiap sudut kosong tempatku membersihkan lantai. Aku penasaran dan menoleh ke arah sumber suara. Sungguh, aku terpana pada sosok pria berseragam putih yang sedang berjalan ke arahku.

Dia tampak buru-buru. Wajahnya sangat tampan seperti tanpa noda layaknya aktor luar negeri. Aku segera memalingkan pandanganku. Aku tahu aku salah. Tidak seharusnya aku memandangi lelaki sampai seperti ini. Ya, aku sadar, aku harus menjaga pandanganku.

Aku membiarkan derap kaki itu terus mendekat. Mencoba tidak peduli dengan apa yang aku lihat. Bisa saja, lelaki itu sudah beristri. Lagipula, aku tidak berhak mengira-ngira apapun tentangnya. Dia hanya seseorang yang baru saja ku lihat.

"Permisi, maaf saya sudah mengotori lantai yang baru saja mbak bersihkan," tegur lelaki itu dengan sangat ramah. 

Aku berdiri, membuat diriku menghadap ke arahnya. Dia tersenyum, manis sekali. Senyumnya saja sudah membuat jantungku berdebar. Aku membalas senyumannya senatural mungkin. Berusaha menghilangkan rasa canggung yang perlahan menyelimuti perasaanku.

"Tidak apa-apa, Dok. Saya tidak keberatan untuk membersihkannya lagi," sahutku dengan sopan. Aku tidak ingin terkesan ketus, apalagi ini kali pertama kami bertemu.

"Mbak baru, ya?" tanyanya seraya mengamati wajahku. Mungkin dia memang mengenali wajah satu per satu petugas kebersihan di rumah sakit ini.

"Benar. Saya baru bekerja hari ini," jawabku tetap dengan sopan. 

"Oh, benar. Saya lupa kalau Mbak Wati yang biasa membersihka  koridor ini cuti melahirkan. Perkenalkan, nama saya Haris." Lelaki itu mengulurkan tangannya. Dia berusaha memperkenalkan diri.

"Saya Risma." Aku mengatupkan kedua telapak tanganku sebagai tanda perkenalan. Dia paham, aku tidak bisa berjabat tangan dengannya. 

"Kalau begitu, selamat bekerja. Saya masuk ke ruangan saya dulu," katanya seraya tersenyum lalu meninggalkanku. Menyisakan debaran yang entah mengapa masih terasa sampai detik ini.

Aku tidak menyangka dia akan seramah itu, tetapi dinilai dari perkataannya, dia dekat dengan semua orang. Terbukti dia juga mengenal baik pekerja sebelumnya. Jadi semua percakapan kami bukanlah hal spesial. 

Aku kembali bekerja. Masih banyak yang belum aku bersihkan. Jam masuk kerja tidak lama lagi, aku harus bergegas.  Dipikiranku muncul sebuah pertanyaan, untuk apa Haris datang sepagi ini?

Aku menyempatkan diri menoleh dan membaca tulisan yang ada di atas pintu masuknya. Dari sana aku tahu, dia seorang Dokter Spesialis Anak. Entah mengapa mengenang lelaki itu membuatku tersenyum. Dia memang benar-benar makhluk ciptaan Tuhan yang begitu indah.

Aku segera menepis isi pikiranku. Tidak ingin terlarut dalam godaan pria berwajah bening itu. Sebenarnya dia tidak menggoda, hanya aku saja yang tergoda. Dia tampaknya seperti lelaki lembut dan perhatian.

Sekali lagi aku menepis pemikiranku. Semua lelaki sama saja. Manis di awal dan akan pahit akhirnya. Rasanya aku sudah cukup puas mengalami kejadian tidak mengenakkan selama menikah dengan Ramdan. 

Tuhan, apakah aku bisa mendapatkan pengganti yang lebih baik dari Ramdan? Sampai kapan aku menutup hatiku untuk pria? Sekarang, bolehkan aku mulai membuka hati lagi?


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login