Download App

Chapter 2: Sahabat Diam Diam Suka

“Awww!” gadis itu memekik keras seraya meringis. Tubuhnya terjatuh hingga bagian siku terluka dan berdarah. Brosur di tangan sudah bertaburan di jalanan.

Empat orang anak laki-laki yang tadi bersenda gurau sampai menabraknya pun terdiam. Mereka seperti takut, terlihat dari mata mereka yang saling pandang satu sama lain, kemudian melihat gadis yang masih menyeka darah di siku dengan telapak tangan.

“K-Kak, maafkan kami,” ucap salah satu dari empat anak itu sambil menunduk.

Mendengar itu si gadis lantas menoleh. Ada rasa geram karena dirinya sampai terluka, tetapi dia juga tidak tega jika memarahi keempat anak yang terlihat ketakutan itu. Apalagi salah satu sudah meminta maaf.

“Ya, sudah nggak apa-apa. Tapi lain kali hati-hati. Ini untungnya Kakak cuma luka dikit, kalau banyak gimana?” Gadis itu memperingatkan.

“I-iya, Kak. Maaf.”

Mereka mengumpulkan brosur yang tadi tercecer, kemudian menyerahkan lagi pada gadis bermata bulat cerah tersebut.

Banyak orang di sekitar yang hanya melihat kejadian itu tanpa berniat menolong. Sebagian lagi malah terlihat acuh tak acuh. Akhirnya keempat anak itu pun pergi.

“Sial banget, sih, gue. Upah nggak seberapa, risikonya sampe kaya begini,” ujarnya lirih.

“Ariana!”

Gadis itu celingukan saat mendengar namanya dipanggil seseorang.

“Aria, woy!”

Dia menoleh ke belakang, tempat sumber suara itu berada. Benar saja, seorang pemuda tengah berjalan terburu-buru menghampirinya.

“Dirga, ngapain Lo ke sini?” sergah gadis bernama Ariana itu.

“Tangan Lo berdarah, Ar?” Dirga bertanya tanpa menjawab pertanyaan dari Aria.

"Ho'oh tadi ada anak-anak nggak sengaja nabrak gue. Tapi nggak apa-apa, kok. Besok juga udah sembuh.” Aria melihat luka di siku yang masih mengeluarkan darah meski tidak banyak.

“Itu lukanya lebar, Ar. Udah kita pulang aja, yuk. Biar gue obati di rumah.”

Akhirnya Aria mengangguk setuju dengan usul Dirga.

“Pegangan, Lo. Awas jatuh ntar yang ada luka bukan cuma di siku,” seloroh Dirga saat Aria naik ke boncengan belakang motornya.

“Iya, tahu!” balas Aria ketus.

Mereka adalah sepasang sahabat yang sudah kenal cukup lama. Selain itu mereka juga bekerja di tempat yang sama. Sebuah tempat karaoke yang sedang naik daun di pusat kota. Jadi hubungan mereka sudah cukup dekat. Aria merasa Dirga adalah teman lelaki yang enak diajak curhat meski Dirga tidak beranggapan begitu.

“Lo ngapain nyusulin Gue?” tanya Aria sedikit berteriak. Suara motor butut Dirga sangat ribut, jadi dia harus bisa mengimbangi dengan suara yang lebih keras agar pemuda di depannya itu bisa mendengar.

“Gue dikabarin sama manajer tempat karaoke, nanti malam akan ada banyak tamu yang datang, jadi kita harus bersiap datang lebih awal juga. Tapi tangan Lo malah kaya gini.” Ada nada sesal dan khawatir dalam alunan suara Dirga. Tapi itu tak disadari Aria sama sekali.

“Nggak apa-apa. Gue bisa pake baju lengan panjang biar lukanya tertutup. Lagian masih ada waktu beberapa jam lagi, kan? Lukanya pasti udah mendingan,” kekeh Aria.

“Lo selalu aja maksain diri, Ar. Kenapa nggak istirahat di rumah aja sesekali, gitu,” usul Dirga yang tidak tega melihat sahabatnya bekerja setiap hari.

Namun, keadaan membuat Aria harus banting tulang seperti ini. Ibunya adalah seorang pengidap gangguan mental dan saat ini sedang dirawat di salah satu Rumah Sakit Jiwa. Sedangkan sang ayah pergi meninggalkan dia dan ibunya dengan membawa anak sulung. Itulah yang menyebabkan ibunya menjadi depresi sampai saat ini. Tidak ada yang mencari nafkah untuk mereka, jadi Aria lah yang berusaha untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Rumah Aria dan Dirga tidak terlalu jauh. Mereka masih di perkampungan yang sama tetapi berbeda RT RW saja. Kehidupan Dirga tidak jauh berbeda dengan dirinya. Dia juga anak dari orang kurang mampu yang membuatnya harus bekerja keras membantu perekonomian keluarga. Hanya saja pemuda dua puluh tujuh tahun itu sangat ulet dan semangat saat bekerja. Dia punya keyakinan bahwa suatu hari nanti dirinya bisa sukses dengan semua kerja kerasnya selama ini.

“Emak gimana? Sehat, kan?” tanya Dirga yang menanyakan tentang ibu Aria. Sudah lama dia tidak bertemu dengan wanita paruh baya tersebut.

“Kalau obatnya nggak putus, ya, sesak napasnya nggak akan kambuh kata dokter. Makanya gue mau nambah kerjaan nyebarin brosur-brosur ini biar ada tambahan buat beli obatnya emak. Untuk beberapa hari ini kondisinya juga udah lebih stabil.”

Dirga terdiam.

‘Andai gue punya banyak uang, emak Lo pasti udah gue bawa ke rumah sakit ternama biar dirawat sampe sembuh total,' batin Dirga.

“Eh eh, Dirga. Itu rumah gue!” teriak Aria saat motor Dirga sudah melewati rumahnya. Dirga yang tengah melamun pun tersadar dan menghentikan kendaraan roda dua tersebut. Lalu memutar arah dan berhenti di depan rumah Aria.

“Lo ngelamun, ya?” tebak Aria seraya turun dari motor.

“Gue cuma lagi mikirin pekerjaan kita nanti malam,” jawab Dirga asal. Dia mencoba membuat mimik wajahnya terlihat biasa saja. Jangan sampai Aria tahu bahwa dia tengah memikirkan gadis itu.

“Ya udah Lo pulang sana. Gue mau istirahat.”

“Ya elah, udah pakai usaha jemput juga. Minimal disuruh masuk bentar gitu, kek. Dibuati kopi atau teh. Biar gue obati juga itu luka lo,” protes Dirga karena Aria langsung mengusirnya begitu saja.

“Emak gue, kan, lagi nggak ada di rumah. Hari gini gue juga nggak jadi jenguk emak karena ngejar target ngabisin ini brosur. Malah jadi luka gini. Besok aja, deh, gue minta antar sama lo ke rumah sakit,” tutur Aria menerangkan bahwa dia tidak bisa menerima tamu laki-laki sembarangan

“Oke, Ar. Gue paham. Maaf karena gue sempat maksa lo buat singgah tadi. Ya udah kalau gitu gue pulang dulu. Kalau tangan lo masih sakit jangan maksain diri buat kerja. Gue bisa minta izin sama pak Jordi,” sahut Dirga seraya pergi meninggalkan Aria.

“Dadah Dirga. Makasi Lo udah jemput gue!” teriak Aria karena Dirga sudah menyalahkan motornya

Dirga tidak menjawab, hanya terbit senyum simpul di bibirnya walau hanya mendengar ucapan terima kasih dari Aria. Rekan kerja sekaligus sahabat yang diam-diam dia sukai tanpa satu orang pun yang tahu. Termasuk Aria sendiri

***

“Ya ampun, Aria. Tangan kamu kenapa, Nak?” Bu Hamidah yang baru pulang dari kebun Pak Bondan terkejut melihat luka di siku Aria yang sudah sedikit berwarna keunguan. Seikat singkong yang dia bawa langsung dia letakkan begitu saja di lantai.

“Nggak apa-apa, Bi. Cuma luka kecil,” jawab Aria tenang sambil tersenyum. Dia tidak mau tetangga yang sudah seperti ibunya itu mengkhawatirkan keadaannya.

“Memangnya kenapa?” tanya Bu Hamidah lagi sambil merampas kapas di tangan Aria, lalu membersihkan luka tersebut.

“Ditabrak anak-anak, Bi. Mereka juga nggak sengaja.”

Bu Hamidah menatap dalam manik mata putrinya. Dia iba melihat gadis manis itu harus ikut menanggung beban keluarga di usianya yang masih muda.

“Kenapa, Bi?” tanya Aria melihat tatapan sang bibi yang berbeda.

“Maafkan bapak sama emak kamu ya? Karena kemiskinan kamu jadi ikut hidup susah seperti ini,” lirih Bu Hamidah sedih. Kedua matanya berlinang menandakan emosinya mulai meluap.

“Bibi, apaan, sih? Aria itu ikhlas bekerja. Lagian kalau nggak kerja pun Aria mau ngapain di rumah nggak ada kegiatan. Jadi Bibi nggak usah mikir macam-macam, ya. Bibi istirahat yang cukup, minum obat teratur biar ceper sehat. Kalau Bibi sedih, nanti keripik singkongnya nggak enak, loh,” goda Aria demi mencairkan suasana.

Benar saja. Akhirnya Bu Hamidah tertawa mendengar gurauan Aria.

“Kamu ini ada-ada aja? Memangnya bisa, ya, keripik singkong Bibi jadi nggak enak gara-gara bersedih?”

“Kurang tau juga, Bi!” celetuk Aria lagi yang membuat keduanya akhirnya tertawa.

Sebenarnya bu Hamidah adalah tetangga sebelah rumah Aria. Dia tidak punya anak dan suaminya sudah meninggal sejak beberapa tahun lalu. Sejak ayahnya Aria pergi dengan membawa anak sulungnya, lalu ibunya Aria depresi, maka dirinya lah yang sudah menganggap Aria seperti putrinya sendiri.

“Ya udah, Bi. Aria mau mandi dulu, abis itu istirahat,” pamit Aria.

“Makan dulu, Ar.”

“Udah, Bi. Pulang tadi Aria langsung makan. Tumis kangkung dan ikan asin goreng buatan Bibi selalu juara. Aria makan dua piring tadi,” seru Aria.

“Anak gadis jangan makan banyak-banyak. Nanti nggak ada pemuda yang mau,” gurau bu Hamidah menggoda.

“Ha ha ha. Bibi ada-ada aja. Aria nggak mau mikirin ke arah sana untuk sekarang. Aria mau nabung untuk mengobati ibu biar sembuh, terus bawa Bibi ke rumah sakit. Selebihnya nggak ada yang penting,” tutur Aria sembari menyungging senyum. Setelah itu dia beranjak dan melenggang pergi ke kamar untuk mengambil handuk. Lantas menuju kamar mandi yang ada di belakang bersebalah dengan dapur untuk membersihkan diri.


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C2
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login