Download App
54.54% Nemesis Book

Chapter 12: Meet With Adam

KECUPAN lembut itu sangat tiba-tiba. Daniel terdiam kaku dengan wajah yang merah bagaikan rebusan kepiting. Diamnya adalah emas? Tidak. Seberapa lama pun dia diam, dia akan tetap malu dengan dirinya. 

'Tolong, jangan kutuk aku, semesta,' batinnya dengan mata ditutup paksa. 

Jika reaksi Lily sama, salah! Dia hanya terkejut saja. Dia tetap melihat Daniel dengan mata tak berkedip, dan kepala yang bergeleng miring. 'Apakah dia malu?' tanya batinnya itu. 

"Daniel, kenapa kamu menciumku?" tanya Lily enteng. Bagaimana mungkin seorangan wanita berbicara terus terang seperti itu. 

"Ah, lupakan. Siapa juga yang menciummu tadi. Kamu tidak melihat? Seseorang dibelakangku tidak sengaja mendorongku. Itu kecelakaan!" jawabnya keras. Dia tampak tidak ingin menambah rasa malunya. Alhasil, dia memiliki ide untuk beralasan aneh pada gadis itu. 

"Masa, sih? Tapi aku melihatnya tidak seperti itu. Kamu menciumku cepat tapi berbeda jika kamu sengaja mendorong. Kamu bahkan memejamkan mata. Hey, kamu menikmatinya, ya? Apakah ini ciuman kesekian kalinya?" tanya Lily tidak tahu malu. 

Daniel berharap Lily diam saja. Kenapa gadis itu sangat frontal dengan ucapannya. "Hey, ini ciuman pertamaku, ya! Enak saja! Kamu sudah merebutnya, Lily!" jawab Daniel marah. Entah kenapa marahnya sangat lucu. 

"Benarkah? Ini ciuman pertamamu? Wah sayang sekali, ya. Kamu mencium orang yang bahkan tidak kamu cintai. Maaf, ya. Aku pergi dulu," pamitnya tanpa memasang ekspresi menyenangkan. Lily pergi begitu saja. 

'Kok, dia tidak mengejar, sih? Ah, sudahlah. Dasar pria jahat! Sudah mengambil ciuman pertamaku tapi, dia tidak bertanggung jawab. Argh! Kesal!' batinnya sembari menghentak-hentakan kakinya. 

"Kenapa dia pergi, sih? Aku salah, ya?" tanya Daniel bingung. Dia semacam anak 10 tahun yang ditinggal ibunya sekarang. 

Ditengah tatapannya terhadap angin kosong yang sempat dilalui Lily tadi, seseorang memanggil Daniel keras, Daniel tidak mendengarnya sampai dia pun menyerah menjerit ditengah keramaian. Dia pun menghampiri Daniel, tidak lupa dengan menepuk keras kepala Daniel. 

Puk!

"Aw, siapa yang memukulku?" tanya Daniel kesakitan. Dia memutar balik badannya. 

"Maaf, ka. Harusnya aku memukul telingamu saja!" bentak seorang anak kecil dengan rambut dikepang. 

"Laila? Kenapa di sini? Kamu sama siapa datang ke tempat ini?" tanya Daniel panik. 

"Tuh!" jawabnya sambil menunjuk seorang wanita yang sedang membeli 3 ice cream. 

"Kak Rachel?" panggil Daniel kepada Rachel yang memegang 3 ice creamnya. 

"Kenapa? Terkejut? Sudah selesai pacarannya? Kok pacarmu pergi sendiri, sih?" tanya Rachel sembari duduk di kursi sebelah Daniel. 

"Hah? Bu-bukan pacar, kok" jawabnya terbata-bata. 

"Kalau bukan pacar, apa? timbrung Laila. 

"Y-ya, teman, lah," jawabnya nyolot. 

"Mm, lagi marahan, ya?" tanya anak kecil yang sedang menjilat ice cream vanilla itu. 

Rahang Daniel mengeras. Alisnya terangkat naik. "Laila, kamu sedang sakit gigi, 'kan? Kok, makan ice cream, sih," kata Daniel marah. Dia juga berusaha mencari pembicaraan lain. 

"Eh, benarkah? Ah, maafkan aku. Aku tidak tahu, Daniel," kata Rachel yang merebut ice cream milik Laila. Kini, gadis itu hanya bisa menganga melihat dua manusia di sampingnya dengan ice cream yang dingin. 

Laila merasa kesal. "Ahhhh! Terus, Laila makan apa, dong?" tanya anak menggemaskan itu kepada mereka. 

Daniel dan Rachel saling membelalakan mata. 

"Ka-kalau begitu, Laila mau apa?" tanya Rachel takut kalau Laila marah. 

Daniel meminta maaf dengan mengusap kepala Laila pelan. "Maaf, ya, Laila tidak bisa makan ice cream. Laila beli yang lain saja, ya," pinta Daniel lembut. 

"Kalau begitu, pulang dari sini, aku mau ke cafe dekat rumah saja, deh. Aku mau roti yang paling baru itu, loh. Yang tidak pakai topping apa-apa. Boleh, kan?" pintanya kepada sang kakak itu. 

Daniel menganggukan kepalanya. 

***

Setelah menghabiskan waktu di tempat tadi, mereka pun pulang dengan bus yang diinginkan Laila. Bagaikan seleksi masuk Universitas, sangat susah mencari bus berwarna pink yang sering lewat baru-baru ini. Jika kalian menyangka itu kemauan Laila, salah besar. Itu keinginan Daniel. 

Kini, mereka pun berjalan sedikit untuk memasuki cafe yang dimaksud Laila tadi. 

"Itu! Itu! Kak, Daniel. Aku mau roti itu," kata Laila yang menunjuk menu terbaru di cafe tersebut. 

"Iya, iya, Laila. Duduk dulu, ya," kata Daniel lembut. 

"Di sebelah sini, Daniel," ucap seorang pria tua yang tidak lain adalah Adam. 

Mereka pun menempati tempat yang sama dengan Adam. 

"Wah, Pak Adam, bagaimana kabarnya?" tanya Daniel senang. Dia jelas sekali senang dengan Adam. Karena Adam diam-diam membantu sekolah dia dan adiknya. Ditambah, dia memberikan tutor belajar padanya. Ini benar-benar keberuntungan bagi Daniel. 

"Saya baik. Bagaimana denganmu? Apakah senang belajar dengan Rachel?" tanya Adam. Dia menyeruput kopi hitam di depannya. 

"Iya, saya senang sekali. Kak Rachel bukan hanya tutor saja. Namun, dia seperti keluarga bagi saya. Pembelajaran yang diberikan juga tidak membosankan. Kemudian, yang paling saya suka adalah, ka Rachel selalu memberikan solusi setiap masalah dengan kegiatan sehari-hari. Itu membuat saya mengerti lebih cepat. Sekali lagi, terima kasih, ya, pak Adam. Saya sangat terbantu sekali. Dan untuk biaya sekolah seperti uang saku dan buku, terima kasih sudah memberikannya sangat tulus kepada kami. Saya berjanji, saya akan membalas bapak suatu saat nanti," paparnya yang tidak berhenti bersyukur. 

Adam tertawa wajar seperti orang tua biasanya. "Jangan sungkan, Daniel. Kamu anak baik. Sudah sepatutnya saya membantumu. Syukurlah jika kalian menerima pemberian saya yang tidak seberapa," ucapnya merendahkan diri. 

"Ah, tidak, pak. Itu lebih dari cukup," kata Daniel menunduk. 

"Terima kasih, pak Adam," ucap anak gadis di samping Daniel. 

"Hahaha. Lucu sekali. Sama-sama, ya. Belajar yang rajin, ya," kata Adam kepada Laila. Dia mengelus rambut Laila bagaikan cucunya. 

Di sela obrolan ringan mereka, Lupin, yang merupakan pelayan cafe ini memberikan pesanan mereka. "Ini, pesanannya," kata Lupin lalu meletakkan pesanan mereka. 

"Terima kasih, Lupin," kata Daniel kepadanya yang dibalas dengan tepukkan pelan di punggung Daniel. 

"Ah, saya pamit dulu, ya. Saya sudah tua. Jadi tidak boleh sering minum kopi malam-malam seperti ini," pamit Adam yang sudah dijemput asisten dengan jas dan kaca mata hitam itu. 

"I-iya, pak. Sampai bertemu lagi. Mari, biar saya antar," tawarnya. Daniel sudah berdiri. 

"Tidak. Tidak perlu. Saya bersama asisten saja. Kamu makan yang benar, ya. Saya sudah membayar semuanya," kata Adam dengan kaki yang sempoyongan. 

"Ah, terima kasih, pak," katanya kembali. 

"Daniel, sepertinya aku akan pulang juga, ya. Mamaku sudah menyuruhku pulang. Ada penting. Maaf, ya," pamitnya terburu-terburu.

"Ka Rachel selalu pulang terburu-buru, ya. Dia sibuk sekali ternyata," celetuk anak kecil kepada Daniel. 

"Iya, Laila. Kak Rachel pasti sibuk. Dia pintar sekali, ya mengatur waktunya. Katanya, dia juga bekerja menjadi tutor di tempat lain. Dia bilang dia bekerja ditempat orang kaya, lho. Ya, tidak aneh, sih. Dia pintar sekali soalnya," jawab Daniel sembari minum ice lemon tea tersebut.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C12
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login