Download App
83.93% JANJI

Chapter 162: Maaf

Pagi hari sepetti biasa sebagai seorang ibu, meri turun tangan untuk menyiapkan sarapan junior. Baginya, selama ia masoh sehat maka wanita lain tidak perlu mengurus keluarganya. Hanya ilham yang terlalu berpikir hal ini merepotkan hingga kini ia bahkan tidak bisa bergerak bebas di rumahnya sendiri.

Rumah itu semakin luas tapi meri merasa pergerakannya semakin terbatas. Saat di luar kamar ia masih harus menutup tubuhnya rapa-rapat karena banyak pengawal dan koki pria yang berlalu lalang.

Dapur yang biasanya menjadi tempat ia bisa bebas berekspresi dengan pakaian minim kini menjadi siksaan neraka baginya. Suaminya memang memanjakannya tapi ia tidak terlalu menyukai cara itu.

Seharusnya ia hanya perlu satu orang asisten rumah tangga dan satu sopir untuk junior.

Setelah sarapan bersama dan bersiap, meri secara pribadi mengantar junior ke sekolah.

"nyonya, anda sebaiknya istirahat saja. Biar saya yang mengantar tuan muda" kata sopir.

Ilham adalah bos yang tegas bahkan terbilang kejam. Ia tidak segan memevat siapapun yang ia anggap lalai bahkan jika itu fatal maka tidak jarang mereka akan berakhir di rumah sakit sebelum di buang.

Itulah yang membuat para asistennya menjadi waspada dan penuh pertimbangan saat menjalankan tugasnya.

"tidak perlu. Aku masih bisa" jawab meri kemudian masuk ke kursi pengemudi.

"nyonya, tuan akan memecatku jika tahu nyonya yang mengantar tuan muda"

"aku tidak akan memberi tahunya begitu juga kau. Tenanglah, tuanmu masih tidur"

"tapi nyonya..."

"minggirlah. Anakku akan terlambat"

Sopir itu dengan langkah teratur mundur menjauh dari mobip yang kini mulai melesat keluar dari pekarangan.

Jalanan cukup ramai lancar di pagi hari. Aktivitas anak sekolah dan arus berangkat kerja memenuhi jalan raya.

"ibu, tante clara. Ku rasa dia sengaja ingin mendekati ku" kata junior sambil memandang lekat ke arah ibunya yang fokus pada kemudi.

"jika ayahmu menyukainya, bagaimana menurutmu?"

"dia terlihat baik saat bersama ayah, jadi aku tentu akan setuju. Tapi tidak untuk menjadi pengganti ibu" tegas junior.

Sejak awal dia tidak memiliki masalah pada siapa ayahnya akan menikah lagi. Tapi jika wanita itu ingin mengambil posisi ibunya ia tidak pernah setuju.

"jika dadi bisa menjadi pengganti ayah, lalu mengapa clara tidak bisa menjadi pengganti ibu?"

"dadi tidak pernah menggantikan ayah. Posisi mereka berbeda, aku menyayangi dadi bukan berarti aku menggantikan ayah dan dadi juga tidak pernah bermaksud untuk hal itu. Tapi tante clara, sangat jelas dia ingin menggantikan ibu dan aku tidak bisa menerimanya" jawab junior.

"ibu menghargai pendapatmu. Biarkan ayahmu bahagia dan kita bisa bahagia dengan kehidupan kita bersama dadi dan adikmu"

"adik?"

Meri menghentikan mobilnya di depan pagar sekolah junior, memalingkan wajahnya untuk menjawab pertanyaan putranya dengan senyum yang sangat indah di pagi itu.

"Mmm, kau akan menjadi kakak. Apa kau tidak suka?"

"apa sekarang aku sudah punya adik?"

"belum sekarang, tapi tidak lama lagi. Jadilah anak baik, belajar yang giat dan mulai sekarang harus belajar mandiri. Sebagai kakak, kau yang akan melindungi adikmu. Bagaimana? Apa jagoan ibu ini siap?" meri menatap dalam putranya.

"tentu"

Junior sudah bisa mengerti bahwa tidak selamanya ia menjadi seorang anak tunggal. Temannya sudah banyak yang memiliki adik atau kakak jadi sangat wajar jika ia juga menjadi seorang kakak.

Selama hal itu membuat ibunya bahagia ia akan ikut senang. Lagipula janji dadi nya tidak akan pernah ia ingkari jadi ia cukup santai menghadapi situasi ini.

Meri melajukan mobilnya kembali ke rumah. Tidak butuh waktu satu jam setelah ia meninggalkan rumah dan ia sudah kembali ke rumah itu lagi.

"APA KALIAN DI SINI UNTUK BERSENANG-SENANG?"

Suara teriakan itu terdengar jelas saat meri baru saja melangkahkan kakinya memasuki rumah.

Pandangan selanjutnya, semua asisten rumah tangga termasuk sopir berdiri dengan wajah tertunduk dan tubuh yang bergetar ketakutan. Sepertinya sudah sangat lama mereka mendapat kemarahan itu hingga tak ada lagi rona di wajah mereka.

"kau, apa gunanya aku menunjukmu sebagai asisten kepala jika hal seperti ini tidak kau tangani. Jika istriku tetap harus memasak dan mengurus anakku lalu UNTUK APA KALIAN DI SINI"

meri berdiri mematung mendengar kemarahan ilham. Bukan marah, itu lebih tepat di kategorikan murka. Urat lehernya bahkan menegang saat meluapkan emosinya.

Pria itu berubah memgerikan. Mungkin bukan berubah, sepertinya inilah dia yang sesunggunya hanya saja meri tidak mengingat betapa memgerikan saat suaminya menunjukkan dirinya.

"apa yang kalian lakukan?" meri melangkah perlahan berlagak seolah ia sedang memarahi para asisten itu. "pergilah, bukankah masih banyak pekerjaan yang menunggu kalian?"

Walau kalimat itu berisi kemarahan, sangat jelas nada suaranya ingin menyelamatkan mereka. Kaki mereka sudah sangat ingin berlari mendengar itu tapi otak mereka masih sadar bahwa tuan mereka saat ini belum memberi perintah.

Jika mereka nekad pergi maka itu sama saja mereka tidak patuh pada tuannya. Sangat beresiko walau tuan mereka sangat memajakan istrinya tetap saja keputusan ada pada tuan mereka.

"kau sudah bangun? Ini baru jam delapan" meri berbalik menghadap ilham yang memandangnya dengan tatapan marah. "kalian pergilah"

Dengan satu lambaian tangan dari ilham, semua asisten itu segera berhamburan ke berbagai arah seakan memcari perlindungan.

"aku hanya belum terbiasa menyerahkan semua pekerjaan pada asisten rumah tangga. Badanku masih sehat dan cukup mampu melakukannya sendiri" kata meri membela diri.

"kalau begitu kita pecat semuanya dan kau bisa melakukan apa yang kau mau. Mereka mungkin akan menjadi pengangguran setelah keluar dari sini tapi itu bukan masalah. Memelihara manusia tidak berguna itu sangat sia-sia" jawab ilham ketus.

Entah mengapa kalimat itu seakan menyalahkan dirinya jika puluhan orang itu harus menjadi pengangguran. Dia di hadapkan pada dilema.

"bukan begitu. Aku hanya perlu menyesuaikan diri dengan mereka. Aku sulit berkeliaran karena terlalu banyak asisten rumah tangga laki-laki yang berkeliaran"

"kita pecat semua pegawai pria dan gantikan dengan perempuan. Ku rasa itu solusi bagus" ujar ilham.

"tidak tidak. Tidak perlu memecat mereka. Begini saja, saat aku berada di rumah semua pegawai pria di liburkan atau mereka cukup bertugas di luar jadi hanya koki wanita dan asisten wanita yang akan membantuku. Saat aku di luar mereka semua boleh bertukar shift. Intinya, sesuaikan shift pria dengan shift kerjaku"

Tak tahu dari mana asal pemikiran itu, meri merasa itu adalah ide terbaik yang bisa di lakukan.

"siapa yang mengizinkanmu bekerja?"

Meri "...."

"tinggallah di rumah selama trimester pertama mu. Kau boleh bekerja jika sudah memasuki trimester kedua"

"ilham, aku tetap ingin bekerja. Cuti hamil itu saat mendekati waktu melahirkan bukan pada awal kehamilan"

"bisakah kau tidak melawanku kali ini? Untuk anak kita" ilham meminta dengan tatapan sendu hingga meri tidak mampu menolaknya.

"baiklah"

Keputusan tidak bekerja sama halnya ia melepaskan karirnya. Ini di luar harapannya sejak awal. Mulanya ia akan tetap bekerja hingga kandungannya berusia delapan bulan dan akan cuti ketika memasuki bulan ke sembilan.

Larangan suaminya seakan meruntuhkan semua jerih payahnya selama ini. Hingga ia berjalan lesu dengan wajah tertunduk ke kamarnya.

Di hotel, andre berusaha merayu clara dan meminta maaf karena memukulnya. Sebagai pria, sesalah apapun clara dia tetap tidak pantas untuk di pukul.

"clara, aku benar-benar minta maaf. Buka pintumu, kita bicara sebentar. Jika kau tetap ingin kembali ke Indonesia maka aku tidak akan menahanmu"

Pandangan dari orang yang berlalu lalang di lorong itu sama sekali tidak membuatnya gentar. Ia sudah melupakan rasa malunya karena harus memohon pada wanita. Sangat langka tapi itu bukanlah hal yang mustahil.

Saat bersama meri ia sudah lebih sering memohon di bandingkan meri. Tapi itu tidak membuat ia merasa harga dirinya terinjak-injak.

"pergilah. Aku tidak mau bicara denganmu" teriak clara dari dalam kamar.

Kamar hotel itu memiliki sistem kedap suara yang buruk jadi suara dari dalam terdengar jelas.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C162
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login