Download App
My Kunoichi My Kunoichi original

My Kunoichi

Author: RezyBisma

© WebNovel

Chapter 1: Prolog

Naruto terdiam di balik pintu yang tertutup rapat. Gadis berambut pirang itu seolah bagaikan es yang membeku dibandingkan kehangatan di ruangan sana. Tangan yang sebelumnya tergantung di udara perlahan menurun hingga benar-benar terjatuh di sisi tubuhnya. Ia memejamkan mata dan mencoba menulikan indra pendengarannya.

Naruto menarik napas panjang, tapi mengapa masih terasa sesak? Lagi, geraman rendah penuh kepuasan terdengar di telinganya. Lagi, Naruto merasakan hatinya yang pecah semakin berantakkan. Tubuh si gadis gemetar penuh nyeri saat ia tak sanggup lagi melangkah. Bahkan meski hanya berbalik. Seperti dirinya bisa saja, batin gadis itu merendahkan dirinya sendiri.

Kenapa, Sasuke?

Kenapa harus Sakura? Naruto membatin nyeri.

Mata gadis periang itu memang tak berkabut, tapi tak juga bercahaya. Penuh dengan kekosongan tanpa tujuan hidup. Hanya ada tampilan membeku dari sinar matanya yang kosong. Bersama dengan kebingungan yang meratapi hatinya, mata gadis itu tak lagi fokus. Sama seperti matanya, wajah cantik yang biasa diukiri senyum rubah nan menggemaskan kini pucat dan menggelap. Kelinglungan terlihat jelas dari raut wajahnya yang menahan sesak.

Naruto mengencangkan kepalan tangannya. Ingin sekali... ingin sekali ia berbalik dan berlari. Tapi, mengapa sangat sulit? Kakinya lemas tak terkendali, tapi Naruto ingin pergi. Dia ingin melarikan diri dan hanya menganggap ini mimpi. Tapi... lagi-lagi kata 'tapi' terucap dalam keheningan.

Meski dibarengi dengan banyak pertanyaan serta emosi dan keinginan, raut wajah Naruto tetap tak berubah. Dia hanya membeku karena terlalu bingung dengan apa yang harus ia lakukan.

Sesak bukan lagi main-main menggerogoti paru-parunya. Nyeri tak lagi terasa dari kukunya yang menembus telapak tangan. Pada akhirnya, demi meredam emosi, Naruto mengepalkan tangan hingga berakhir dengan luka di telapak tangannya. Tak seberapa, memang, dibandingkan yang ada dalam hati. Lebih sakit lagi karena dirinya harus berada di sini. Di tempat dimana dia pikir adalah rumahnya.

Kali ini desahan sang sahabat wanita yang terdengar. Nyaring penuh kepuasan. Di sana; di bawah tubuh kekasih hatinya terbaring sang sahabat. Di atas kasurnya; kasur kami. Tapi, masih bisakah disebut kami?

Tes...tes...tess....

Tak terasa, meski bola matanya redup dan hampa masih dapat memperlihatkan nyerinya. Air mata mulai menetes mengalir di pipinya. Hangat, tapi membakar hingga ke ujung ulu hatinya.

Naruto... gadis itu kembali mengambil napasnya, tapi hampir meloloskan isakan yang Naruto tahu betul akan menarik perhatian sepasang insan di sana.

Rubah dalam tubuhnya menghela napas dengan decihan hina di ujung bibirnya. Uchiha memang tak dapat dipercaya. Kesembilan ekornya melambai-lambai tepat saat Naruto hampir jatuh ke jurang kegelapan.

"Kuu...," bisik gadis itu pelan, memanggil si rubah yang terdiam, tetapi mengalirkan energi ke kakinya. Rubah itu menopangnya. Dia tak sendiri. Pemikiran itu agak membuatnya merasa dibutuhkan.

Naruto berkedip, melepaskan sejumput air mata yang terjatuh di udara. "Hiraishin," bibir si gadis terbuka tanpa suara dan kilatan orange terlihat bersamaan dengan hilangnya Naruto di rumah cintanya. Ya. Cintanya.

Gadis bersurai pirang di sana mengerjapkan matanya yang terasa panas. Bayangan hari itu membuatnya tersentak rasa nyeri. Ia menggelengkan kepalanya untuk mengusir air mata yang siap jatuh dari pelupuk matanya dan mengusir bayangan yang menyesakkan. Naruto, nama gadis itu, tersenyum tipis dan menyemangati dirinya agar tak menangis.

"Ganbatte, Nar!"

Naruto mengambil napas dalam dan mengepalkan tangannya; mendongkrak semangat dari hatinya yang patah. Ia kemudian melangkahkan kaki menuju ruangan pengantin. Ruangan yang seharusnya menjadi miliknya, tapi kini menjadi milik sahabatnya.

Naruto menggigit bibir lalu mengusir pikiran itu lagi. Ia sedikit berbisik, "Gak apa-apa, Nar... Ini bukan milikmu sejak awal."

Gadis itu mengusir wajah sedihnya dan tersenyum cerah. Ia kemudian memutar kenop pintu setelah mengetuk pintunya. "Saku? Boleh aku masuk?"

Wanita yang sedang duduk di balik cermin rias itu kemudian menoleh pada Naruto yang berada di pintu. Matanya melebar dengan tubuh yang berdiri karena terkejut. Seketika senyum yang telah ia siapkan untuk orang-orang langsung membeku.

"Na–Naruto!" panggil si gadis musim semi. Ia mencengkram baju pengantin yang seharusnya menjadi milik Naruto hari ini. "Ka–kau ada disini?!"

Naruto tersenyum lembut. "Hi, lama gak ketemu," sapa gadis pirang itu. Ia kemudian menutup pintu dan menghampiri Sakura. "Duduk saja. Gak baik buat kandunganmu kalau lama-lama berdiri."

Sakura yang dituntun duduk oleh sahabat pirangnya agak linglung. Rasanya tak percaya kalau wanita yang telah disakitinya ada di sini. Wanita yang menjadi tunangan suaminya dulu. Wanita yang dicuri kekasihnya. Wanita yang merupakan sahabatnya. Naruto Uzumaki.

"Hey, kok linglung?? Sudah selesai make up–nya?" tanya Naruto dengan lembut. "Apa aku seseram itu? Hm? Aku gak makan manusia, lho," candanya agar suasana tak membeku.

Sakura masih tergugu. Siapa dia?? Dia dimana? Kenapa dia disini??

"Bu–bukan gitu. Maksudku... aku..." Sakura menghela napasnya dan mengusap wajah cantiknya. "Uh, maafkan aku, Naru!" serunya setelah beberapa saat kemudian.

Naruto terkekeh melihat wajah tegang sahabat musim seminya. Ia mencubit pipi gembil Sakura yang chubby karena kehamilan wanita itu. "Maaf untuk apa, hm?"

Sakura menggigit bibirnya yang terpoleskan lipstik merah. Dia menunduk merasakan cubitan dalam hatinya. Cubitan kebersalahan dan dosa melihat wanita di depannya masih dapat tersenyum padanya. Pada seorang sahabat yang menusuk sahabatnya sendiri.

Sungguh Sakura merasa berdosa. Tapi, keegoisan atas Sasuke tak dapat ditahannya. Ia malu akan dirinya sendiri, tapi Sakura lebih ingin mengejar bahagianya.

"Maafkan aku, Naru. Aku tak bisa mundur," ujar Sakura pelan di tengah keheningannya. Ia semakin merundukkan kepalanya, tak kuasa melihat mata Naruto.

"Hahaha, sudahlah. Lupakan itu. Ne?" bujuk Naruto lalu mengangkat wajah Sakura. "Aku ke sini bukan untuk membuatmu sedih, tapi untuk memberikan wejangan, hahaha," tawa riang Naruto kembali terdengar. Ia seakan tak tersakiti melihat apa yang dilakukan sahabatnya.

Sakura mengedipkan matanya. "Wejangan?"

Naruto tersenyum. "Iya, masa aku sahabatmu gak hadir di pernikahanmu dan tidak berbicara dulu denganmu." Kemudian gadis itu memasang wajah konyol. "Apa kata dunia?" tanyanya lebay.

Melihat wajah lucu sang sahabat, Sakura tiba-tiba tersenyum. "Jangan lebay," katanya sengau menahan tangis. Ia rindu Naruto. Rindu dengan kelucuan si pirang.

Naruto terkekeh. "Makannya jangan gitu, dong. Aku datang itu diundang, 'kan?" tanya gadis itu kemudian mengedipkan sebelah matanya.

Merasakan candaan keduanya yang dirindukan Sakura, gadis musim semi itu tak sadar kalau dirinya menangis. Air mata yang membuat panik Naruto saat melihatnya.

"Astaga, Sakura! Jangan menangis, dong!" terkejutnya lalu menangkup wajah sang sahabat dan mengusap air mata di sana. Tapi, yang dilakukannya menambah air mata yang jatuh dari pelupuk mata sang sahabat.

"Aduh, malah tambah nangis! Aku harus apa? Duh, Sakura... Jangan nangis, dong. Nanti gak cantik lagi, gimana?" perkataan absurd si pirang membuat Sakura tertawa di tengah tangisnya.

Naruto mengerjap melihat itu. Otaknya terasa macet. "Kau ini ketawa atau nangis??? Harus aku hentikkan, tidak?"

Stupid Naruto

Sakura menyeka air matanya sendiri. Ia kemudian mengambil kedua tangan si pirang. Ia mengerti sang sahabat. Mungkin, Naruto tak mengucapkan perihal apa yang telah terjadi. Tapi, kehadirannya di sini dan candaannya membuat Sakura tahu. Naruto menerimanya. Naruto memaafkannya.

"Terimakasih, Naru," ujar Sakura pelan.

Naruto agak tertegun. "Sama-sama. Sekarang jangan khawatirkan apapun. Menikah dan ikat pantat ayam itu supaya gak kabur lagi, ne?" candanya.

Sakura tertawa dan mengangguk. "Pasti, Naru. Aku akan membalas dendammu," balas gadis Haruno itu.

Naruto tersenyum, tapi hatinya....

Ia memang bercanda, tapi hatinya....

Ia memang memaafkan dan mengikhlaskan, tapi hatinya....

Sekali lagi, tubuh Naruto menderita sakitnya. Bisa gadis itu rasakan. Rasa sakit ke tulang dan saraf tubuhnya. Ia merasa sesak. Sangat sesak.

"Aku akan keluar. Gak akan ganggu kamu lagi. Aku pergi, ya?" pamit gadis itu lalu berdiri.

Sakura langsung mengapit tangannya. "Apa kamu akan hadir di pemberkatanku?" tanya gadis itu penuh harap.

Naruto mendesah pelan dalam hatinya. Oh, Sakura... tahukah kamu kalau untuk menemuimu hari ini sudah sangat berat kulakukan??

Tapi, gadis pirang itu tersenyum dan tak bisa mengucapkan tidak pada mata berkaca sang sahabat. Baru saat itu, Sakura melepaskan tangannya.

"Janji, ya?"

"Iya, Saku–chan."

Naruto dengan pelan keluar ruangan dan menutupnya. Setelah yakin tertutup, gadis itu tak kuasa lagi menahan berat tubuhnya hingga ia bersandar di pintu. Tangan segera ia rapatkan ke mulut mencegah tangisnya terdengar. Khususnya terdengar oleh Sakura.

Sesaknya masih ia rasakan. Sangat sesak hingga membuat Naruto tersenggal.

Ia mengumpat. Padahal Naruto telah siap. Ia siap menemui Sakura, tapi kenapa hatinya masih sangat sakit?

"Sial, Baka Naru!" umpatnya pada diri sendiri. Tak lama kemudian gadis itu dapat mengedalikan emosinya dan bisa berdiri sempurna kembali. Naruto mengambil napas dalam lalu menyemangati dirinya sendiri, lagi.

"Semangat, Nar," bisiknya sendiri lalu melangkahkan kaki menuju ruang pesta. Tanpa menghiraukan rubah dalam tubuhnya yang menatap sang inang dengan tatapan sakit.

Nyatanya Kurama telah melarang gadis itu untuk datang. Ia sangat tahu akhirnya akan menjadi seperti apa. Kurama kecewa. Bukan pada Naruto, tapi pada semua teman-teman jhincuriikinya. Rasa-rasanya bagi Kurama, mereka semua sungguh tak tahu diri.

Kurama sudah menyuruh gadis itu membenci mereka. Membenci Sasuke. Membenci Sakura. Tapi, kenapa? Kenapa Naruto harus tak menurutinya.

Dia adalah Naruto. Jhincuriiki-nya yang Kurama tahu, spesial. Karena apa?

Naruto itu baik

Kebencian rasanya tak pernah ia rasakan

Bagi Kurama, Naruto itu tidak pantas menerima semua keburukan di sini. Bagi Kurama, Naruto harus tersenyum dan bahagia setelah impiannya tercapai. Bukan malah tersakiti akibat kebohongan semua orang. Kebohongan yang ia tahu dan peringatkan pada si pirang.

Tapi, Naruto memilih percaya pada hatinya. Hati kecilnya yang berkata itu tak benar. Hingga berakhir seperti ini pun, Naruto masih percaya mereka melakukan semua itu karena itu baik menurut mereka.

Naruto tidak pernah menyalahkan siapapun. Bagi dirinya, diri sendirilah yang harus disalahkan. Bukan mereka.

Pemikiran yang membuat Kurama tak mengerti harus bagaimana lagi terhadap kebaikkan si pirang. Kebaikkan yang sama yang menjadi alasannya untuk percaya pada Naruto, Jhincuriikinya.

Naruto menutup pintu rumahnya. Bukan, tapi pintu rumah keluarga Namikaze. Rumah yang hanya dirinya yang bisa masuk. Rumah yang diwariskan kepadanya sejak dia kembali dari peperangan.

Ia melepaskan sepatu ninjanya dan menaruh alas kaki di tempat yang ibunya sediakan. Ada kerinduan dalam mata si gadis pirang melihat pernak-pernik rumah. Foto-foto ibu dan ayahnya menyebar di seluruh ruangan.

Gadis itu mengelilingi rumahnya. Rumah keluarganya. Melihat setiap sudut yang tak sama sekali berubah meski ditinggalnya selama dua bulan. Naruto mengukir senyum saat dirinya membayangkan aktifitas kedua orang tuanya di tiap-tiap ruangan.

Matanya berkaca membayangkan setiap kenangan yang diwakili foto-foto di dinding. Naruto mendesah. Ia hanya meninggalkan rumah ini selama beberapa bulan, tapi bersikap seolah sudah lebih dari setahun.

Gadis itu tersenyum tipis. Biarlah. Lagipula ia membutuhkan orang tuanya saat ini. Saat dimana hatinya telah pecah menjadi serpihan kecil. Apalagi dengan sikap teman-temannya....

Gadis itu kembali menggeleng dan mengusir pikiran negatif dalam pikirannya. Ia tak boleh berpikiran buruk pada temannya sendiri. Benar. Yang terjadi, biarlah. Naruto sudah tak peduli lagi.

Naruto tak ingin menangisi Sasuke lagi. Ia akan menerima dan tersenyum. Sama seperti tadi saat dirinya memberikan selamat pada pengantin baru itu. Senyum di bibirnya tak boleh runtuh meski tangis telah berada di ujung matanya. Tak boleh menangis dan membiarkan pertahanannya melemah.

Naruto mengusap wajahnya kasar. Lagi-lagi ia memikirkan itu. Sebaiknya gadis itu sekarang merapikan rumahnya. Hari hampir malam dan dirinya akan malas kalau itu terjadi. Jadi, dengan semangat, gadis yang baru saja datang itu mengambil sapu; memulai kegiatannya seraya menyenandungkan musik.

Beberapa saat kemudian Naruto tersenyum puas melihat hasil kerjanya. Debu di setiap benda termasuk di ubin telah bersih. Sekarang, rumah ini tampak ditinggali lagi dengan hangat.

Naruto mengusap keningnya yang berpeluh. "Akhirnya selesai juga," desah gadis itu lega.

Waktu menunjukkan pukul tujuh malam saat Naruto selesai membersihkan dirinya sendiri. Usai berganti pakaian menjadi yang lebih tipis, gadis itu sudah akan bersiap untuk tidur kala ketukan di pintu depan mengusiknya. Dengan mengambil jaket oranyenya, Naruto melangkah ke depan seraya memakai jake khas dirinya itu.

Begitu Naruto membuka pintu, sungguh dirinya terkejut melihat beberapa teman-temannya di sana. Ada Hinata dengan kimono modifikasinya, tiga saudara Sabaku, si malas Shikamaru Nara, Kakashi–sensei, dan Tsunade Baa–chan.

Dengan mengangkat alisnya, gadis itu membeo, "Kalian disini?"

Wanita berumur lebih dari limapuluh tahun, tapi memiliki penampilan muda itu memutar bola matanya. Ia segera melayangkan pukulan pada si gadis pirang yang masih tergugu di depan pintu.

"Auch!"

"Woy, Gaki! Kau tidak mengizinkan kami masuk, huh!?"

Masih linglung, Naruto memiringkan tubuhnya ke pintu agat dapat membuka ruang lebih lebar. Dan saat semua orang sudah masuk, Gaara yang terakhir memasuki rumah keluarga Namikaze itu meraih bahu si gadis.

"Naru, kamu gak apa-apa?"

Naruto menatap pemuda berwajah panda di depannya. Ia menggelengkan kepala mengusir kelinglungan dirinya lalu tersenyum lebar. Baru sadar kalau kini rumahnya tak lagi tampak kesepian.

Gadis itu tersenyum lebar dan langsung meloncat pada pelukan si bungsu terakhir Sabaku tersebut. "Gaara! Aku gak nyangka kamu akan datang!"

Gaar menstabilkan tubuhnya yang agak mundur akibat pelukan sahabat pirangnya. Ia kemudian terkekeh dan membalas pelukan si pirang. Karena sungguh dirinya mengerti, si pirang sedang membutuhkan pelukan.

"Lama gak berjumpa, Naru!"

Naruto melepaskan pelukannya. Ia ingin mengajukan lebih banyak pertanyaan ketika sebuah sendal kayu meluncur ke arah keduanya!

Naruto langsung menunduk sedangkan Gaara mengendalikan pasir agar melindungi mereka. Kemudian mata sepasang insan itu berpandangan melihat pasir yang rusak parah akibat sendal kayu di sana.

"Ya! Baka Gaki! Cepat masuk, Bodoh!"

Suara teriakkan seenaknya dari Nenek Tsunade membuat bulu kuduk gadis itu merinding. Tapi, keduanya lalu terkekeh. Merasa lucu karena kejadian ini rasanya sudah sangat lama terjadi. Kejadian dimana Naruto terkena omelan dari nenek angkatnya itu.

Naruto kemudian berteriak, "Iya, iya, Baa–chan!"

.

.

.

.

Dengan dibantu Hinata dan Temari, ketiganya langsung menyajikan minuman dan membuat beberapa makanan ringan dari lemari pendingin Naruto. Memang gadis itu tak bisa memasak, sama halnya Temari yang masih dalam tahap belajar. Untungnya Hinata dapat melakukan pekerjaan rumah tangga ini sehingga akhirnya makanan ringan pun jadi.

"Kenapa kalian semua ke sini?" tanya Naruto setelah memastikan semua teman-temannya berkumpul di ruang keluarga.

Kakashi–sensei yang sedang memperhatikan beberapa foto lama di rak buku samping perapian menoleh. "Aku ingin numpang makan," jawab pria itu yang jujur saja hampir membuat Naruto melemparkan nampan pada wajah tertutup masker itu.

"Sensei, kamu, 'kan tahu aku tidak bisa memasak," keluh si gadis. Kalau saja gurunya itu mengambil alasan lain... tapi, alasan numpang makan? Siapa yang sudi mempercayainya?

Tsunade Baa–chan menyandarkan tubuhnya pada sofa di depan perapian yang menyala—sengaja dinyalakan Kankuro atas paksaan calon kakak iparnya itu. Tangan seputih giok milik si wanita tua itu mengambil paha ayam goreng di atas piring.

"Jangan dengarkan sensei busukmu ini!" ujar wanita yang merupakan guru sahabat Naruto tersebut. "Aku ingin minum dan butuh teman. Kebetulan mereka ingin pergi ke tempatmu," lanjutnya menunjuk pada ketiga saudara Sabaku, "jadi aku ikut."

Naruto percaya saja. Ia mengangguk-angguk sedangkan bibir Hinata berkedut. Siapa, ya, yang tadi menyeret dirinya saat bertemu di perempatan jalan menuju rumah ini? Siapa, ya, yang sepertinya sedang maju–mundur gelisah di depan perempatan? Hinata gak kenal.

"Aku ingin menemani Naru–chan," jawab Hinata dengan senyum lembut dan manisnya. Mata sipit perempuan Hyuga itu tampak melengkung dari senyumnya.

Mata Naruto seketika berkaca-kaca. Gadis pirang itu mendesah. "Ah, Hinata...!" seru si gadis langsung memeluk sahabat Hyuga-nya. "Aku terharu!!"

Hinata yang dipeluk terkekeh lembut. Mengerti benar tabiat wanita yang dicintai mendiang kakak sepupunya itu.

"Kalau kalian gimana?" tanya Naruto melepaskan pelukannya lalu menghadap pada tiga Sabaku dan si malas Nara. Ah, jangan tanyakan Shikamaru. Lelaki itu sudah lebih dulu menuju mimpi dengan bersandar di sofa dekat perapian.

"Kami berdua diseret Gaara ke sini," jawab santai Temari yang diikuti adik keduanya, Kankuro. "Padahal besok aku harus pergi kembali ke Suna," lanjut si pria boneka.

Gaara, si bungsu tampan berwajah panda itu mengangguk dengan datar. Ia tak malu meski dijual oleh kakak perempuannya. "Aku ingin menemanimu. Lagian sudah lama kita gak ketemu."

Naruto menggaruk pipinya yang tak gatal. "Jadi, kalian kemari sengaja untuk bertemu denganku. Tapi, besok kalian akan kembali ke Suna?" simpul si gadis pirang.

Temari mengangguk dan meminum coklat buatan Hinata itu. "Iya."

Lagi, mata gadis itu berkaca-kaca. Tapi, begitu dia ingin memeluk Gaara—yang duduk di dekatnya langsung memasang perisai pasir. Lelaki berambut merah itu kemudian menggeleng. "Jangan peluk, Naru. Malu."

Naruto merenggut kesal melihat wajah datar temannya yang berkata malu, tapi sedatar panci rumahnya. Tapi, gak apa-apa. Mereka semua datang untuknya. Dan malam itu, rumah Naruto penuh dengan kehangatan.

Malam itu, teman-teman Naruto menghiburnya.

Malam itu, teman-teman Naruto menemani sosoknya yang kesepian.

Malam itu, ia habiskan bersama temannya dan melupakan rasa sakitnya

Malam itu, Naruto tahu dirinya tak sendiri lagi.

.

.

.

Usai mengantar teman-temannya pulang dari rumah keluarga Namikaze, Naruto mendesah lagi melihat ruang keluarganya berantakkan lagi. Matanya melirik pada jam berbentuk katak di atas perapian. Jam itu menunjukkan pukul 11 malam.

Sudah sangat larut rupanya.

Ah, Naruto malas membersihkan ini. Besok sajalah ia bersihkan kembali. Saat ini, Naruto ingin tidur.

Gadis berambut pirang itu kemudian melangkahkan kakinya menuju kamar tidur milik orang tuanya yang sekarang menjadi kamarnya. Naruto yang lelah hanya melempar asal jaket oranye yang dipakainya dan memasuki kamar mandi. Setidaknya meski lelah, gadis keturunan Hokage keempat Konoha itu mencuci muka dan deretan gigi putihnya.

Naruto melangkahkan kakinya menuju ranjang, tapi sialnya malah gadis itu terpeleset di ambang pintu kamar mandi! Dengan reflek yang bagus, gadis itu cepat-cepat menopang tubuhnya dengan menekan tembok kamar mandi agar tak terjatuh.

"Huft, kepeleset segala," rutuk Naruto seraya menstabilkan dirinya. "Akibat mengantuk, nih!"

Tapi, tiba-tiba telapak tangan Naruto yang menempel di tembok merasakan getaran!

Mata Naruto melebar karena terkejut dan segera menarik tangannya kembali. Ia langsung mundur beberapa langkah hingga punggungnya menempel di tembok lainnya.

Tiba-tiba aliran chakra muncul dan membentuk sebuah pintu di tembok tersebut! Dan daerah pintu kemudian membuka dirinya sendiri!

Mata Naruto menyipit. Ia tak menyangka akan ada ruangan rahasia di kamar mandi ini. Dia sepertinya menyalakan fuinjutsu yang disiapkan mendiang sang ayah.

Kemudian dengan hati-hati, Naruto melangkah memasuki ruangan rahasia yang ternyata agak sempit. Ruangan seukuran kamar mandi itu tampak kosong kecuali tiga rak buku besar berdebu di setiap sisi ruangan. Ruangan itu tampak gelap dan lembab, tapi bersih dari cicitan tikus. Sepertinya ruangan ini sangat dijaga mendiang kedua orang tuanya.

Mata Naruto mengedar ke seluruh ruangan. "Tempat apa ini?" monolog gadis itu. Dia tak pernah tahu orang tuanya memiliki ruangan rahasia. Ia melangkah lebih jauh tanpa sadar hingga berdiri di tengah ruangan.

"Kuu, apa kamu tahu tempat ini?" tanya Naruto pada si rubah besar di tubuhnya.

Kurama yang telah bangun dari tidurnya mengedarkan pandangan. Kening si rubah berkerut, berusaha mengingat ruangan apa ini?

"Sepertinya aku tahu," suara berat Kurama menyapa pikirannya. "Ini ruangan yang dibangun sengaja untuk ibumu dari Minato...." suara si rubah agak menggantung. Sepertinya ia sedang berusaha mengingat.

"Ah, benar! Ruangan ini..." suara Kurama kembali menggantung, "shit! Jauhi ruangan ini, Naru!"

Belum sempat Naruto membalas, tiba-tiba seluruh ruangan menjadi terang dengan beberapa lampu yang menyala!

"Shit! Pergi dari sini, Nar!"

Suara teriakkan Kurama kembali terdengar. Dan yang terakhir Naruto tahu, dia mengumpat dengan panik dan semuanya menggelap!


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C1
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login