Download App
LARA (jiwa yang dinanti) LARA (jiwa yang dinanti) original

LARA (jiwa yang dinanti)

Author: gabellal

© WebNovel

Chapter 1: AKU

Siang hari selalu membuatku merindu. Rindu akan masa kecilku.

Itu adalah masa dimana aku bisa berlehai-lehai tanpa memikirkan tunggakan, tanpa mencari uang untuk menghidupiku yang kekurangan ini.

Aku si pemalas yang selalu ingin menikmati hidup tanpa bersusah payah.

Tapi, nyatanya takdirku tidak menginginkan hal yang sama. Dengan tindakan yang ku lakukan selama hidupku, aku rasa jika takdir itu bernyawa ia akan menertawaiku, mencaciku, dan terus mengajakku ikut padanya.

Impianku sesungguhnya tidaklah muluk-muluk. Aku hanya ingin jadi wanita karir yang kaya raya.

Dulu, saat aku masih kecil, aku bercita-cita menjadi seorang dokter. Namun, lambat laun aku sadar, bahwa nalar dan logikaku saja saling kejar-kejaran. Mana mungkin aku bisa mengerti anatomi tubuh?

Ditambah lagi ingatanku yang berjangka pendek.

Ahh.. aku merasa sangat bodoh.

Inilah aku yang menginginkan hal besar terjadi pada hidupku, tapi pada siang hari saja aku kalah.

Aku benci merindu.

Jam-jam kosong saat bekerja hanya membuat moodku rusak.

Kedai ini hanya dipenuhi bangku kosong, bukanlah manusia si penikmat kopi.

Aku harus cari cara lain agar aku bisa mengisi waktu luang.

Bermain game bukan minatku, tak ada yang menarik perhatianku.

Harus bagaimana? Raga ini hanya terkulai lemas.

Memandangi jendela yang lambat laun memperlihatkan warna cerahnya langit berubah menjadi keruh.

Awan hitam mulai bergerumbul dan membuat basah tanah.

Bangunan tinggi itu seperti menangis, padahal itu hanya air hujan yang membasahi.

Kedua telapak tanganku saling bertemu dan merekatkan antar jari.

Helaan nafasku berat. Hingga akhirnya sebuah tepakan dari samping mengagetkanku.

"Lara… mentang-mentang kedai kopi lagi sepi lu malah bengong. Mendingan lu mikirin gue, daripada lu melamun kosong." Ujar seorang pria berparas tinggi dengan tulang pipi kotak yang tegas.

Aku menoleh sinis dan tak menghiraukan perkataannya.

Dia adalah rekan kerjaku sesama barista. Namanya Abi. Bisa dibilang dia adalah teman baikku.

Walaupun jumpa pertama kami berawal dari aku bekerja disini, dalam jangka dua setengah tahun aku merasa dia teman yang baik sekaligus menjengkelkan. Ia selalu ingin tahu apa yang ku lakukan ketika di rumah. Sungguh inginku abaikan saja dia kalau bukan rekan kerjaku. Tapi, kebaikannya berguna untuk membantu meracik kopi serta mensiasati bos bahwa kerjaku diwaktu senggang bukanlah melamun.

Tanpa melontarkan satu katapun pada Abi, rupanya membuat ia gemas.

Aku tahu aku tidak ingin diganggu, tapi aku hanya bisa membisu agar dia mengerti bahwa aku ingin dia menjauh, biarkan aku sendirian di kedai ini.

Apalagi pelanggan benar-benar tidak ada saat ini. Benar-benar sepi. Entah apakah ada guna-guna dari toko sebrang yang membuat Kedai tempatku bekerja seperti kuburan, atau wajah Abi yang jelek.

Aku hanya ingin mengatasi rasa sedihku. Rindu ini membuat aku semakin menjauh dari alam sadar.

Tapi, aku harus tetap bekerja untuk menghasilkan uang.

"idih.. somse banget lu sama gue." Perkataan itu terlontar dari mulut Abi. Bukannya pergi, ia malah menyandarkan satu lengannya pada meja dan memangku pipinya sambil menatap wajah datarku.

Kedua mataku meliriknya, bibirku masih terkatup diam.

Aku ingin mengutuknya menjadi batu.

"ternyata, dari sisi ini lu terlihat gemuk yah.. lu pasti kalau di rumah banyak makan." Sambung Abi.

"iya, makan janji palsu" balasku.

"hahaha… bisa aja deh, emang lagi pedekate sama siapa sampe judes banget lu hari ini?"

"pedekate sama masa depan." Jawabku kembali sinis.

"wiizzz.. gaya banget… ahahahaha…" posisi Abi yang seperti di pantai berubah seperti badut yang bertepuk tangan depan penonton. Tertawanya sungguh renyah.

Bibirku pun ikut melengkungkan senyuman. Secepat kilat Abi menggodaku.

"eitss.. senyum… gua ganteng ya?"

"enggak, gua mau buat kopi sianida. Terkhusus buat lo." Sahutku dalam senyuman yang tak terbendung.

"hahaha, yaudah deh, sekalian gua mau racik menu baru, lo ikut gua, ya! Ayo kita bereksperimen!" Ajak Abi

"tapi, Abi.. gue gak mau tangan gue kotor. Gue liatin prosesnya aja ya."

"iya Umi, yang penting kamu ada disampingku." Abi terus menggoda.

"jangan panggil gue Umi! Nama gue Lara." Buru-buru kupatahkan godaannya dengan jawabanku yang ketus namun tetap pada senyumanku.

Pekerjaanku berlalu seperti ini dari hari ke hari.

Apakah sekarang penikmat kopi hanya ingin menyeruput kopinya pada pagi hari saja?

Ketika matahari mulai tinggi dan menyilaukan para mata silinder, pelanggan perlahan luput dari kedai ini.

Lama-lama mulai suntuk diwaktu senggang.

Untungnya jadwal bulananku mendapat libur dihari kamis dan itu adalah besok.

Jadwal libur kami selalu diacak setiap bulan mengikuti kegiatan masing-masing.

Agak aneh mendapatkan jadwal libur dihari kamis.

Lantaran, itu bukan hari libur nasional, bukan pula akhir pekan.

Aktifitas masih berlanjut sepanjang hari, tapi aku malah diliburkan.

Senang, aku bisa berlehai-lehai dan tidur sepanjang hari. Jadi aku tidak akan bertemu dengan kesunyian ditempat kerja.

Meski begitu, nantinya aku hanya sendirian di rumah, tanpa siapapun di kamar.

Atau, bisa saja aku habiskan waktu dengan berkeliling kota sambil bersepeda.

Walaupun seorang diri, tapi aktifitas apapun itu aku tidak merasa kesepian.

Besok adalah hari yang ditunggu.

Nampaknya cuaca akan mendukungku bersepeda.

Baiklah, sudah kuputuskan bahwa besok aku akan bangun siang dan berpanas-panasan memutari kota sampai malam dengan gowesanku.

Jam dinding menunjukkan pukul tiga lewat tiga puluh menit.

Shiftku berakhir tepat jam 5 sore. Aku harus bersabar, sebentar lagi aku tidak akan melihat muka Abi maupun mendengar ocehannya.

Makin sore, pengunjung mulai menampakkan batang hidungnya kembali.

Racikan kopi yang masih tahap eksperimen oleh aku dan Abi mendadak aku tinggalkan.

Menyajikan secangkir, dua cangkir kopi rupanya memang mujarab bagiku untuk tersenyum tanpa beban terhadap orang lain.

Tanpa sadar rasa rinduku perlahan terlupakan.

Tiba juga giliranku pulang. Sekarang sudah jam lima tepat, tanpa pikir lama dan tanpa adanya antrian yang panjang, ku tinggalkan meja kasir. Abi juga sama.

"Lar.. pulang bareng yuk!"

"gak, aku mau langsung pulang."

"yang mau ngajakin lo jalan siapa? Gua ngajakin pulang bareng."

"itu kan lo ngajakin gua pulang, emang gak pake jalan?"

"waduh iya juga.. yaudah jalan bareng pulangnya, ya!"

"gak, aku mau langsung pulang."

Lagi-lagi mengulangi kalimat yang sama dan seperti biasa Abi hanya manggut dan pergi.

Kisah pertemanan kami aneh. Bagaikan dua daun kering yang bertumpuk. Ditiup pun kami terbang terpisah. Tapi kami masih saja berada dalam satu lingkungan.

Abi… pria itu memiliki misi untuk mengetahui sisi lain diriku.

Aku tidak muak padanya walaupun perlakuanku galak. Itu hanya tipikalku saja.

Namun, aku juga tidak tertarik padanya. Tidak pula berfikiran bahwa tindakanku jahat.

Aku harus bergegas. "Me Time" sudah menyeru dalam otakku.

Buru-buru aku pulang dan pastikan Abi tidak mengintai.


CREATORS' THOUGHTS
gabellal gabellal

I tagged this book, come and support me with a thumbs up!

Like it ? Add to library!

Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C1
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login