Download App

Chapter 11: Putri Yang Terbuang

Stefan heran, mengapa ia hampir menangis saat ia bertanya soal anak dari Stella. Apakah Stella teringat kembali dengan putri tunggalnya yang sudah terpisah dengannya selama 2 Tahun? Atau karena alasan lain yang tidak bisa ia ungkapkan?

"Nyonya Stella? Mohon maaf jika pertanyaan saya menyinggung perasaan anda. Jujur saja saya menanyakan itu karena juga ingin menawarkan beasiswa untuk pendidikan anak anda,"

Stella berusaha keras menahan tangisnya. Terlihat jelas linang air mata yang terbendung di balik kelopak matanya itu. Setelah lumayan lama menunggu jawaban dari Stella, akhirnya ia menjawab pertanyaan Stefan.

"Maaf, saya baru menikah dan masih belum dikaruniai anak,"

Jantung Stefan terasa terhenti sekilas mendengar perkataannya. Pikirnya, sungguh tega seorang Ibu tidak mengakui darah dagingnya sendiri.

"Benarkah itu?" nada bicara Stefan seolah tertekan.

"Ya," singkat Stella lirih.

Stefan melihat Stella seperti seorang wanita yang tertekan. Ia tampak begitu berat ketika membahas soal anaknya. Semakin membuatnya yakin jika keluarganya itu sangat rumit dan seperti ada sesuatu yang mereka sembunyikan.

Tapi Stefan masih berpikir tentang ungkapan yang tegas dari Stella saat ia berkata masih belum dikaruniai seorang anak. Lalu Carissa itu siapa? Baru kali ini ia bertemu dengan seorang Ibu yang begitu tega membuang darah dagingnya begitu saja.

Meskipun dahulunya ia di didik keras oleh orang tuanya, tapi setidaknya mereka tidak separah itu. Mereka masih mengakui Stefan sebagai putranya hingga saat ini.

"Baiklah, jika begitu. Maaf sudah mengganggu waktu anda," dada Stefan terasa sesak saat mengatakannya, sebab tiba-tiba saja ia teringat wajah ceria Carissa.

"Baik. Tidak masalah, Tuan Maroni, justru saya sangat senang bisa berbicara langsung dengan anda disini," ujar Stella menunduk.

"Selamat siang, Nyonya Stella." lalu pergi begitu saja dengan perasaan kecewa.

Stefan tak bisa mengelak dari wajah-wajah ceria Carissa yang terngiang di kepalanya. Ia meluapkan seluruh air mata di sepanjang jalan itu. Karena Stefan tahu, bahwa wajah cerianya itu karena ia hadir di sisinya.

Mengingat Carissa yang selalu menyendiri saat masih berada di panti asuhan. Tatapan lembut nan kosong saat memandangnya pertama kali, tanpa senyum, seolah mengharapkan seseorang yang mampu memberikannya kasih sayang tulus. Hanya itu yang ia harapkan. Hanya itu. Namun, mengapa seseorang tega menyia-nyiakannya begitu saja? Dimanakah letak hati mereka? Semudah itukah?

Bahkan rasa sedih itu tak kunjung menghilang sesampainya di kantor, saat Carissa menyambut kedatangannya dengan pelukan serta kecupan di pipi. Stefan merengkuhnya dalam pelukan erat, seolah takkan ia lepaskan lagi. Mencoba sekuat tenaga menahan air mata itu, namun apa daya Stefan tak kuasa menahannya.

Rasa syukur dan sedih menjadi satu dalam tangis itu. Ia sadar, bahwa kehidupannya masih lebih baik daripada Carissa. Bahkan Stefan merasa bersalah pada kedua orang tuanya, yang selama ini menganggap mereka telah menyia-nyiakannya. Hanya karena ia di didik keras oleh orang tuanya.

"Ayah?"

"Ayah kenapa?" tanya Carissa saat mendengar isakan tangis Ayahnya.

Carissa berusaha memastikan dengan melepas pelukan eratnya. Namun Stefan menahannya sekuat mungkin, agar Carissa tidak tahu bahwa ia sedang menangis.

"Tenang, aku tidak apa-apa." jawab Stefan.

"Ayah bohong, Ayah menangis, kan?"

"Tidak, sayang. Barusan aku makan makanan pedas dan seperti inilah jadinya," ungkap Stefan terkekeh.

Akan tetapi kedua mata Stefan yang tampak sembab serta hidungnya yang memerah tidak dapat membohonginya. Rasa curiga pun muncul dalam benak Carissa.

"Kau tidak percaya? Lihatlah, apa yang aku bawa untukmu?" memberikannya satu kotak makanan berhadiah mainan yang sempat ia beli di restoran saat dalam perjalanannya.

"Wah, terima kasih, Ayah," Carissa pun kembali dalam dekapannya.

"Sama-sama, sayang," balas Stefan mengecup keningnya dan membelai lembut rambut panjangnya.

***

"Bagaimana saat anda menemui orang tuanya, Tuan Maroni?" tanya Claire saat Stefan menemuinya kembali di Cafe.

"Ibunya tidak mengakui Carissa sebagai anaknya. Dia berkata pada saya, jika dia masih belum dikaruniai seorang anak," jawab Stefan.

"Ya Tuhan,"

"Baru kali ini saya menemui orang tua yang tega membuang anaknya sendiri di sekolah luar biasa dan berakhir di panti asuhan. Sialan," ujar Stefan sedikit emosi.

"Tapi, saya lega karena Carissa sekarang sudah berada di tangan yang tepat, Tuan Maroni. Sungguh malangnya gadis itu," balas Claire lirih.

"Tidak, Claire. Saya tidak akan berhenti sampai semuanya terungkap. Karena saya penasaran, mengapa mereka sampai tega melakukan itu pada Carissa?"

"Saran saya jangan, Tuan. Yang terpenting sekarang adalah Carissa sudah dirawat dengan baik oleh Tuan Maroni,"

"Tidak bisa, kita sendiri saja masih belum tahu seluk beluk dari anak ini. Bahkan anda sendiri menerimanya dari pihak sekolah luar biasa setelah mereka tahu jikalau Carissa sama sekali tidak cacat mental ataupun disabilitas!" gertak Stefan.

"Carissa itu anak yang normal! Dia anak yang cerdas, Claire! Kau harus tahu itu!"

"Saya tahu sendiri, Tuan. Karena selama 2 Tahun ini saya yang merawatnya." tegas Claire yang juga terlihat emosi.

"Baik, jika Tuan akan bermain hakim sendiri soal ini. Tapi maaf, saya harus mundur. Permisi," Claire beranjak dari tempat duduknya, kemudian pergi.

Stefan menghela nafasnya dalam-dalam. Mencoba meredakan amarahnya yang tengah berhasil menghancurkan hubungan baiknya dengan Claire. Rasa sesal pun muncul. Ia sadar, bahwa tidak seharusnya ia bersikap arogan seperti itu.

Tapi, niatannya itu masih terpikirkan olehnya. Yaitu mempertemukan Carissa dengan Ibu kandungnya secara langsung, setelah menjemput Carissa dari sekolah.

"Tumben Ayah yang menjemputku hari ini? Apa Carlos sedang sakit?" tanya Carissa saat dalam perjalanan.

"Tidak, Ayah memiliki kejutan untukmu,"

"Kejutan lagi?"

"Ya. Aku yakin kejutan kali ini sangat spesial untukmu, lain daripada yang lain." ujar Stefan.

"Benarkah? Jangan membuatku penasaran, Ayah," balas Carissa manja.

Stefan hanya membalas senyuman padanya.

Saat hampir sampai pada tujuan, Carissa melihat arah jalan yang tak asing baginya. Kedua matanya hampir tak berkedip ketika Carissa melihat keluar jendela mobil.

"Ayah? Sepertinya aku tahu jalan ini,"

Stefan hanya diam, tak menjawabnya. Ia tetap mengemudikan mobilnya hingga terhenti di depan kedai makanan yang bertajuk Stella Food Court.

"Ayo, kita makan siang dulu," ujar Stefan.

Carissa hanya diam menatap kedai itu dari dalam mobil.

"Carissa? Ayo turun," Carissa pun tersadar dan menurutinya.

Perlahan mereka berdua memasuki kedai itu. Genggaman erat tangan Carissa pada tangan Stefan yang terasa dingin berkeringat menyertai iringan langkah mereka.

Stefan melihat Stella di hadapannya, yang sedang sibuk menangani karyawan-karyawannya disana. Kemudian Stella terpaku ketika tak sengaja melihatnya menggandeng Carissa, yang tak lain adalah putri kandungnya sendiri.

"Nyonya Stella?" sapa Stefan.

Dengan tatapan memelas, Carissa memandang Ibunya dalam diam. Bibir Stella bergetar hebat saat memandang putri tunggalnya. Seolah ingin melepas rasa rindu, namun dipersulit oleh rasa bersalah yang mendalam.

Air matanya pun menetes, melihat anak gadisnya yang tumbuh besar. Mengingat saat-saat terakhir sebelum berpisah, Carissa, gadis kecil kurus berusia 6 Tahun itu sempat menangis saat Stella dan suaminya mendaftarkannya ke sekolah luar biasa. Kini, ia melihatnya tumbuh menjadi gadis yang cantik dan sehat.

"Ibu?" sapa Carissa seraya menahan tangisnya.

Stella pun duduk tersungkur penuh sesal. Tangisannya memecah suasana ramai di kedai itu, menjadikannya hening seketika. Semua mata tertuju pada Stella yang sedang tengkurap menangis tersedu-sedu.

"Temui Ibumu, sayang. Ibumu sangat merindukanmu," Stefan tak kuasa menahan tangisnya saat mengatakan itu. Begitu pula Carissa.

"Tidak apa-apa, percaya padaku, Carissa. Tenangkan ibumu, ya?"

Carissa mengangguk dan menurutinya. Perlahan ia menghampiri Ibunya yang sedang menangis, lalu memeluknya. Suasana haru pun menghiasi seluruh ruang disana. Seorang Ibu dan anak yang saling berpelukan melepas kerinduan yang tak terbantahkan oleh apapun.

"Maafkan Ibu, Carissa. Maafkan Ibu," ucap Stella berkali-kali sambil memeluk erat putri kecilnya.

Stefan berusaha tersenyum dalam tangisnya saat melihat mereka berdua yang saling bertemu setelah sekian lama terpisah.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C11
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login