Download App

Chapter 88: Bab 88

Sejenak Soully menghela nafasnya ketika ia menengadahkan kepalanya hanya untuk sekedar melihat unit teratas apartement yang berdiri megah tepat di hadapannya. Jendela kaca dengan balkon teratas itu gelap. Apakah suaminya sudah tidur?

Soully membalikkan badannya dengan menarik koper besar yang ia pegang mengikuti arah tubuhnya dari belakang. Langkahnya terhenti ketika seseorang dengan tiba-tiba menarik lengannya. Soully memekik karena tubuhnya terjerembab ke dalam dekapan hangat ketika tarikan tangan seseorang menarik dirinya.

Mata mereka bertemu, seolah dunia berhenti berputar saat itu juga ketika dengan tiba-tiba saja telapak tangan kekar dan hangat itu menangkup kedua pipi di wajahnya. Wajahnya segera mendekat dan waktu benar-benar berhenti ketika benda kenyal dan hangat itu terbenam dalam bibir mungilnya. Mata Soully membulat, detak jantungnya berdebar sangat kencang. Bibir tebal dan memabukkan itu memporak-porandakan bibirnya. Rasa mendesak dan penuh emosi jadi satu, Soully merasakan ciuman itu begitu penuh nafsu, dan...itu tidak baik.

Segera, Soully menjauhkan wajah dan tubuhnya dari pertautan bibir yang sedang mengekplor seluruh mulutnya. Nafasnya terengah, kilatan kabut gairah terpancar jelas dari manik mata yang sedang memandangnya dengan penuh amarah.

Ya, suaminya dirundung kekesalan. Mengapa? Apa yang terjadi?

***

Yafizan bangkit dari tempat tidurnya. Tak ada gairah, sungguh ia tak ingin melakukan apapun. Ketika Rona mengetuk dan Tamara yang menggedor pintu kamarnya dengan kasar membuat ketenangannya terusik. Suara ribut itu, ia tak mempedulikannya lagi. Sebagai seorang pengawal, harusnya Rona bisa mengatasi semacam gangguan kecil yang mengusik hidupnya. Ya, fikirnya seperti itu. Walaupun ia berfikir Tamara istrinya, entah mengapa rasa itu tidak ada. Rasa yang sedang ia rasakan saat ini. Kerinduan, kehilangan, hampa, hatinya begitu kosong.

Yafizan memejamkan matanya ketika ia menghidu aroma Soully pada bantal yang sedang ia peluk erat itu. Bantal yang Soully gunakan sehari-hari dan ia fikir baru malam tadi Soully menggunakan bantal itu. Namun, aromanya begitu kuat. Seakan candu menyelimuti kalbunya saat ini.

Tubuh tegapnya berdiri di depan kaca jendela besar kamarnya yang terhubung pada balkon bila ia menggeser kaca jendela itu. Ruang kamarnya gelap, sehingga orang takkan mengira jika ia sedang berdiri menatap keindahan malam serta lampu kota yang terlihat berkelap kelip dari atas ruang kamarnya.

Matanya membeliak ketika manik mata sendunya menangkap jelas sosok yang entah mengapa sangat dirindukannya saat ini. Ada rasa yang membuncah bahagia ketika ia dengan yakin sosok perempuan mungil yang keluar dari dalam mobil sport biru elektrik itu adalah Soully.

Ingin rasanya ia segera terjun dengan cara berteleportasi lalu menarik perempuan itu ke dalam pelukannya. Namun, niatnya terhenti ketika matanya menangkap sosok lain yang keluar menyusul setelah Soully turun. Sosok pria yang dengan senyuman tulusnya itu menurunkan sesuatu di dalam mobilnya lalu memberikan koper besar itu pada Soully.

Rasa geram menyelimuti dirinya, ketika sosok pria dengan senyuman manis itu merengkuh tubuh mungil Soully dalam dekapannya.

Dan tangan sialan itu mengelus rambut kepala Soully. Dan parahnya lagi, ia melihat tangan Soully melingkar membalas pelukan pria itu. Matanya sudah berkilat penuh amarah.

Kenapa? Kenapa dengan dirinya? Siapa perempuan itu? Mengapa hatinya memanas ketika ada tangan pria lain menyentuh tubuhnya?

Yafizan melihat Erick pergi meninggalkan Soully sendirian. Ia bisa melihat dengan jelas tatapan kesedihan dalam manik mata Erick walaupun dirinya tersenyum manis pada Soully.

Yafizan menatap lekat wajah Soully ketika perempuan itu menengadahkan wajahnya ke atas balkon di mana dirinya sedang berdiri menatapnya dalam kegelapan. Tatapan sendu itu, berhasil meredakan emosi yang hampir meledak dalam dadanya.

Tidak, jangan pergi!

Yafizan melihat sosok mungil itu melangkah meninggalkan pekarangan apartementnya dengan menarik koper besar di tangannya. Lalu, untuk apa ia ke mari tapi pada akhirnya ia pergi juga?

Rasanya sungguh tak rela. Segera, Yafizan memejamkan matanya secepat berteleportasi ia mengejar Soully. Menarik lengannya dan mendekapnya erat ketika tubuh mungil itu terpental dalam dadanya. Ada rasa yang bergejolak dalam dirinya. Tangannya bergerak secara alami untuk menangkup wajah mungil itu, dan pandangannya terfokus saat melihat belahan bibir yang berwarna merah jambu itu yang begitu menggodanya. Ia teringat akan malam penuh gairah antara mereka semalam. Tanpa terduga, ia memajukan wajahnya lalu membenamkan bibirnya dalam bibir mungilnya.

Mengapa bibirnya begitu manis?

Dan amarah kembali memuncak ketika ia teringat akan Erick yang memeluknya tadi. Ciumannya semakin mendesak. Tanpa sadar bibirnya begitu memporak-porandakan bibir mungil itu.

***

"Ke-kenapa kau?" Soully terengah, wajahnya sudah sangat memerah, teringat bagaimana jika ada orang yang melihat kejadian ini? Tanpa sadar ia melihat sekitar apartement itu dengan penuh antisipasi. Ia memang sudah cukup lama tinggal di apartement itu, tapi tak banyak orang tahu jika ia istri dari seorang Yafizan Aldric yang terkenal.

Akan apa jadinya bila benar ada orang yang melihat adegan barusan. Soully tak mempermasalahkannya karena dirinya bukan siapa-siapa. Yang pasti ia hanya akan mendapatkan cibiran sesaat dari orang-orang mengenai dirinya. Ya, mungkin dirinya akan dianggap sebagai wanita penggoda atau perusak rumah tangga orang lain.

Lain halnya jika menyangkut soal Yafizan. Orang-orang akan berfikir buruk tentang dirinya. Suami tak bertanggung jawab, suami tak tahu diri dan lain-lain.

Memikirkan hal itu membuat Soully ingin memaki diri sendiri. Ya, rasanya itu memang kata yang pas untuk mengutuk suaminya saat ini yang sedang tidak ingat padanya.

Soully baru tersadar ketika melihat sosok pria yang sedang memandangnya dengan tatapan tajam. Pakaiannya masih sama saat terakhir kali ia pergi meninggalkan apartementnya. Dan...rambutnya, begitu acak-acakan.

Sosok ini seperti bukan suaminya yang menjunjung tinggi kerapian dan kebersihan. Bahkan penampilannya. Ada apa dengannya?

"Apa...kau baik-baik saja?" pertanyaan konyol itu lolos begitu saja dari bibir mungilnya.

Yafizan mengusap kasar wajahnya lalu berdecak kesal seolah menyesali perbuatannya. Soully melihat jelas penyesalan itu. Apa dia memang sebuah penyesalan untuk hidup suaminya?

Yafizan terkekeh getir. Dia pun tak mengerti akan dirinya sendiri. Akan perasaannya. Soully terlihat bingung akan tingkah lakunya. Apakah, Yafizan gila?

Suara langkah kaki seseorang menginterupsi mereka. Pantulan khas suara heels seseorang terdengar jelas pada telinga kedua insan yang sedang dilanda kecanggungan itu. Sehingga membuat keduanya menoleh pada sumber suara tersebut.

Tamara menghampiri Yafizan, tangan lentiknya berhasil melingkar pada lengan kekar Yafizan.

"Baby, kenapa kau ada di sini? Sejak kapan kau keluar dari apartement?"

Soully memutar bola matanya. Sungguh rasanya ia ingin segera memuntahkan semua isi perutnya saat ini juga. Namun, kenapa sekarang perutnya sulit diajak kompromi?

Tidak, tidak! Perutnya mendukungnya. Saat ini juga Soully ingin memuntahkan semua isi perutnya di depan keduanya.

Wangi parfum Tamara, menyeruak ke kedalaman panca indera penciuman Soully. Rasanya pening, dan memabukkan.

Oh, apa Tamara mandi parfum?

Soully segera menutup mulutnya. Rasa mualnya tercekat di tenggorokan. Rasanya sudah tak tahan lagi. Niatnya yang ingin memuntahkan isi perutnya di hadapan keduanya ia urungkan. Soully segera menjauh dari hadapan suami dan mantan kekasihnya itu yang sedang bergelayut manja pada lengannya. Ia melupakan koper besar di tangannya yang ia tinggalkan begitu saja untuk mencari tempat yang tepat untuk ia mengeluarkan isi perutnya.

Beruntung ia melihat kran air yang berada di taman depan apartement. Soully berjongkok untuk mengeluarkan isi perutnya. Namun, yang ada hanyalah cairan kuning yang terasa pahit. Soully terbatuk lalu mengusap mulut serta membasuh mukanya yang sudah kacau karena deraian air mata yang keluar saat dirinya memuntahkan rasa yang bergejolak dalam perutnya.

Kenapa denganku akhir-akhir ini?

Yafizan melepaskan tangan Tamara yang bergelayut manja pada tangannya. Ia segera menyusul Soully ketika tubuh perempuan mungil itu berlari dengan tergesa-gesa. Kekhawatiran menyeruak ketika ia melihat wajah pucat yang terjadi pada Soully. Dan dirinya begitu terkesiap saat melihat tubuh istrinya yang roboh karena berjongkok dengan memutar kran air di hadapannya, lalu ia mengeluarkan cairan kuning entah apa dan membuat wajah itu semakin memucat, serta air mata dan keringat yang membekas mengukir wajah cantiknya.

Rasa iba bergelayut pada kalbunya. Apa yang terjadi? Apa Soully sakit? Apa dirinya baik-baik saja saat ini?

Tanpa sadar, telapak tangannya mengusap tengkuk leher perempuan mungil itu. Rasanya ia begitu mengkhawatirkan perempuan ini.

Soully mendongakkan wajahnya menatap siapa pelaku yang membantunya meredakan rasa tak enak yang melanda perutnya. Usapan hangat pada tengkuk lehernya cukup menenangkannya.

"Kau baik-baik saja?" pertanyaan itu. Pertanyaan yang membuat mata Soully memanas. Tanpa menjawab, Soully hanya menganggukkan kepalanya. Ia pasti akan meneteskan air mata saat itu juga jika mulutnya berucap.

Dari kejauhan, Tamara menghentakkan kesal kakinya. Ia tak mungkin menyusul Yafizan mendekat mengingat pria itu sedang kesal padanya. Ia tak ingin berakhir tragis di tangan manusia jadi-jadian, fikirnya.

***

"Terima kasih." Soully menerima botol air minum yang Yafizan berikan padanya.

Mereka kini duduk berdua di bangku taman di sekitar apartement. Yafizan masih tak banyak bicara, begitupun dengan Soully. Setelah menenangkan dirinya tadi, Soully memilih untuk diam sejenak meredakan rasa tak enak di perutnya. Yafizan membantu memapah Soully untuk duduk di bangku taman. Rasa khawatirnya membuncah ketika melihat kondisi perempuan mungil yang akhir-akhir ini mengganggu fikirannya.

"Aku..." bersamaan mereka berucap setelah keheningan terjadi beberapa saat. Seulas senyuman terukir di sudut bibir mereka.

"Kau duluan saja," ujar Yafizan mempersilahkan.

"Maaf." hanya kata itu yang bisa Soully ucapkan. Yafizan tertegun ke arahnya. Rasanya Soully enggan meneruskan ucapannya ketika cairan panas itu mulai menyeruak dalam matanya.

Kenapa perasaannya melankolis sekali akhir-akhir ini?

"Maaf untuk apa?" tanya Yafizan menatap lekat wajah Soully. Rasanya ia ingin sekali merengkuh tubuh mungil itu. Logika dan tubuhnya tak bisa diajak kompromi saat ini.

"Maaf karena..." ucapan Soully terhenti ketika suara ponsel berdering cukup keras menginterupsinya.

Panggilan masuk dari teman barunya.

"Kau di mana?" tanya Elly.

"Apa kau sudah sampai?" Soully beranjak berdiri lalu memutar badannya mencari-cari sosok yang sedang meneleponnya. Tak lama ia melambaikan tangannya ketika matanya menangkap sosok yang dicarinya. Soully pun menutup panggilan teleponnya

"Maaf, aku harus pergi. Temanku sudah datang menjemputku," pamit Soully. Rasanya ia enggan pergi meninggalkan suaminya itu.

Yafizan tak bicara, ia hanya mengangguk ketika Soully pamit pergi meninggalkannya. Rona sudah ada di dekat mereka ketika Elly datang menghampiri Soully untuk menjemputnya.

"Ini tasmu?" tanya Rona menyerahkan koper besar itu pada Soully.

"Oh ya, hampir saja aku melupakan ini." Soully terkekeh menerima koper itu dari tangan Rona. "Terima kasih," ucapnya tulus pada Rona, dan Rona hanya mengangguk.

"Ayo." Elly sudah mengajak Soully untuk segera pergi karena hari sudah mulai larut.

"Aku...pergi dulu," pamit Soully sekali lagi. Berharap lelaki yang menjadi suaminya itu menahannya. Matanya menatap Rona. Rona pun menatap dengan pandangan, 'bersabarlah'.

Soully tersenyum lalu mengangguk. Pun dengan Elly yang dengan sopan pamit pada kedua petinggi penting di perusahaannya.

Berbagai macam pertanyaan berkecamuk dalam kepalanya ketika ia menuntun Soully berjalan untuk pulang. Soully mengusap punggung tangan Elly seolah tahu apa yang ada di fikiran teman barunya itu.

"Aku baik-baik saja." Soully tersenyum, menenangkan apa yang Elly fikirkan.

Rona dan Yafizan menatap lekat dua punggung perempuan yang sudah menjauh pergi. Mata Yafizan berkilat. Rona menatap bosnya yang sedang dalam keadaan hampa...

***

Maafkan jika penulis abal² ini sering lost update ya mentemen 🙏🏻

Cerita ini udah mau aku tamat'in, tapi fikiranku skak matt..hehe

Smoga kalian yang masih favorite'in cerita ini, masih setia menunggu dengan sabar yaa

Terima Kasih


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C88
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login