Download App
66.66% LAWANG AGUNG

Chapter 2: Iskandar Muda

Sepagi itu Iskandar bangun. Setelah sholat subuh dua rokaat, dia melanjutkan ritual sembayangnya dengan berdzikir. Mungkin hampir tiga puluh menit lamanya dia sibuk dengan rapalan doa-doa, kemudian didengarnya sang ibu meletakkan piring di meja. Rasa lapar akibat aroma masakan yang lezat mengusik doanya.

Dia beranjak dari atas sajadah merahnya, bangkit menuju meja makan. Deretan makanan sudah tertata rapi dengan tampilan yang cantik. Tak ada sedikit pun kuah yang tumpah.

Oiya, Iskandar Muda memiliki satu kakak laki-laki dan satu adik perempuan. Posisinya sebagai anak tengah, menjadikan dia sekuat kakaknya, namun juga terkadang semanja adiknya. Terlepas dari itu semua, dia sangat menyayangi Ibunya, yang kini menjadi orang tua tunggal sepeninggal sang ayah beberapa tahun lalu.

Iskandar Muda berjiwa ulet dan tekun. Dia tak pernah malu mengetuk pintu demi pintu rumah untuk menjajakan kue pastel buatan ibunya. Saat itu, ibunya memang sangat gemar membuat kue untuk disajikan pada keluarga. Tapi jiwa pedagang Iskandar meronta, dan muncul idenya untuk menjual kue-kue lezat itu.

Bapaknya seorang pengusaha besi tua. Beliau menjadi pengepul sekaligus pemasok hasil tambang ke beberapa karesidenan lain di Jawa Timur. Entah bagaimana mulanya, yang jelas, usaha Bapaknya berkembang pesat lalu beliau menikah untuk kedua kali.

Ibu Dewi adalah istri pertama Bapak Dimaskur, orang tua kandung Iskandar. Pasangan ini dikaruniai tiga orang anak. Haradi adalah kakak kandung Iskandar dan Kuni adalah adik kesayangannya. Ketika Kuni berusia sepuluh tahun, Ibu Dewi mulai sakit-sakitan. Dan mungkin sebab itu, Ibu Dewi mengizinkan suaminya untuk menikah lagi dengan seorang gadis bernama Rosmala. Pernikahannya dengan Rosmala tak menghasilkan keturunan.

Dia berwajah tampan dengan lekukan dagu yang tegas. Badannya tinggi, sebagaimana postur tubuh bapak dan kakeknya terdahulu. Iskandar tumbuh menjadi lelaki yang diidamkan banyak kembang desa. Di usia dini, dia sudah menjadi pewaris sebagian bisnis sang ayah. Sedangkan Haradi memilih untuk bertransmigrasi ke luar pulau bersama istrinya.

Berita gembira terdengar di seantero Pasar Arab ketika Iskandar memberitahukan bahwa ia baru saja berkenalan dengan Mahani, saat itu. Bayangan akan adanya pesta tujuh hari tujuh malam pun terbersit diantara kawan-kawan Iskandar. Mereka turut bahagia menyambut kabar tersebut meski harus menunggu Mahani lulus sekolah.

Iskandar yang sedari kecil hobi berdagang, menjadikan ia kini seorang pebisnis ulung. Dia mahir berbicara bahasa marketing. Dia mahir menguasai rasio dan emosional lawan dagangnya. Hebat sekali. Hanya saja, dia tak mahir banyak bahasa seperti Mahani. Dia hanya tahu Bahasa Arab dan Bahasa Jawa. Bahasa Indonesia? Yah, tentu saja bisa. Hanya saja kurang fasih.

Iskandar tak pernah bersekolah. Dia hanya sesekali mengintip teman bermainnya dari balik jendela luar kelas. Bapaknya bukan tak mampu, tapi dia sendiri yang enggan. Dia lebih senang bermain gundu dan layangan, atau selebihnya berjalan kaki membawa tempeh berisi kue-kue.

Sepeninggal bapaknya, Iskandar pengusaha muda semakin giat bekerja. Di usianya yang belum dua puluh tahun, dia sudah mampu membeli motor gede, mirip Harley Davidson. Dia tak suka mobil. Menurutnya mobil hanya untuk orang manja yang takut kehujanan dan takut kepanasan.

Perihal kereta kuda, itu adalah salah satu usaha milik bapaknya yang masih bertahan hingga sekarang. Hampir seluruh kereta kuda di Pasar Arab adalah buatan pabriknya. Termasuk kuda-kuda nya juga tentu saja.

Hampir lupa. Hanya Iskandar yang masih melajang di usianya sekarang. Kakaknya yang menikah terlebih dahulu, baru memiliki satu putra dan kini berada di Sumatera. Adik perempuannya pun sudah menikah, tapi belum memiliki keturunan.

Iskandar Muda tinggal bersama ibundanya, di rumah cungkup khas adat Jawa. Meski bapaknya keturunan Arab, keluarganya sudah menjadi keluarga Jawa sejak dia belum lahir. Ditemani Ibu Rosmala, ibu tirinya, dia merawat sang Ibu yang seringkali menghabiskan waktunya di tempat tidur. Pembantu rumah tangga? Ada sepuluh. Tapi tugas merawat Ibu, tetap berada di tangan Iskandar.

"Ibu masak apa, sepertinya enak."

"Ini telur sama ayam, Le. Cepatlah makan. Kamu mau berangkat ke Krembangan pagi ini kan?"

"Ibu masak segini banyak, apa tidak capek?"

"Ibu sedang sehat hari ini. Sekalian mau ater-ater ke tetangga, karena hari ini Bu Rosmala berulang tahun."

"Oh, mana Bu Ros?"

"Masih di dapur, mungkin," jawab Ibu Dewi sembari menyendokkan nasi ke dalam piring anaknya.

"Sampun bu. Jangan terlalu banyak."

"Biar gak lapar, Le. Krembangan itu jauh."

"Kandar naik kereta, Bu, tidak naik motor."

Saat percakapan antara keduanya terjalin, Bu Rosmala memasuki ruang makan dengan membawa tentengan rantang. Tiga susun rantang tampak sesekali mengepulkan asap panas menarik perhatian Iskandar.

"Bu Ros, repot-repot. Kandar bisa beli maem di warung."

"Ora, Le. Kalo gini kan bisa makan banyak. Kamu kurusan akhir-akhir ini."

Bu Ros, sama baiknya dengan Bu Dewi. Itu mungkin karena Bu Ros tak memiliki seorang anak kandung, sehingga anak sambung pun sangat disayanginya. Dia menganggap Bu Dewi sudah seperti kakaknya sendiri. Tak ada perasaan dimadu di antara keduanya. Sangat rukun dan guyub.

"Bu, saya nanti mampir ke Mahani, ya," ucapannya terarah pada Bu Dewi sambil menguyah nasi di dalam mulutnya.

"Iya, Le. Sempatkan mampir, kan sejalan."

Iskandar kembali menunduk menatap piring makannya. Dia tak tahu Bu Ros sedang masuk ke kamar dan menyiapkan sesuatu. Tak lama kemudian, Bu Ros datang membawa sekotak bungkusan.

"Nyoh, berikan untuk Mahani."

"Apa ini bu Ros?"

"Hadiah. Bilang saja dari kamu, Le. Jangan bilang dari Ibu."

"Memang apa isinya, Bu?"

"Kain. Pasti Mahani suka."

"Ibu Ros beli?"

"Iya. Tapi kok rasanya sudah tidak cocok sama umur, jadi malu mau pakai itu, hehe.."

"Tidak diberikan Kuni, saja?"

"Kuni sudah punya suami. Biarlah. Untuk Mahani saja."

"Matur suwun, Bu Ros."

Iskandar melanjutkan sarapan ditemani kedua orang ibunya. Untuk saat ini, tak ada yang membahagiakan bagi dirinya selain kesehatan sang ibunda, kebaikan Bu Ros, dan perasaannya kepada Mahani.

Setelah makan pagi, dia memanggil seorang kusir kepercayaannya untuk bersiap. Dia berpamitan pada kedua ibunya, lalu beranjak menaiki kereta kuda megah miliknya. Dua ekor kuda menjadi penarik kereta tersebut. Berangkatlah Iskandar menuju Krembangan.

***

"Masè.. aku mampir rumah Mahani dulu ya."

"Nggih, ndoro."

"Tapi masè, tunggu agak jauh. Jangan parkir di depan rumah."

"Lapo, ndoro?"

"Sungkan. Mahani nanti malu kalau aku pake kereta begini. Bapaknya saja suka jalan kaki."

"Tapi kan ini ke luar kota, ndoro. Masak iya ndoro jalan kaki juga."

"Kan harusnya aku pakai motor saja, bisa. Nyetir sendiri, tidak disopirin begini."

"Nanti Ibu Dewi dan Ibu Ros cemas, kasihan ndoro."

"Ah, makanya itu. Jangan parkir di depan rumah Mahani. Biar aku jalan kaki saja sisanya nanti."

"Nggih, ndoro."

Iskandar dan Masè terbilang akrab. Keduanya sebaya, hanya saja Masè sudah memiliki tiga anak. Mungkin karena tak ada teman lagi, jadi Iskandar merasa nyaman untuk berbagi cerita apapun dengan Masè. Sejauh ini hanya Masè yang dia percaya untuk mengutarakan isi hatinya tentang Mahani.

***

Aku Mikaila. Aku kurang mengenal bagaimana sifat dan watak Iskandar. Perjumpaanku dengan Iskandar hanya sebentar. Yang aku tahu, dia begitu posesif pada Mahani. Segalanya dia berikan untuk membahagiakan Mahani.

Kisah cinta kedua insan muda ini menarik hatiku untuk mengemasnya dalam rangkaian kata. Apakah akan berakhir bahagia, atau justru menyedihkan, aku juga belum dapat menyimpulkan secepat itu. Hingga kini, aku masih bersama Mahani, yang terjebak memori masa lalunya.

***


Load failed, please RETRY

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login