Download App

Chapter 5: Pengakuan Seorang Pembunuh

"AAAAAAA!"

Dug!

Dari sela-sela kelopak matanya yang menyipit karena kaget dengan adegan penusukan di depannya, Marnie melihat Riku menyaduk pemuda itu. Tanpa perlawanan, pemuda itu mundur hingga punggungnya mengenai mobil di samping kiri taksi yang dinaiki mereka.

"Kau tidak apa-apa?" Marnie yang panik menelisik rembesan warna merah pada seragam tentara kuno itu. "Kita harus ke rumah sakit."

Namun, Riku yang meringis kesakitan malah menyentil keningnya. "Dasar bodoh. Tidak ada rumah sakit di labirin ini."

Ah, Marnie baru ingat.

Keterkejutan itu membuat otaknya gagal berpikir logis. Tapi, dia juga ingin menyangkal. Tidak ada hal logis dari semua ini. Bahkan, kematiannya yang diributkan Riku itu pun masih belum diterimanya sebagai sesuatu yang mungkin terjadi.

"Apa kau akan baik-baik saja?"

Riku mengernyit. "Kenapa kau peduli?"

Ditanya seperti itu pun, perempuan yang kini berdandan layaknya wanita karir itu juga tidak paham. Kenapa dia harus mengkhawatirkan lelaki yang tadi sudah siap dan dengan senang hati akan menghunuskan pedangnya pada Marnie?

Harusnya, dia lebih khawatir mengenai pemuda yang baru saja menjadi pelaku penusukan setan neraka yang memperkenalkan diri sebagai Agen A-8989 ini.

Buru-buru dilihatnya pemuda yang masih memegangi perutnya itu. Bersandar pada mobil di sampingnya, dia mengangkat cutter yang berlumuran cairan sewarna dengan langit di dunia ini. Marnie mulai mual mendapati warna darah di mana-mana. "Menjauh darinya," begitu kata si pemuda pemilik dunia ini.

Dengan tangan kiri yang menutup luka tusuk, Riku keluar dari mobil taksi. "Kalau kau belum mati, aku akan membunuhmu sekarang juga."

Tidak menyukai ancaman bunuh-membunuh yang digaungkan oleh lelaki berseragam coklat itu, Marnie ikut keluar dan mendorong mereka agar agak menjauh dari satu sama lain. "Hentikan semua itu. Aku tidak ingin melihat kalian berkelahi."

"Dia mengancammu!" pemuda itu menunjuk dengan tatapan benci.

"Ini tidak ada urusannya denganmu," sergah Riku, sama marahnya.

"Tentu saja ini urusanku!"

Marnie tidak habis pikir. Pertama kali dia bertemu dengan pemuda itu, dia didorong dan ditampar. Amarah yang memuncak karena kehilangan ibunya itu menjadi bahan bakar dan alasan. Tidak apa-apa memukul orang lain, termasuk perempuan, karena menurut pemuda itu, Marnie bersalah atas kematian ibunya.

Namun, yang terjadi saat ini adalah kebalikannya.

Pemuda itu melindunginya dari Riku, si agen labirin dunia yang bersikeras bahwa Marnie harus kembali ke pintu dunianya sendiri.

"Dia adalah satu-satunya orang yang mau membantuku, di saat semua orang-orang di sini mengabaikanku!" pemuda itu mengisyaratkan pada semua orang yang terdiam di kendaraan mereka masing-masing. "Aku tidak akan membiarkanmu melukainya!"

Benar katanya. Sedari tadi, tidak ada orang yang keluar dari kendaraan mereka. Menoleh untuk melihat kerusuhan ini pun tidak. Seolah-olah, ini adalah hal yang lumrah dan sudah terjadi berkali-kali.

"Omong kosong." Kali ini Riku mendesah. Tatapannya menajam, dan Marnie takut kalau-kalau dia akan mencabut katana dari sarung pedangnya. "Aku pernah ke sini untuk menolongmu dan kau mengabaikanku."

Marnie menyela, "Kau pernah masuk ke pintu dunia ini sebelumnya?"

"Berkali-kali."

"Omong kosong," pemuda itu tidak percaya sedikit pun. "Apa buktinya?"

"Aku tahu kalau kau sebenarnya membenci ibumu."

"Apa–"

"Kau sungguh membencinya. Kau muak oleh ibumu sendiri dan meninggalkannya selama bertahun-tahun."

Pemuda yang masih menggenggam cutter itu pun tampak syok. "Aku tidak membenci ibuku."

"Mungkin tidak untuk saat ini. Tapi kau sungguh membencinya dulu. Kau pikir aku tidak tahu, kalau kau sendiri yang meracuni ibumu?"

Pemuda itu terhuyung ke belakang dan kembali bersandar. Cutter tersebut terlepas dan jatuh di beton jalan tol ini. Tangannya gemetar. "Bagaimana kau bisa tahu semua itu?"

"Kau sendiri yang menceritakannya."

"Mana mungkin. Itu rahasiaku. Aku sudah menjaganya selama ratusan tahun. Tidak ada yang boleh tahu soal itu." Pemuda itu meracau. "Kau bohong. Kau hanya menggertak. Aku tidak pernah bercerita seperti itu padamu. Aku bahkan tidak pernah melihatmu di sini!"

Marnie memandang kedua lelaki itu secara bergantian. Lalu, dia mengunci kontak mata dengan si tentara Jepang. "Kalau kau memang berkata jujur, kenapa dia tidak bisa mengingatmu?"

Mendengar pertanyaan itu, Riku terdiam. Hingga, dengan berat hati, dia bergumam, "Tidak ada yang mengingatku."

"Apa maksudmu?"

"Tidak ada orang yang mengingatku. Mereka semua lupa."

Perkataannya membuat Marnie teringat. "Itu yang kau katakan padaku. Kau bilang kalau aku akan melupakanmu, tapi aku masih mengingatmu."

"Kau kabur dari duniamu, itu tidak boleh terjadi."

"Tapi–" satu hal lain mengusik pikirannya. "Jadi, kau datang ke sini untuk menolong pemuda ini?"

"Hei, aku punya nama," pemuda itu menggerutu. "Iskan."

Riku tidak menggubrisnya. Dia memilih untuk menjawab pertanyaan yang ditujukan padanya. "Itu tugasku. Tapi dia selalu menganggapku tidak ada. Aku datang berkali-kali, hingga pada suatu waktu, dia melihatku. Saat itulah aku membujuknya dan dia bercerita padaku mengenai ibunya."

"Asal kau tahu, aku sudah lama terjebak di sini, mungkin bertahun-tahun, sampai aku hafal semua kejadian yang terus terulang ini. Detik demi detik, aku harus menyaksikan ibuku sendiri mati di sini tanpa ada satu orang pun yang mau menolong. Aku menggila. Kau pikir, aku tidak tahu kalau ada orang baru yang tiba-tiba muncul sepertimu, hah?"

Marnie hendak menyela lagi, namun pemuda yang bernama Iskan itu rupanya belum selesai. "Aku sudah menelusuri semua sudut jalan tol ini. Tidak sekalipun aku pernah melihatmu. Selama hal ini terulang kembali, hanya ada satu perubahan yang pernah terjadi."

Iskan kemudian menoleh pada Marnie, seolah dia adalah harapannya untuk hidup. "Kau satu-satunya orang yang mau menolongku. Hal itu tidak pernah terjadi sebelumnya."

Mereka bertiga mencerna hal itu. Satu menit kemudian, Marnie angkat bicara dan mengarahkan tanyanya pada Iskan. "Aku tidak mengerti. Riku bilang kau tidak pernah melihatnya dan selalu mengabaikannya. Lalu, bagaimana kau bisa melihatnya sekarang?"

Pemuda itu terdiam. Kerutan muncul di antara kedua alisnya, menandakan kebingungan. "Entahlah."

"Argh, ini membingungkan." Marnie ingin menjambak rambutnya agar penat di kepala menghilang. "Sebenarnya, apa yang kita lakukan di sini?"

Iskan seolah baru ingat."Kalian harus menolong ibuku. Dia sedang sekarat! Tolong aku!"

Tangannya yang masih gemetar menarik Marnie, namun Riku menghentikan gerakannya. "Itu tidak penting. Yang pasti, kau harus kembali ke pintu duniamu sendiri untuk menjalani hukumanmu."

Hal itu juga membuat Marnie bertanya-tanya. "Kalau ini adalah sebuah hukuman, lalu kenapa ada agen sepertimu yang bertugas untuk membebaskan orang dari dunia di balik pintu labirin?"

Lelaki dengan seragam pasukan masa penjajahan itu tersentak. Dia tidak bisa berkata apa- apa, jadi Marnie menambahkan, "Apa yang akan terjadi kalau kau berhasil membebaskan Iskan dari dunia ini?"

Riku berpikir sejenak. "Mereka bilang kalau jiwa yang bebas bisa memilih untuk menyatu dengan Semesta, atau kembali hidup."

Marnie mengulang untuk memastikan. "Kembali hidup, katamu?"

"Tidak semudah itu. Kau sendiri tahu, mau berapa kali pun kejadian di dalam dunia ini terulang, tidak akan ada yang berubah sedikit pun."

"Itu salah!" Iskan menyela sekarang, "Wanita ini datang dan sesuatu berubah. Tolonglah aku, jangan biarkan aku terjebak di sini selamanya! Kumohon! Kau harus menyelamatkan ibuku!"

Riku mendecih. "Entah sudah berapa ratus juta kali kau melihat ibumu mati setelah kau racuni, tapi kau sama sekali tidak sadar. Bukan itu yang penting."

"Menolong ibuku adalah hal yang terpenting! Aku harus menyelamatkannya. Aku tahu aku salah. Aku meracuninya karena ibuku terlalu mengekang.Karena itu aku terjebak dalam dunia yang seperti neraka ini. Satu-satunya cara agar aku bisa keluar dari dunia neraka ini adalah dengan menyelamatkan ibuku," Iskan mendesak dengan permintaannya. "Tolong bantu aku menyelamatkan ibuku!"

"Dokter?"

Iskan menggelengkan kepala. "Tidak ada dokter di sini. Aku juga tidak mempunyai penawar racunnya."

"Lalu bagaimana kita bisa menyelamatkan ibumu? Mustahil membawanya ke rumah sakit. Kemacetan di sini tidak berubah sekali pun. Tidak ada mobil yang bergerak. Bagaimana kita bisa menyelamatkan ibumu?" Marnie tidak tahu harus berbuat apa.

Langit di atas mereka masih berwarna merah. Sama seperti rembesan darah yang berasal dari luka tusuk yang diderita Riku. Dia tidak terlihat kesakitan lagi sekarang.

"Kau sudah sembuh?" Riku mengangguk. "Kalau kau bisa pulih dalam sekejap, kenapa ibu Iskan tidak?"

"Karena memang harus begitu."

"Itu tidak membantu."

Riku menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "Sudah kubilang, apa yang terjadi di sini adalah hukuman baginya," rutuknya sambil memandang tidak suka pada pemuda bernama Iskan itu. "Dia bersalah."

"Tapi dia sudah mengakui perbuatannya. Dia tahu itu salah dan menyesal. Sekarang dia ingin memperbaikinya, tapi kenapa masih terjebak di sini?"

"Tidak," si tentara Jepang itu mengeleng pelan. "Kalau dia sudah sadar akan kesalahannya dan menyesali perbuatannya, dunia ini akan menghilang dengan sendirinya. Dia berbohong."

"Aku tidak berbohong. Aku benar-benar menyesal telah meracuni ibuku!" Iskan mengaku dengan gamblang, tetapi tidak ada yang berubah.

Kendaraan di sekeliling mereka masih utuh. Kemacetan itu benar-benar abadi dan langit di atas mereka masih sewarna darah yang memuakkan.

Mungkin Riku ada benarnya.

"Apa itu satu-satunya hal yang kau sesali?"

Iskan membeku ketika mendengar pertanyaan Marnie.

"Kau bilang kau bersalah karena telah meracuni ibumu sendiri. Apa hanya itu yang kau sesali?"

"Maksudmu…"

"Ketika kau masih hidup dulu, apa kau berjuang sekuat tenaga untuk membawa ibumu ke rumah sakit? Apa kau benar-benar ingin menyelamatkannya?"

"Ya, tentu saja!"

"Kenapa meracuni ibumu sendiri kalau pada akhirnya kau ingin menyelamatkannya?"

"Itu… karena aku…"

Tes.

Tes.

Tes.

Butiran air hujan menetes dari langit. Warnanya sama. Seolah merah darah pada langit itu menetes luntur dalam bentuk gerimis. Meski tidak ada awan sekalipun.

Marnie mendongak dan mendapati bahwa langit di atas mereka perlahan berubah. Secercah warna biru mulai menampakkan diri, seiring dengan pengakuan pemuda yang meracuni ibunya sendiri.

"Aku tidak menyesal telah meracuni ibuku. Aku hanya ingin menyelamatkannya karena belum sempat mengutarakan kebencianku padanya."

Dan dunia dengan langit merah itu hancur seketika.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C5
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login