Download App
66.66% Mandul

Chapter 2: Part 2

Part 2 : Orang Proyek

#Mariana POV

Kabupaten Kepahiang, Propinsi Bengkulu.

Hai,,, namaku Mariana. Usiaku 23 tahun ketika aku mulai menceritakan diriku ini. Aku tinggal di sebuah Kabupaten wilayah perbatasan Sumatera bagian selatan dan bengkulu, namanya Kabupaten Kepahiang. Aku tumbuh sebagai gadis biasa saja, seperti pada umumnya. Kulitku putih karena aku tinggal di daerah dataran tinggi. Rambutku keriting, orang menyebutnya keriting indomie, karena mirip dengan mie instans yang belum direbus. Wajahku biasa saja, mataku selalu menatap sayu dengan alis meruncing di ujungnya. Bibirku tipis dengan tulang pipi yang sedikit kempot. Tubuh cukup kurus namun tetap proporsional. Tinggiku hanya 163cm, tetapi itu sudah cukup tinggi daripada teman-teman sebayaku. Aku tumbuh menjadi gadis yang biasa saja di dusunku. Aku anak terakhir dari empat bersaudara. Kakak-kakakku sudah meninggalkan Kepahiang setelah menikah, mereka ada yang tinggal di Lampung, Jakarta, dan Medan. Akulah yang paling terakhir di antara kakak-kakakku.

Di usia 23, belum menikah sudah biasa di dusun kami. Biasanya pernikahan dilaksanakan di usia 25, bahkan ada yang 30 lebih. Mungkin karena kurangnya media komunikasi membuat warga enggan untuk berkenalan, atau berpacaran. Aku sendiri tak begitu ahli dalam percintaan. Setelah lulus sekolah menengah aku hanya di rumah saja. Ya,,, di rumah layaknya ibu rumah tangga. Ayahku hanyalah buruh tani dan ibuku buruh pengocek bawang putih, terkadang aku membantu ibuku, namun aku tak tahan aroma bawang putih yang menyengat. Sehingga, aku lebih suka memasak atau menonton TV untuk mengisi waktu luangku yang amat lapang.

Aku tak mempunyai teman dekat, layaknya gadis remaja selalu punya geng atau perkumpulan arisan atau apapun yang biasa orang-orang kota lakukan. Mengingat jarak antar rumah cukup jauh dan aku tak bisa naik motor sendiri. Hal itu membuatku enggan untuk bertemu temanku, atau bahkan menggosip dengan tetangga. Hal yang kusadari bahwa semua itu adalah kesalahan terbesarku nanti. Aku seharusnya punya teman untuk menceritakan semua beban pikiranku, namun aku malah menyimpannya sendiri, seolah-olah diriku Wonder Women yang siap menghadapi apapun.

Wajah desaku cukup Asri, hanya saja jalan di Desa yang rencananya akan di Aspal dalam waktu dekat. Tak hanya mengaspal, mungkin lebih tepatnya menimbun karena konturnya yang tak rata. Aku terbiasa karena tak perlu jalan yang bagus untuk sekedar jalan kaki belanja di warung sembako Mangcik di pinggir jalan raya. Asalkan sandal tak licin, amanlah itu.

"Rencananyo, jalan kito ni nak aspal samo Bupati." (Rencananya, jalan kita ini mau di aspal sama Bupati) Bapak menceloteh sendirian seraya memakan Ubi buatan Ibu.

"Yo, baguslah, ndak payah lagi kito kalau cak itu." (Ya, baguslah, nggak susah lagi kalau begitu) Ibuku menjawab sekenanya karena ia selalu sibuk dengan Bawang putihnya.

"Masalahnyo, uji pak Kades, motor aku ndak pacak masuk. Soalnyo nak diratoke." (Masalahnya, kata pak kades, motor aku tidak bisa masuk. Soalnya mau diratakan) Bapak sepertinya tak setuju dengan pembangunan jalan di depan rumah.

"Yo, titipke bae di tempat mangcik, kau jalan ke rumah." Kata Ibu. (Ya, titipkan saja di rumah MangCik, kamu jalan ke rumah)

"Ah, ndak galak aku!"

(Ah, nggak mau aku)

Aku sedari tadi menonton TV, lalu terjeda oleh iklan. Aku berdiri dan ingin membuang air kecil. Kemudian aku menyahut perkataan bapak dan ibuku itu.

"Bapak ni manjo, aku be jalan tiap hari ke warung MangCik." Kataku mengolok bapakku.

(Bapak tuh manja, aku saja tiap hari jalan ke warung MangCik)

"Melok-melok pulo betino sikok ini. Kawinlah pulok sano! Mangko idak meningke." Balas bapak mengolokku.

(ikut-ikut saja anak perempuan ini, menikahlah sana! Biar nggak bikin pusing)

"Agek, nunggu ado yang pas." Ujarku seraya berlari ke kamar mandi.

(Nanti, tunggu ada yang cocok)

Kamar mandi dengan rumah utama memang terpisah agak jauh ke belakang. Susahnya ketika hujan, aku harus menggunakan payung untuk sekedar ke kamar mandi. Segera kubuang hajat kecilku disana, aku melihat ke bagian bawah tubuhku. Bulu-bulu halus memenuhi liang perawanku. Aku jadi teringat perkataan bapak barusan, aku harus cepat menikah. Kubasuh bagian sensitif itu dengan air dingin sedingin es ala pegunungan. Setelah itu, aku menatap tubuhku sendiri. Kurasa, pinggulku mulai melebar dan bongkahan pantatku mulai mengkal. Aku juga tak sadar bahwa Behaku mulai kesempitan. Segera kubuka BeHaku dan muncullah kedua puting susu yang berwarna kecoklatan. Kusentilkan dengan jari dan aku merasakan rasa geli. Hmn,,, sepertinya aku sudah siap untuk menikah.

¢£¢£¢£££

Keesokan harinya. Di kala mentari masih menyingsing namun tak terlalu tinggi. Di kala suara burung bersahutan merebutkan sang biji. Di kala tetesan embun membasahi setiap dedaduan kemangi. Aku harus menempuh perjalanan menuju tepi jalan raya. Ya,,, aku harus ke tempat MangCik untuk berbelanja hari ini. Bapak tak pernah mengantarku karena ia masih terlelap di kala pagi. Itulah kenapa aku katakan bapakku Manja, ia sudah tak mau mengatarku lagi ke toko Sembako MangCik. Aku berjalan sendirian, menikmati rimbunnya hutan. Jalan rumahku memang bisa di lewati mobil, namun sangat terjal dan berbahaya jika terperosok.

Ketika itu aku dikagetkan dengan suara-suara alat berat yang mendekatiku. Suaranya begitu kencang membelah hutan. Aku terpaksa menepi untuk memberikan jalan ketika alat bernama Backhoe itu lewat. Lalu,,,

"Eh, ado neng manis." Ucap salah seorang pekerja proyek yang duduk diatas alat berat itu.

Aku menghitung ada sekitar empat orang yang berada diatas alat berat itu. Mereka memandangku dengan pandangan nafsu karena aku memakai celana strits, lekuk tubuhku pasti terlihat sempurna di mata pria-pria itu.

"Wuih, lihat pantatnya. Enaaak coy!" Aku mendengar celetukan dari salah seorang entah siapa itu.

Tetapi, ketika aku mendengar suara-suara yang melecehkan itu. Jantungku terasa kencang berdetak. Darahku berdesir seolah aku menyukai diumpati sepertti itu. Belum lagi wajahku yang putih seakan merona karena jarang sekali aku bertemu pria sepantaran denganku. Entah, apa yang ada dipikiranku. Seperti pemikiranku kemarin, sepertinya aku sudah siap menikah. Tetapi menikah dengan siapa?

Setelah selesei berbelanja di warung MangCik. Aku kembali berjalan memasuki jalan menuju rumahku. Entah, aku berharap diriku dihina oleh orang-orang proyek itu. Aku terdampar dalam jurang lamunan ketika langkahku dikejutkan oleh deru suara motor yang berhenti disampingku.

Seorang pemuda berhelm proyek dengan sepatu boots tinggi tengah memakirkan motor besarnya di sampingku. Wajahnya biasa, ia sepertinya tak bermaksud menggodaku, walau sebenarnya aku ingin digoda.

"Eh, dek permisi. Numpang tanyo? Jingok ada alat berat masuk sini nggak?" Ujar pemuda itu. (Eh, dik permisi. Numpang tanya? Lihat ada alat berat yang masik kesini nggak?)

"Yo kak. Tadi ado alat berat kesini." Jawabku seraya menunjuk kearah jalan hutan.

"Oh, yo makasih." Pemuda itu menghidupkan motor besarnya. Suaranya tak begitu memekakkan telinga. Namun terlihat garang jika dinaiki oleh pemuda itu. "Eh dek. Mau bareng nggak?"

Pemuda itu menawariku. Sebenarnya aku ingin, namun aku hanya terdiam tak mampu menolak atau mengatakan iya.

"Ayo dek, nggak apa-apa. Rumahmu di dalam sana kan?" Ucap pemuda itu.

"Ya kak."

Aku tak pernah menaiki motor besar. Aku harus mengangkang untuk menaikinya. Lalu ketika pantatku menyentuh joknya. Tubuhku terasa condong ke depan. Hal itu membuat buah dadaku yang montok karena mamak membelikanku BeHa berkawat menyentuh punggungnya. Sensasi itu sungguh berbeda dengan yang lain. Aku merasa tubuhku terbenam dan ingin melakukannya lagi. Namun akal sehatku meminta untuk menahan tubuhku.

Pemuda itu tak beraksi, mungkin ia bereaksi namun tak ditunjukan kepadaku. Motor kami lalu melaju melewati jalanan tanah berbatu. Laju motor kami sangat pelan. Berkali-kali pemuda itu harus mengerem dan berkelok untuk menghindari tanah becek. Hal itu membuat tubuhku harus terlontar maju mundur, dan berkali-kali pula buah dadaku menyentuh punggungnya. Ditambah lagi kedua tanganku harus menenteng barang belanjaan. Aku tak tahu harus berbuat apa? Sensasinya sungguh berbeda dengan sentuhan yang lain. Aku merasa darahku berdesir menikmati setiap guncangan motor yang melaju di jalan tanah. Tak disangka, alat berat itu sudah didepan kami.

"Hoe," Pemuda itu berteriak kepada rekan-rekannya yang duduk diatas alat berat.

Mereka semua menoleh dan keheranan melihat kami.

"Oe, Ricky. Gadis mano yang kau ambek itu." Salah satu rekannya berteriak.

(Ricky, Siapa gadis yang kau bawa itu?)

"Diam kamu!" Ujar pemuda bernama Ricky itu. Aku hanya terdiam mendengar celetukan dari orang-orang proyek menggodaku itu. Walau sebenarnya, aku tersipu dengan gurauan mereka. Wajahku tetap biasa saja, aku berharap warnanya tak berubah merona ketika aku digoda.

"Kak, kak. Stop kak." Teriakku karena motor kami barusaja melewati rumahku. Seketika motor Ricky berhenti.

Posisi motor Ricky terlalu tinggi sehingga mau tak mau Ricky harus memiringkan motornya agar aku terbantu. Ia menatapku dengan senyuman biasa. Mungkin masih ada kecanggungan di antara kami sehingga tak ada percakapan yang berarti.

"Makasih ya kak," kataku.

"Sama-sama," jawabnya seraya tancap gas.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login