Download App

Chapter 2: 2

Hari berikutnya, Gaffi dan Monic datang menghampiriku saat jam makan siang, di kantin. Padahal aku berniat untuk makan siang sendirian, tapi nggak lama meja di sebelah ditarik merapat dekat dengan mejaku, lalu bangku-bangku kosong mulai diisi oleh teman-teman satu tim sepak bola Gaffi.

Mereka menundukan kepalanya padaku sebagai sebuah sapaan, aku mengenali sebagian wajah dari mereka semalam saat pertarungan gelap. Aku juga yakin kalau mereka melihatku semalam, karena mereka juga menundukan kepala seperti tadi saat mata kami bertemu. Tapi anehnya nggak ada satupun dari mereka yang mengungkit keberadaanku yang asing di sana.

"Woy," sebuah suara berat lewat menegur Gaffi dengan tepukan di bahu.

Saat Gaffi mengangguk, gue dan Monic menoleh dan mendapati Ray yang duduk di ujung meja. Dia diikuti oleh dua mahasiswi berambut panjang yang di cat kombinasi silver dan pink dengan pakaian yang serba ketat. Yang satu membawa dua gelas berisi es jeruk, yang satu membawa dua piring entah berisi apa.

Saat mereka meletakan piring dan gelas di hadapan Ray, mereka menundukkan badan terlalu rapat hingga menghasilkan gesekan di antara lengan Ray dan dada mereka. Aku setengah mati menahan wajahku agar tak meringis jijik.

Aku memang nggak mengenal Ray dengan baik, hanya mendengar sedikit saja dari Monic yang sering bercerita sambil lalu. Tapi aku tahu soal reputasinya yang suka bermain perempuan, mendekatinya dengan mudah, menidurinya satu malam lalu di tinggalkan.

"Gue mau muntah, dasar murah." bisik Monic.

"Gue denger ya nyet!" sahut si pirang.

Monic mengangkat bahunya tak acuh, tapi si pirang yang lain terlihat nggak terima dengan apa yang dilakukan Monic. "Nggak sadar diri," katanya kemudian.

Monic yang nggak terima lantas mengambil garpu di atas piringku dan melemparkannya ke arah si pirang. Tepat saat si pirang hendak menghampiri Monica Yang duduk di sebelahku, Ray menjegal kakinya hingga dia terjatuh.

"Monic teman gue, jangan macem-macem."

"Ray," jawabnya merengek manja. Sekarang aku yang ingin muntah.

Seperti sedang nggak terjadi apa-apa, Ray mengabaikan rengekan si pirang, dan beralih pada piring yang tadi di sajikan. Si pirang saling bertatapan, mereka mendengus lalu berlalu pergi meninggalkan meja kami.

Aku melirik Ray yang sedang mengedipkan mata pada Monic, dengan santai menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Di saat yang sama aku melihat sebuah luka kecil di atas alisnya. Dia menoleh ke arah Gaffi, keduanya mengobrol lalu mulai terjadi sebuah percakapan seru di antara keduanya dengan anak-anak tim sepak bola. Yang duduk berdekatan dengan mereka.

Meski jam makan siang sudah hampir habis, dan kantin juga terlihat sepi. Aku, Monic juga Gaffi masih duduk mengobrol dan membuat rencana untuk menghabiskan libur akhir pekan ini. Dari sudut mata aku melihat Ray berdiri dan bersiap meninggalkan meja. Tapi berhenti tepat di samping Gaffi, lalu membungkuk dan membisikan sesuatu pada Gaffi.

Aku nggak tahu apa yang dikatakan Ray pada Gaffi, hingga membuatnya mendesah dan menggelengkan kepala. Aku masih berusaha bertahan untuk menatap kalender yang tadi aku buka dari ponselku saat membuat rencana akhir pekan bersama Monic. Sampai aku merasakan Gaffi mencolek lengan atasku, saat aku mengangkat kepala aku mendapati Ray yang sedang menatapku.

"Jangan pura-pura Lupa, lo udah kenal sama Bella, sahabat dekat Monic. Gue dan monic sering menyebut nama Bella dalam beberapa percakapan kita. Bell, ini Ray, lo juga udah ketemu sama dia semalam." Aku melirik Gaffi yang mendongak menatap Ray sedikit terganggu, mungkin karena merasa nggak enak hati padaku.

Lalu aku kembali menatap Ray, yang kini sedang menyunggingkan senyumnya padaku. Tepat saat itu jantungku berdegup dengan kencang. Bahkan suara degupannya sampai terdengar ke telingaku sendiri.

"Gue tahu, tapi gue nggak pernah kalian kenalkan. Sejak kapan kalian bersahabat Mo?" tanya Ray pada Monic, tanpa melepaskan tatapanmu padaku.

"Sejak lama," Jawab Monic tak acuh, "Lagian nggak usah pura-pura lupa. Semalam kalian bertemu dan mengobrol, lo bahkan meninggalkan jejak di kardigannya," tambah Monic.

"Gue meninggalkan banyak jejak di banyak kardigan," jawab Ray sambil tersenyum.

"Menjijikan," bisikku sambil meringis jijik.

Ray menarik kursi kosong di sampingku, dia memutar kursinya hingga berbalik sebelum di duduki. "So, jadi siapa namamu princess?" tangannya terlipat dan bersandar pada punggung kursi, dengan tatapan mata yang nggak lepas menatap tepat ke mataku.

Aku ingat semalam dia sempat menyebut namaku, di tempat itu memang terlalu bising dengan teriakan. Tapi bukan berarti aku tak mendengar. Atau memang aku yang salah dengar? Aku menggeleng lalu melengos untuk mengalihkan tatapannya.

Aku mendengar dengusan, lalu sedetik kemudian daguku tertarik. Salah tapi ditarik sedikit memaksa olehnya hingga kembali menatapnya.

"Well, kamu belum jawab pertanyaanku. Bell."

Aku menyentakkan kepala sedikit keras, untuk melepaskan tangannya yang menahan daguku. Lalu kembali melengos, dan menenggak habis minuman di gelasku yang masih setengah.

"Kamu sudah memanggil namaku tadi," kataku tak peduli.

Pura-pura tak peduli.

Ray kembali mengulurkan tangannya ke depan wajahku, untuk sesaat aku mengernyitkan kening tak mengerti dengan maksudnya, sampai sedetik kemudian aku menyambut uluran tangannya, "Ray, Gallean Ray."

Aku melirik ke arah Monic, lalu kembali menoleh ke Ray.

"Aku tahu siapa nama kamu."

"Kamu tahu, ya?" Jawab Ray dengan keterkejutan yang di buat-buat sambil mengangkat alisnya yang terluka.

"Jangan terlalu percaya diri. Tapi aku nggak mungkin mengenal namamu saat ratusan mahasiswa meneriaki namamu semalam."

"Penggemar," katanya sombong, membuatku ingin memutar mata dengan malas.

"Kamu sakit mata?" tanyanya menambahkan.

"Sakit apa?"

"Sakit mata, dari tadi matamu, terus berkedip dan memutar ke atas. Atau bergerak nggak tentu arah." Dia tertawa, saat aku berdecak sebal.

Dia menyandarkan kepalanya pada tangan yang terlipat di punggung kursi, mengunci tatapannya padaku, "Tapi matamu indah."

Aku kembali menundukan kepala, dan meraih ponselku. Mencoba untuk mengabaikannya, membiarkan rambutku yang tergerai menutupi sisi wajahku, untuk menyamarkan wajah yang mungkin saja sekarang sedang merona merah. Jujur aku nggak suka dengan apa yang aku rasakan sekarang. Aku nggak mau disamakan dengan perempuan-perempuan yang sering mengikuti dan menempel padanya. Aku nggak suka dengan cara dia merayu yang ternyata mempengaruhiku.

"Don't even think about that, she's like my sister." Kata Monic, dengan nada penuh peringatan.

"Sayang, kamu baru aja ngelarang si Ray. Semakin dilarang dia akan semakin sulit dihentikan." Kini giliran Gaffi yang menyelak kami.

"Lo bukan tipe Bella sama sekali." Ray mendengus nggak percaya, lalu melirik Monic nggak suka.

"Gue tipe semua perempuan." Gue melirik ke arahnya, senyum gue nggak tertahankan. Tingkat kepercayaan dirinya sungguh di luar dugaan.

"Nah gitu dong Bell, senyum. Kan jadi kelihatan manis." Senyumku menghilang seketika, saat menoleh ke arahnya dia hanya mengedipkan mata dengan senyum jahil, yang entah kenapa aku suka. "Aku bukan laki-laki brengsek."

Dia berdiri dari kursi, lalu mengembalikan posisi kursi ke tempat semula, sebelum berjalan menghampiri Monic. Dia menunduk dan mendekatkan bibirnya ke telinga Monic. Tapi belum sempat bibir itu mendekat dan mengeluarkan sepatah kata, Gaffi sudah lebih dulu melempar Ray, dengan potongan bakwan goreng dari piringnya.

"Jauh-jauh dari pacar gue!"

"Usaha! Gue lagi usaha, nggak bisa banget lihat sepupuh lo senang ya." Ray berbalik dan melambaikan tangannya pada kami. Mataku kembali melirik dua mahasiswi yang tadi datang bersamanya. Keduanya berjalan cepat menghampiri Ray, sambil cekikikan di belakang. Gue menggelengkan kepala pelan merasa jijik melihat pemandangan barusan.

Aku mendengar Monic terkekeh di sampingku, "Lo dalam masalah Bell."

"Dia bilang apa tadi?" tanyaku waspada.

"Dia minta kamu untuk mengajak Bella ke rumah kan?" tanya Gaffi.

Monic menganggukan kepalanya pada Gaffi, lalu menggelengkan kepalanya padaku. "Bell, gue yakin lo lebih cerdas dari yang gue kira selama ini. Gue nggak mau ikut campur sama urusan asmara lo. Tapi lo harus tahu, kalau suatu saat nanti pada akhirnya lo jatuh hati sama Ray. Lalu kalian berdua bertengkar dan berpisah. Lo nggak boleh melampiaskannya pada hubungan gue dan Monic, Oke?" jelas Gaffi dengan wajah yang serius penuh peringatan.

Aku tersenyum. "Gue nggak akan jatuh hati. Apa gue terlihat seperti salah satu dari si pirang yang tadi?" jawabku dengan nada tak suka.

"Dia nggak akan jatuh hati," tambah Monic untuk meyakinkan Gaffi.

"Ini bukan kali pertama dia mengacaukan hubungan kita sayang. Kamu nggak ingat di malam kamu mendapati aku sedang mengantarkan salah satu perempuan yang baru aja dia ajak ke rumah." Gaffi menoleh kearahku dan menatapku dengan penuh kekhawatiran.

"Setelah selesai, Ray buang begitu aja, dia minta gue untuk mengantar perempuan itu pulang. Dan Monic melihat itu dengan dugaan yang aneh di kepalanya. Gue nggak mau mengulang kejadian itu lagi. Anggaplah lo jatuh hati, tapi setidaknya lo udah gue peringati dari sekarang," tambahnya.

"Lo nggak perlu khawatir," jawabku pelan, mencoba untuk meyakinkan Gaffi, meski diriku sendiri nggak yakin. []


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login