Download App

Chapter 2: Semua Sama

"Mau sampai kapan, Za? Sampai umur empat puluhan?" Pria paruh baya yang masih karismatik, bertanya pada pria yang duduk di hadapannya dengan hanya berjarak meja.

"Belum ada yang cocok, Pa."

"Gimana mau cocok, kamu sendiri nggak mau nyari," celetuk wanita bersahaja yang duduk tepat di sebelah pria paruh baya.

Terlihat pria muda itu menarik napas dalam, lalu membuangnya perlahan, tanpa menoleh dan tanpa menjawab.

"Mama pingin gendong cucu." Kali ini pria itu melirik sekilas.

"Kan, udah ada Fahdan sama Faiza," sahutnya santai. Matanya kembali pada gawai yang sejak tadi mencuri hampir seluruh perhatiannya. Entah memang ada hal penting, atau hanya sekadar mengalihkan perhatian agar kedua orang tuanya tidak terlalu banyak bertanya.

"Apa kamu nggak butuh penerus? Perusahaan itu butuh penerus, Gheza!" Suara pria yang sudah beruban itu sedikit meninggi.

"Fahdan bisa ...."

"Fahdan tentu akan mewarisi rumah sakit kakek dan papanya," potong pria itu lagi.

"Kalau gitu bisa ke Faiza, kan?" Gheza masih berkeras.

"Dalam keluarga kita tidak ada yang membebani pekerjaan pada perempuan kalau kamu lupa!"

Ucapan pria bernama Wisnu Laksana yang tak lain adalah papanya, membuat Gheza terdiam. Dia sungguh kehabisan kata-kata. Bagaimana mungkin dia berpikiran akan memberikan perusahaan pada keponakannya—putra dan putri dari kakaknya, sedangkan mereka tentu akan mewarisi sesuatu dari pihak ayahnya.

"Papa tidak mau membanding-bandingkan kamu dengan teman-temanmu yang sudah berkeluarga dan punya anak. Kamu sudah dewasa. Tentu sudah tahu hal itu."

Pak Wisnu meraup wajah kasar. Pembahasan tentang anak bungsunya itu selalu berakhir dengan perdebatan tanpa solusi. Terus saja begitu entah sampai kapan.

"Keluarga kita tidak pernah memandang kasta kalau kamu lupa. Jadi jika kamu menyukai gadis dari kalangan biasa, kami sama sekali tidak menolak ataupun keberatan," sambung mamanya lembut.

Sebagai orang tua mereka sangat menginginkan putra bungsunya itu segera menikah. Meski sudah memiliki sepasang cucu dari Ghania—putri sulung mereka, tetap saja berbeda karena kedua cucu itu tinggal bersama besan. Sedangkan mereka ingin cucu yang tinggal bersama mereka. Tentu harapan itu hanya Gheza yang bisa mewujudkan. Meski entah kapan hal itu akan tercapai.

"Apa perlu Mama yang pilih?" tawar mamanya.

"Tidak perlu, Ma. Akan Gheza bawa jika sudah mendapatkannya."

"Kami tunggu. Kalau bisa ... secepatnya."

***

Mobil mewah berwarna hitam berhenti di depan sebuah gedung perusahaan. Seorang pria turun sambil menoleh jam yang melingkar di tangan kiri. Matanya sekilas melirik seseorang yang membukakan pintu.

"Apa Novita sudah datang?"

"Belum, Tuan." Dengan sedikit takut laki-laki yang tadi membuka pintu mobil menjawab.

"M-maaf, Tuan. Novita tidak pernah telat, tapi ini masih terlalu pagi."

"Aku tahu."

'Kalau tahu kenapa masih bertanya?' batin laki-laki itu. Setelahnya dia tidak lagi mengatakan apa pun. Lebih memilih mengikuti langkah panjang sang tuan seperti biasanya. Menaiki lift, lalu berhenti di lantai dua puluh lima. Langkah kaki keduanya menuju sebuah ruangan.

"Oh, ya. Nanti bawakan kopi ke ruangan saya. Harus kamu sendiri yang antar, jangan OB atau Novita."

"Baik, Tuan."

'Entah kenapa lagi dia pagi ini.' Pria itu kembali membatin.

*

"Kopinya, Tuan." Secangkir kopi mendarat di meja yang di salah satu sudut terdapat tanda nama "Athafariz Gheza Laksana – Direktur utama".

Kopi sudah datang sesuai selera. Ya, kopi hitam tanpa gula. Hampir seluruh warga kantor tahu kesukaan bos besar mereka. Kopi pahit.

"Emmm, Dion! Bisa duduk sebentar?"

Laki-laki yang dipanggil itu terdiam sejenak. Baru kali ini bosnya itu terlihat ragu saat memberikan perintah. Padahal biasanya menyuruh sesuka hati tanpa peduli keadaan dan situasi. Seperti tak punya hati. Meski begitu dia tetap mengangguk patuh dan duduk.

"Ada apa, Tuan?"

"Berapa usiamu?"

Dion mengernyit. Seharusnya Gheza tahu berapa usia asistennya. Pria gila kerja itu selalu detail dan paling mengingat tentang apa saja. Termasuk hal-hal kecil dari orang yang bekerja di sekitarnya. Karena dia tidak mau sembarangan dalam memperkerjakan seseorang, yang tentu akan berdampak pada perusahaannya.

"Tiga puluh." Dion tetap harus menjawab, kan?

"Berapa usia Nada?" Nada adalah anak Dion.

"Dua hari yang lalu kami baru merayakan ulang tahunnya yang pertama. Bukankah Tuan juga memberi bingkisan kado?"

"Oh, ya. Maaf aku lupa." Gheza memijit pelipisnya. Entah mengapa sejak pembicaraan dengan orang tuanya malam tadi, membuat dia kurang konsentrasi. Padahal itu bukan pertama kali. Bahkan sudah terlalu sering dibahas dalam beberapa tahun belakangan.

"Bagaimana pendapatmu tentang pernikahan?"

Kali ini Dion sedikit membelalakkan mata. Tidak menyangka pertanyaan itu keluar dari mulut Gheza.

"M-maksud, Tuan?"

Gheza tidak menjawab. Mungkin dia sedikit pusing karena sejak tadi tangannya belum beranjak dari pelipis.

"Untuk ukuran Tuan, menikah sepertinya memang sebuah keharusan," tambah Dion lagi.

"Ukuran saya?" tanya Gheza tidak mengerti maksud bawahannya tersebut.

"Anda mapan, tampan, dan yang pasti usia sudah tidak diragukan lagi, Tuan. Begitu maksud saya."

Dion benar. Tahun ini usia Gheza sudah tiga puluh tiga tahun. Sangat jauh tertinggal dengan teman-temannya yang sudah menikah di usia sebelum tiga puluhan. Bahkan Noval menikah saat usianya dua puluh dua tahun, dan kini sudah punya dua anak laki-laki.

Cukup lama keduanya terdiam. Menyelami pikiran masing-masing. Gheza dengan pikiran tentang pernikahan yang terus dituntut kedua orang tua. Sedangkan Dion dengan pikiran kenapa bosnya itu tak kunjung menikah di usia yang sudah terbilang sangat matang. Keduanya tersadar saat mendengar suara ketukan di pintu.

"Novita sudah datang. Saya permisi, Tuan."

Gheza hanya mengangguk pelan tanda memberi izin. Sosok tinggi tegap itu hilang di balik pintu, berganti dengan seorang wanita tinggi semampai dengan rambut ikal tergerai. Dia adalah Novita, sekretaris Gheza yang sudah bekerja sejak lima tahun yang lalu.

"Apa jadwal hari ini?"

"Ada pertemuan dengan klien dari Bali jam sepuluh, lalu makan siang dengan Pak Wicaksana di restoran padang miliknya."

"Restoran Padang?" Baru kali ini ada rekan kerja sama yang bertemu di restoran padang yang malah sering disebut rumah makan. Biasanya selalu di restoran-restoran mewah berbintang. Entahlah. Mungkin selera orang satu ini memang berbeda. Tidak ada salahnya juga, siapa tahu kali ini akan ada suasana berbeda. Bosan juga jika selalu disuguhi dengan kehidupan kelas atas yang kadang terasa monoton.

"Pak Wicaksana sendiri yang minta, Tuan."

"Baiklah, persiapkan semuanya. Kembali ke ruanganmu. Ingatkan saya lagi nanti."

*

Sejenak terpaku pada pemandangan yang ada di hadapan, Gheza mulai melangkahkan kaki diikuti Dion dan Novita di belakangnya. Kedatangan mereka langsung disambut seorang pria berseragam hitam putih.

"Tuan Gheza?"

Gheza mengangguk pelan.

"Mari, Tuan. Pak Wicaksana sudah menunggu."


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login