Download App

Chapter 2: Chapter 1

"Every breath i take is meant for you,

My soul belongs to you..."

Jemariku mengetik dengan cepat kalimat yg barusan kuudarakan.Jejeran kalimat romantis itu tercetak di ujung display salah satu halaman foto yg tengah kuedit,dengan dikelilingi garis-garis grafis bunga berwarna merah muda dan kuning yg cerah.Kusipitkan mataku,tepat ketika kedua tanganku menjauh dari keyboard PC di hadapanku.Menarik napas pelan,kucoba menatap layar komputer itu seksama.Cukup bagus.Foto-foto pilihan pre-wedding yg dilakukan di pantai kota Surabaya yg sebenarnya sama sekali tak romantis.

Yah,sudah tugasku mengubah foto dengan latar buruk menjadi istimewa.

Kudendangkan lagi barisan kalimat yg sama,dan sebagai gantinya,kudengar respond deheman dari balik punggungku.

"Yakin mau pakai kalimat itu?*

Aku melirik ke belakang,Mimi mengerucutkan bibirnya saat aku mengangkat kedua bahuku sebagai jawaban pertanyaannya.

"How do you think?"

Mimi terdiam.

"Ada ide?" tanyaku lagi.

"Blank."

Jawabannya sontak membuatku cemberut.Aku menghela napas.

"Ente sendiri nggak ada kalimat lain?" tanyanya balik.

"Ngerasa ada yg aneh aja.Dibilang romantis sih romantisnya kebablasan,Bikin merinding,bok.."

"Ini juga ane nyarinya di file love-quote yg kita bikin barengan,Dodol!" Aku berteriak frustasi.Kuregangkan jemariku dan dapat kupastikan baik aku maupun Mimi mampu mendengar gemeletuk suara tulang tanganku."Sumpah deh,aku kecapekan banget,Udah jam berapa sih ini? Kayaknya kita lembur banget.Hari Minggu,duduk melototin foto berjam-jam."

Mimi menjatuhkan Canon EOS di tangannya,lalu menguap lebar."Tahu gitu,semalem aku nggak ikutan nonton Bruce Almighty.Kamu sih maksa minta temenin nonton.Padahal udah berapa kali kita nonton film itu,heh?"

"Semalam aku ngajak kamu nginep buat langsung ngedit ni foto-foto.Tapi kayaknya kamu males banget,"keluhku sambil memainkan kursor ke sudut-sudut layar, menyusui potret sulur-sulur selendang tipis yg di bentangkan sebagai background photo shoot di tepian pendopo."Dan jangan salahkan aku dong,kalau TV-nya nyetel lagi film favoritku."

Mimi menaikkan satu alisnya ketika menatapku melempar cengiran lebar padanya.Sama seperti Stephen Chow,Jim Carrey adalah kekasih fantasiku.Tak peduli film-filmnya sudah berkali-kali ku tonton,aku tetap rela menontonnya lagi.

"Nah,inget kalimat romantis film itu,kan?" tanya Mimi.

Aku berbalik cepat.Mengabaikan teriakannya secara mendadak ketika aku menarik dan menggenggam tangannya,aku memejamkan mata.Dengan dehaman pelan,aku menarik napas.

"Ask me,ask me,God!" pintaku sambil tersenyum lebar.

Mimi memutar bola matanya,hafal dengan keinginanku.Ia terlalu ingat dengan scene favoritku dari film itu."Oke,You want her back?"

Aku menarik napas panjang."No.I want her to be happy,no matter what about that means.I want her to find someone who will treat her with all the love she deserved from me.I want her to meet someone who will see her always as I do now.Trough your eyes."

Sepi segera menyelimuti kamarku ketika aku selesai mengucapkan mantra barusan.Saat aku membuka mata,Mimi tersenyum simpul padaku.Aku lalu berteriak dan melemparkan punggungku ke ranjang.

"Kalimat itu romantisnya nggak ada tandingannyaaa!" teriakku."Aku sampai hafal."

"Dan nggak lebay," imbuh Mimi.

Aku mengangguk setuju sambil tetap memutar tubuhku ke sana kemari di atas ranjang."Aku selalu lemah sama kalimat-kalimat kayak gitu," lenguhku pelan."Andai ada ada Bruce Nolan di sekitarku, Cowok baik,humoris,supel,dan... romantis dengan caranya sendiri."

"Kalau ada ya sudah kusabet duluan sebelum ketemu kamu.'

Aku cemberut.

Mimi bergerak maju."Eh,aku mau nge-burn beberapa file yg udah jadi.Adobe nya ku minimize atau ku-save?" tanyanya sembari mendekat pada komputerku.

"Save as aja yah.Barangkali aku ada ide lain buat kalimat background nya," jawabku."Mungkin nanti aku harus melototin gambar-gambar romangis si pengantin itu."

Mimi mengangguk.

"Seneng banget aku ngeliat mereka,meski udah hampir lima jam aku ngotak atik foto mereka.Meski mereka bukan model profesional,tapi aku seneng ngelihat ekspresi mereka."

"Canggung,"

Aku tertawa mendengar satu kata yg meluncur dari mulut Mimi barusan."Tapi kita tetap bisa ngelihat sorot tatapan mata mereka saat saling memandang dan tertawa kikuk.Itu tatapan orang jatuh cinta."

Aku memejamkan mata, mengingat dengan jelas adegan demi adegan dari photoshoot dua hari lalu di jembatan-jembatan kayu yang terhubung dengan pendopo-pendopo yang menjorok di Pantai Kenjeran Lama.Hari itu aku menahan mati-mati an tawaku sendiri ketika Mimi berusaha meyakinkan sepasang calon pengantin yg menjadi model kami-berharap rasa canggung keduanya berkurang.Aku sih maklum.Berdandan, berpakaian kebaya dan tetek bengeknya,lalu berfoto di tepi jembatan, dihujani angin yang membelai sulur-sulur selendang panjang yang melilit tubuh si perempuan bukan hal yg wajar-wajar saja.Apalagi ketika banyak pengunjung lain yang menoleh pada sesi foto yg sedang berlangsung senja itu.

Memikirkannya sontak membuat wajahku memerah.

"Tidur?" suara Mimi membuyarkan lamunanku.

"Nggak.Cuma ngebayangin sesi foto terakhir kita.Mendadak kepikiran aja.Kapan ya,kita bisa ngelakuin sesi foto kaya gitu,bukan sebagai fotografer tapi sebagai objeknya?"

Mimi tertawa.

"Sayangnya,calon aja ngga punya.Aku udah sering ngebikin diriku sendiri sibuk berdoa, supaya orang yg jadi potongan tulang rusukku datang."

Mimi tertawa makin keras,"Merinding dengernya."

Aku mendengus."Gimana aku mau nungguin jodoh datang, sementara umurku sendiri nggak mau nungguin momen itu datang?"

"Lebay banget sih,belum juga umur tiga puluh."

Aku mengerucutkan bibirku.

"Eh,aku buka internet ya.Mau ngecek Facebook.Kali aja gebetanku sliweran."

Aku memutar bola mataku."Itu Facebook masih mode log in di akunku.Jangan lupa sign out kalau mau main Facebook."

"Sip!"

Beberapa detik hening,sampai akhirnya Mimi memutar punggungnya,menoleh padaku.Aku masih menenggelamkan wajahku di atas guling saat ia melempar kepalaku dengan gulungan tisu.

"Ada delapan notif,Mau dicek?"

Aku menggeleng."Nggak usah dulu deh,"

"Oke,ada dua inbox juga.Mau dicek?"

Aku menghela napas panjang.

"Udahan dulu deh galau gaje-nya.Ini Inbox mau kubuka nggak?Mau ku sign out nih."

"Buka ajalah.Lihat dari siapa.Sebutin aja namanya.Nanti kucek sendiri isinya dari handphone."

"Hmmmmmm."

Kudengar suara cetikan dari tetikus yg Mimi pegang.

"Satu dari Reza."

Mimi terdiam dan aku membisu.

"Masih marahan sama dia?" tanya Mimi.Aku memilih tak menjawab."Pasti SMS dan teleponnya kamu biarin, makanya di nge-inbox kamu."

"Ah, nggak usah bahas dia.Bete.Inbox satunya dari siapa?" pintaku sengit.Kuputar tubuhku.Terlentang.Kutatap nanar langit-langit kamar.Reza sial,belum jadi pacarku saja sudah membuatku kesal.

"Alay,"

Aku menoleh,"Heh?"

"Satunya dari anak alay.Kayaknya aku nggak kenal nama ini,"

Aku mengerutkan alis."Siapa namanya?buka aja deh, bacain,"

Kutunggu beberapa detik,Mimi malah menoleh padaku.Kutatap mata sahabat sekaligus partnerku dengan bingung.

"Kenapa?"

Mimi menggembungkan pipinya.Entah kenapa, ekspresinya seperti terlihat menahan senyuman."Seventh Cloud."

Aku makin mengerutkan alis.Nama itu..Aku mencoba mengingatnya, sebelum akhirnya mataku melebar sempurna.

"Isinya gue bacain ya!"

Aku tak sempat berkata jangan kepada Mimi.

"Hey Windy Firstiana Fera,are you..Brian's friend who gave me 'that' letter in High School seven years ago? I mean,the love letter..."


Load failed, please RETRY

New chapter is coming soon Write a review

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login