Hangat.. Itu pertama kali dia merasa hangat saat berada didalam kegelapan. Selama ini dia akan merasa kedinginan tiap kali dia tiba di mimpi buruknya.
Merasa aneh dengan perasaan hangat di tubuhnya, Joy membuka matanya. Dia masih berbaring disana, di tengah kegelapan. Hanya saja dia masih bisa melihat tangannya yang dia gerakkan perlahan didepan matanya.
Matanya menangkap sebuah cahaya dari atas kepalanya. Joy mendongakkan wajahnya ke atas. Karena kurang jelas, ia bangun menopang tubuhnya dengan kedua tangannya untuk melihat asal cahaya tersebut.
Dia melihat gambaran disana. Seseorang yang mirip dengan dirinya terbaring di ranjang rumah sakit dengan alat bantu pernapasan. Seorang dokter beserta suster berusaha membangunkannya.. lebih tepatnya mereka berusaha menghidupkannya kembali dengan alat pacu jantung.
Apa aku sudah mati?
'Kau akan mati jika kau tidak segera kembali.'
Joy menoleh ke arah suara tersebut dan sangat terkejut akan apa yang ada dihadapannya.
Seorang wanita dengan rambut lusuh dan baju compang camping; berdiri disana dengan pakaian basah. Joy menduga wanita itu baru saja terjebur disebuah kolam penuh air.
Anehnya, wajah wanita itu sangat mirip dengannya.. hanya saja wanita itu terlihat tampak lebih tua.
"Siapa kau?" tanya Joy tidak berani mendengar jawaban yang akan diberikan wanita itu.
'Aku? Seharusnya kau sudah tahu. Aku adalah kau, dan kau adalah masa laluku.'
"Apa yang terjadi?"
'Kita tenggelam di tengah sungai. Saat itu kita memohon dengan sangat agar kita bisa kembali hidup bersama kedua orangtua kita. Itu sebabnya kau kembali ke masa lalu. Sayangnya, sudah saatnya kau kembali.'
"..." Dia memang tidak sanggup tinggal ditengah orangtuanya. Tapi jika dia berhasil kembali diselamatkan dimasanya hanya untuk menghadapi kehidupannya yang pahit, lebih baik dia mati.
Seolah seperti bisa membaca pikirannya, wanita itu berkata, 'Mama masih hidup. Masa depan kita telah berubah. Lihat.'
Joy melihat gambaran yang lain, disana dia melihat dia sedang makan bersama dengan ayahnya. Ada senyuman di wajah mereka berdua.
Meskipun dia melihat dirinya tersenyum, tapi dia merasa dirinya di masa depan... tidak bahagia.
Lalu muncul gambar lain dimana dia belanja bersama dengan ibunya. Sekali lagi dia melihat senyuman mereka, tapi dia juga merasa... senyuman itu bukanlah senyuman bahagia.
"Pada akhirnya, papa mama masih tetap bercerai."
'Benar. Tapi, setidaknya mama masih hidup dan kita masih bisa membuat hubungan mereka membaik. Masih ada kesempatan. Jadi... kembalilah. Waktu kita hanya sedikit.'
"..."
Jika dia kembali, dia bisa bertemu dengan ibunya lagi. Dia bisa memiliki waktu tak terbatas untuk membuat kedua orangtuanya bersatu kembali.
Namun...
"Berapa lama yang aku miliki?"
'Apa kau bodoh? Kita sudah tidak bernapas selama sepuluh menit, tidak sadarkan diri selama dua jam sejak tiba di rumah sakit. Jantung kita semakin lemah dan telah berhenti. Jika kau kembali kesana, kita berdua akan mati.'
"Aku tanya.. berapa lama sisaku?" Joy tidak ingin berdebat dengan dirinya sendiri dan bertanya dengan tajam.
Dia melihat wanita itu mendesah sebelum menjawabnya.
'Kurang dari tiga puluh jam dimasa lalumu.'
Joy memeluk dirinya sendiri mengikuti kehangatan yang dirasakannya. Dia tidak tahu kenapa dia masih ingin kembali kemasa sebelum kedua orangtuanya bercerai.
Mungkin karena dorongan hangatnya sebuah pelukan yang dirasakannya, dia tidak lagi merasa takut berada disana; tidak takut kembali ke masa lalunya.
Tapi.. siapa yang memeluknya? Tidak. Dia merasakan ada dua orang yang memeluknya dari sisi belakang dan depannya.
Apapun itu, dia bersikeras kembali ke masa lalunya.
"Itu cukup bagiku. Aku akan kembali kesana dan berusaha mencegah perceraian mereka."
Namun saat Joy berdiri dan melangkah ke titik cahaya yang ditujunya, wanita itu berdiri dihadapannya untuk menghalanginya.
'Kau sudah mencobanya selama lebih dari dua bulan. Hasilnya? Tidak ada. Tidak ada yang berubah. Kenapa kau berpikir bisa mengubahnya dalam waktu tiga puluh jam?'
"Aku tidak tahu. Tapi yang kutahu, tidak ada artinya aku kembali jika tidak ada yang berubah. Waktu itu aku tidak tahu batas waktuku dan mengira memiliki banyak waktu. Jika aku kembali ke masa depan... aku bisa membayangkan mereka berdua sudah semakin jauh dari ikatan kasih mereka. Aku tidak memiliki keyakinan bisa menyatukan mereka meskipun aku memiliki waktu tak terbatas."
'Tapi...'
"Selama diantara mereka masih ada kasih, selama mereka masih belum bercerai, aku akan menggunakan waktu terbatas ini untuk menyatukan mereka. Aku tidak akan mati.. Tidak. Kita tidak akan mati. Aku janji."
Dulu dia memang sudah tidak ingin hidup lagi, tapi sekarang, dia tidak ingin mati. Masih ada banyak yang ingin dia lakukan bersama kedua orangtuanya. Dia masih ingin membuktikan, khususnya pada keluarga ibunya bahwa dia beserta kedua orangtuanya bisa bertahan karena kasih yang ada diantara mereka bertiga.
Melihat kemantapan dan ketegasan dari mata Joy, akhirnya wanita itu terdiam tak bergerak. Dia membiarkannya berjalan melewatinya saat menuju kearah cahaya yang ditujunya.
'Aku akan tetap menarikmu kembali begitu waktunya tiba. Manfaatkan waktumu sebaik mungkin.'
Joy tersenyum dan menganggukkan kepala.
Cahaya yang semula kecil semakin membesar membuat matanya terpejam tidak sanggup menahan sinarnya yang terlalu menyilaukan.
Joy mengerjap matanya beberapa kali dan melihat dia berada didalam kamarnya. Matanya menatap kearah langit-langit kamarnya sambil termenung.
Meskipun dia bilang dia akan berusaha menyatukan kembali kedua orangtuanya dalam waktu tiga puluh jam, dia sama sekali tidak tahu apa yang harus dia lakukan.
Dia yakin ayahnya masih menyayangi ibunya, tapi bagaimana dengan ibunya? Tiap hari ibunya selalu menggugat cerai dan selalu bertengkar dengan ayahnya. Bahkan tampaknya ibunya sudah tidak menyayanginya lagi.
Ibunya lebih memprioritaskan pekerjaannya daripada keluarganya.
Joy menghela napas dengan berat, barulah telinganya menangkap sebuah suara. Suara isakan??
Joy bangun dan mencari sumber suara itu. Disana dia melihat ibunya sedang duduk disamping ranjangnya sambil menangis memunggunginya.
"Mama?"
Yang dipanggilpun menoleh kearahnya dan langsung memeluknya dengan erat.
"Joy, syukurlah kau baik-baik saja." ucapnya dengan tubuh gemetar.
Joy sama sekali tidak bisa berkata apa-apa saat merasakan tubuh ibunya yang gemetar diatas tubuhnya. Tangisan ibunya yang terus mengucapkan syukur melihat dirinya sehat membuatnya tercengang.
Apakah ibunya mengkhawatirkannya?
Joy tersenyum kecil sambil membalas pelukan ibunya.
"Mama, Joy baik-baik saja. Maafkan Joy yang sudah tidak sopan sama tante Febe. Maafkan Joy karena sudah tidak mau menurut sama mama." ucap Joy tanpa sadar menitikkan air matanya.
Helen melepaskan pelukannya untuk melihat wajah putrinya. Kemudian dia menggelengkan kepalanya sambil berkata dengan lembut.
"Mama juga minta maaf. Seharusnya mama mendengarkan penjelasanmu terlebih dahulu. Mama yang salah."
Joy menghapus air mata ibunya dengan jarinya sambil tersenyum.
"Apa mama semalaman menemani Joy?"
"Hm. Papa juga menemanimu disini."
Seolah tak terbendung air matanya mulai mengalir membasahi pipinya. Kini Joy tahu, kehangatan yang ia rasakan sebelumnya adalah karena kedua orangtuanya berada disisinya.
Itu sebabnya dia merasa tidak takut lagi dan bisa melihat cahaya di dunia kegelapannya.
Melihat ibunya yang mulai terbuka padanya dia mencoba mencari tahu isi hati ibunya.
"Mama, jika waktu boleh diulang lagi apakah mama tetap akan memilih papa?"
Joy merasa was-was mendengar jawabannya. Tapi dia sudah mempersiapkan diri jika seandainya jawaban yang diberikan ibunya tidak sesuai dengan harapannya. Terlebih lagi sekarang dia tidak punya banyak waktu sebelum akhirnya dia dipaksa kembali ke masa yang sebenarnya.
"Tidak peduli apakah ada pria lebih baik di luar sana, atau mungkin pria yang jauh lebih kaya.. mama tetap akan memilih papamu."
Joy sama sekali tidak menyangka jawaban ibunya akan sama dengan jawaban ayahnya.
"Tapi, kenapa..."
"Mama tahu.. mama yang salah. Selama ini mama yakin papamu tidak menceraikan mama tidak peduli seberapa sering mama ingjn cerai." ibunya menjelaskan dengan nada yang sedih. "Sebenarnya, mama sama sekali tidak ingin bercerai darinya. Meskipun mama sering bilang ingin cerai, tapi mama tidak pernah berpikir kalau kami akan benar-benar bercerai."
"Kalau begitu mama harus memberitahu papa. Papa dan mama selalu menyimpannya sendiri akhirnya malah timbul salah paham. Bagaimana bisa tahu isi hati seseorang kalau tidak ada satupun dari kalian memberitahukannya."
"Kau benar."
"Masih belum terlambat. Ayo kita cari papa dan membersihkan kesalahpahaman ini." ajak Joy segera bangkit dari ranjangnya.
Langkahnya terhenti saat melihat ibunya masih duduk di ranjang tidak menunjukkan tanda-tanda bergerak.
"Mama?"
"Semuanya sudah terlambat. Papamu sudah berangkat ke pengacara untuk mengurus perceraian kami. Dia ingin membawamu bersamanya, tapi setelah berdebat lama, akhirnya dia mau menyerahkanmu pada mama."
"..."
"Tenang saja, papa masih tetap akan menemuimu jika kau mencarinya. Itu adalah kesepakatannya."
"..." Joy mengingat gambaran saat dia makan bersama ayahnya ataupun saat dia belanja di mall bersama ibunya.
Dia memang tidak terlalu yakin sebelumnya, namun kini dia yakin. Meskipun bisa bertemu dengan kedua orangtuanya kapanpun dia mau, dia tidak akan bahagia. Tidak akan pernah... selama dia tidak bisa menghabiskan waktu bersama kedua orangtuanya sekaligus.
Joy tidak bisa membiarkannya. Dia berlari dan duduk didepan ibunya.
"Apa mama yakin? Apa mama ingin berakhir seperti ini? Karena Joy tidak ingin keluarga kita berkhir. Joy tidak ingin papa mama bercerai."
"Joy, mama juga tidak bisa berbuat apa-apa. Papamu sudah tidak ingin hidup bersamaku lagi."
"Itu tidak benar. Jika papa memang sudah tidak menyayangi mama, papa sudah pasti menyetujui perceraian ini sejak dulu. Papa masih menyayangi mama."
"Benar. Tapi sekarang sudah tidak lagi."
"Mama..."
"Lagipula, saat ini papa pasti dalam perjalanan ke bandara."
"Apa?"
"Dia sudah tidak ingin tinggal di kota ini."
Ribuan sengatan listrik menyerang baik di kepalanya maupun sekitar dadanya. Dia tidak tahu apakah sengatan listrik itu berasal dari alat pacu dokter dari masanya yang sebenarnya atau karena dia mendapatkan kabar buruk itu.
Satu hal yang dia tahu, pada akhirnya dia tetap tidak bisa mengubah keadaan. Kedua orangtuanya masih tetap bercerai.
Joy duduk lemas di ranjangnya tidak tahu lagi cara apa yang bisa membuat kedua orangtuanya rujuk kembali.
"Sudahlah.. hari sudah siang. Mama sudah izin pada sekolah agar kau bisa istirahat di rumah hari ini. Mama akan masak untukmu."
Jika dia bisa mendengar ibunya memasak khusus untuknya sebelum hari ini, Joy pasti akan senang setengah mati dan melonjak kegirangan.
Sayangnya, untuk saat ini dia tidak yakin apakah dia bisa menikmati masakan ibunya.
'Sudah kubilang. Mereka tidak bisa berubah dalam waktu dua bulan, mana mungkin mereka bisa berubah hanya dalam tiga puluh jam saja.'
Terdengar suara sinis di kepalanya.
'Sepuluh jam lagi aku akan menarikmu keluar dari sana.'
Bukankah dia baru bangun? Kenapa dia memiliki sisa sepuluh jam?
'Kau tertidur selama lima belas jam sejak kau kembali!'
APA??
"Apa ini?"
Joy dan ibunya melontarkan pertanyaannya secara bersamaan. Bedanya, Joy bertanya dalam pikirannya sedangkan ibunya bertanya dengan suaranya.
Karena penasaran apa yang dipegang ibunya, Joy berjalan kearah beliau. Dia melihat sebuah buku dengan sebuah gambar.
"Apa kau yang menggambarnya?"
"Bukan. Papa yang menggambar beberapa hari lalu."
Dia ingat ayahnya menggambarnya di oasis dan memberikannya padanya. Sejak itu Joy menyimpannya dan sering melihatnya.
Meskipun dia tidak mengenal orang-orang di gambar itu, tapi dia merasa terpesona dengan adegan yang ada di gambar itu.
"Tidak mungkin."
Tidak mungkin? Apakah ibunya tidak percaya kalau ayahnya yang menggambarnya? Apakah ibunya tidak tahu bakat menggambar suaminya?
Kalau memang begitu kenapa ibunya menangis?
Joy melihat ibunya menutup mulutnya dengan tangannya menahan isakannya sementara air mata terus mengalir di pipinya.
"Mama kenal gambar ini?"
Sayangnya ibunya sama sekali tidak menjawab pertanyaannya dan langsung berlari keluar.
Mata Joy membelalak saat dia melihat kearah mana ibunya melangkah. Dia bisa melihat sebuah pisau besar tak jauh dari mereka. Dan ibunya melangkah dengan mantap ke arah tempat pisau itu berada.
Apakah ibunya mencoba untuk bunuh diri?
TIDAK!
Jangan menunda apa yang bisa kita kerjakan. Jika kita bisa melakukannya saat ini juga, mengapa harus menunggu hingga keesokan harinya. Ditunda satu kali, dua kali.. hingga akhirnya tak terjalankan. Hanya penyesalan yang datang.