Download App
Melukis Senyummu Melukis Senyummu original

Melukis Senyummu

Author: Bening_Air_Telaga

© WebNovel

Chapter 1: Satu

Siang itu kamar hotel yang didominasi oleh warna putih nampak sunyi. Jendelanya terbuka menampilkan pemandangan di luar. Angin laut dari pantai Anyer masuk meniupkan gorden. Seorang lelaki mengoleskan cat di atas kanvasnya. Bibir tipisnya sesekali berbuka, matanya tajamnya terus fokus melihat kanvas, dan rambut halusnya terus bergerak tertiup angin.

Setiap goresannya terlihat pasti namun tanpa emosi. Ia menggambar lapangan rumput kosong dengan sebuah pohon besar di tengahnya. Gambar itu terlihat memiliki warna yang tak lazim. Batang pohonnya berwarna hitam dengan bayangan putih, dedaunannya berwarna merah terang, langitnya berwarna biru tua dan rumputnya berwarna hijau kekuningan.

Setelah goresan terakhir ia kembali menatap lukisannya lalu menghembuskan napas lega. Ia bangun dari duduknya berniat merapikan kekacauan di kamarnya. Sayang, ia justru menendang kaleng cat dan membuat lantai kamarnya berubah warna. Ia berdecak dan dengan lelah merapikannya. Tak lama ia keluar dari kamar dengan baju yang berbeda.

"Selamat sore mas Deno" Sapa seorang pegawai wanita penginapan dengan senyum manis. Deno tersenyum tipis tanpa menjawab dan berlalu pergi.

"Mas Deno manis banget ga sih? Lesung pipitnya itu loh. Sayang, jarang senyum hehe." Katanya pada seorang pegawai laki laki dari arah berlawanan yang sedang membawa handuk.

Pegawai laki laki itu mengangkat alisnya. "Dia mau keluar hari ini loh."

"Serius?! Kirain mau nambah satu bulan lagi." Pegawai perempuan menurunkan bahunya dan memasang wajah sedih.

"Dia udah sebulan di sini, belum puas lu? Pindah rumah aja sekalian dia ke sini kalo gitu. " Pegawai perempuan itu tersenyum lebar menampilkan gigi putih rapihnya. "Kalo bisa mah aku pengennya gitu."

Deno berjalan menyusuri rumah rumah warga menuju pantai. Pekarangan rumah disampingnya nampak dipenuhi tanaman. Seorang gadis merapikan bunga bunga itu sambil bersenandung. Mata Deno menangkap bunga dengan bentuk yang unik. Ia mendekat lalu menyentuh bunga itu.

Halus.

"Cantikkan?" Kata gadis itu sambil melirik.

Ia mengangguk setuju. "Ini bunga apa?"

"Dandelion. Lima puluh ribu aja kak, satu pohon itu." Tanpa mengucapkan sepatah katapun Deno mengeluarkan dompetnya lalu memberikan selembar uang lima puluh ribu pada gadis itu.

Deno lalu melanjutkan perjalanannya menuju pantai sambil membawa bunga yang ia beli tadi.

***

Jari jari lentik itu dengan lincah bermain di atas keyboard. Sesekali berhenti lalu merapikan letak kaca mata yang sedikit merosot dari pangkal hidungnya. Beberapa helaian rambut yang telah ia ikat tinggi terjatuh menutupi dahinya. Di mejanya sebuah papan nama bertuliskan Jihan berdiri tegak.

Ruangan yang berada di lantai lima belas itu menampilkan pemandangan terbaik dari kota Jakarta. Kaca besar yang menghadap ke jalan utama kota memperlihatkan kendaraan yang berlalu lalang serta gedung gedung tinggi lainnya.

"Mbak Jihan belum pulang ya dari kemarin?" Beberapa pegawai melihat Jihan yang ada di dalam ruang kacanya.

"Kayaknya belum, bajunya aja masih sama."

Jihan tak pernah mengenakan pakaian formal ketika menulis naskah. Ia akan menggunakan baju rumahan dan sandal rumah tentunya. Ia tidak memperdulikan pakaiannya ketika tidak ada hal penting di kantor.

Jihan memicingkan matanya ketika melihat beberapa kata yang tidak pada tempatnya. Ia lalu menengadah dan menarik nafas panjang.

Beberapa pegawai yang masih memperhatikan Jihan meringis "Mampus, siapa lagi nih yang kena?" Bisik salah satunya.

Jihan bangkit dari duduknya keluar ruangan sambil menenteng laptopnya.

"Luna! Lu yang ngerjain revisi Niko dan Lautan kan?" Jihan berjalan ke arah meja seorang gadis dengan kunciran kuning dan kacamata tebal. Ia melihat Jihan takut sambil memundurkan kursi berrodanya.

Ia melirik Jihan dari balik kacamatanya "Kemarin saya sakit mbak, jadi saya serahkan ke Arum."

"Siapa yang suruh lu ngasih ke Arum? Kan gue udah pernah bilang kalo ada revisi cuma boleh lu doang yang kerjain, kalo kayak ginikan bahasanya jadi berubah. Paham ga sih?" Jihan marah. Wajahnya tetap datar, suaranya pun tidak meninggi. Tapi terlihat lebih menakutkan daripada ketika berteriak mencaci maki.

"Paham mbak. Ga akan saya ulangi, maaf." Luna masih menunduk sambil memainkan jarinya takut.

"Introspeksi diri satu minggu, semua kerjaan lu gue alihin ke Arum." Jihan kembali ke ruangannya lalu dengan cepat merapikan barang barang di meja.

Sedangkan Luna membuka lebar lebar matanya ketika mendengar kalimat keramat itu. "Satu minggu mbak, bikin cerita apa saya? Disuruh bikin cerita enam bulan aja ga kelar. Kan mbak tau sendiri" Rengeknya pada salah satu senior di sampingnya.

"Pikirkan dari sekarang, cerita yang sederhana aja. Yang penting konflik, karakter sama latarnya jelas. Paham?" Luna mengangguk lemas dan kembali pada mejanya.

"Ali!" Panggil Jihan pada salah satu pegawainya saat keluar dari ruangan.

"Gue ke Anyer, kalo ada yang cari bilang aja lagi rapat."

Jihan terkenal sangat ketat pada naskahnya. Ia tidak ingin siapapun dengan sembarangan menyentuh naskahnya. Ia juga terkenal gila untuk mendalami perasaan karakter di dalam naskahnya. Jihan akan mempraktekkan sendiri kejadian yang ada pada naskahnya lalu menuliskan emosi yang ia rasakan setelahnya. Sama seperti saat ini.

Ia mengendarai mobilnya sendiri dari Jakarta ke Anyer hanya untuk mempraktekkan kejadian di dalam naskah.

Jihan menatap hamparan laut di depannya dengan tatapan kosong. Helaian rambut yang tertiup angin sedikit menutupi wajahnya. Sandal yang sedari tadi ia pegang dilepaskannya.

Jihan berjalan pelan membawa tubuhnya memasuki air laut. Napasnya memburu saat air laut menyentuh perutnya. Ketakutan mulai menjalar, kini ia melihat pegunungan di seberang yang tertutup awan mendung. Tubuhnya mulai ingin kembali ke daratan tapi suara di otaknya terus menyuruh untuk berjalan ke lautan. Satu tarikan nafas terakhir sebelum akhirnya ia memejamkan mata dan merasakan air laut di sekujur tubuhnya dari ujung rambut hingga ujung jari kaki.

Matanya terbuka di dalam air, Jihan terkejut. Tangan seorang lelaki menarik tubuhnya dan menyeretnya kembali ke daratan.

Keduanya duduk di pasir sambil terbatuk menyesuaikan nafas. Jihan terus menarik nafas, ia tak sadar bahwa tubuhnya telah kehilangan oksigen.

Lelaki itu melepaskan kemeja hitamnya menyisakan kaos putih dan celana hitam yang telah basah kuyup.

Ia buru buru menggapai bunga dandelion yang tadi ia lempar ke pasir untuk menolong Jihan. Jari jarinya membersihkan bunga itu dengan lembut. Sesekali ia meniup pasir pasir halus yang masih menempel. Setelah sadar ia menatap Jihan tajam terang terangan.

"Udah gila lu?"


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C1
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login