Download App

Chapter 2: PACU #2 Asisten Keluarga

Asisten keluarga? Benar, tepatnya Rannu melakukan tugas sebagai asisten rumah tangga di rumah kakaknya.

Jam di ruang tengah berdentang sebanyak lima kali. Aku tersentak.

"Yuk Ran, waktunya kembali ke dapur. Sebentar lagi Kak Lia bangun. Kamu tahu sendiri reaksinya kalu lihat kita santai begini."

'Ini lagi. Kamu tahu San, aku ke Bandung karena diminta Kak Arie menemani istrinya selain ikut kursus. Tetapi sepertinya aku malah dijadikan pembantu. Nyaris aku nggak punya waktu bersantai sedikit saja." Rannu mengeluh.

"Ya sudah, memang begini kalau kita tinggal di rumah orang walapun itu rumah saudara kita sendiri."

Aku berusaha menghiburnya. Padahal aku juga punya pikiran yang sama. Kak Lia sepertinya type manusia yang paling berisik yang pernah aku temui. Dalam sehari hampir tidak pernah absen dari omelannya. Ada saja yang tidak tepat di matanya. Belum lagi masalah kebersihan, wowww....rumah memang selalu terlihat kinclong. Bayangkan, setiap hari kami harus mengelap satu persatu hiasan kristalnya yang ditata di rak kaca, yang membatasi ruang tamu dan ruang tengah. Kadang aku ngeri membayangkan jika ada satu saja hiasan kristal itu yang kami pecahkan. Bisa murka Kak Lia. Setiap sudut harus diperhatikan, tidak boleh luput jika kami menyapu.

Kak Lia memang tidak bekerja. Ia full jadi ibu rumah tangga. Namun setelah lima tahun pernikahannya dengan Kak Arie, mereka belum diberikan momongan. Sementara Kak Arie lebih banyak diam dan type orang yang ingin dilayani. Kadang aku berpikir, mungkin karena situasi ini, Kak Lia jadi sering uring-uringan yang tidak jelas. Dan sasarannya ke Rannu. Masakan Rannu yang menurutku enak, tidak bagi Kak Lia. Kalau tidak agak kelamaan gorengnyalah, nasinya kurang pas ukuran airnyalah dan sebagainya. Rannu hanya diam jika sudah diomelin seperti itu.

Aku sebenarnya berusaha untuk betah tinggal di rumah Kak Arie karena masih berharap mendapatkan kerjaan yang aku incar di Bandung. Sayangnya situasi yang agak sulit menyebabkan aku belum juga mendapat panggilan.

"Jadi kamu tetap balik ke Jakarta akhir bulan ini San?" tanya Rannu saat kami di dapur sambil menyiapkan makanan yang akan kami olah.

"Iya, tapi kalau ada panggilan kerja, aku balik lagi kok."

"Aku nggak punya teman ngobrol lagi kalau kamu pergi."

Aku juga sedih meninggalkannya. Tetapi aku harus bagaimana lagi?

"Kan kita bisa teleponan atau kirim pesan via whatsapp atau line."

"Iya sih, tapi beda jika kamu ada di sini Sandri. Jujur, aku banyak belajar dari kamu. Kamu juga yang bisa ngertiin aku, sementara yang lain hanya bisa menyalahkan."

"Hey, kalian ini ngobrol aja! Gimana masaknya bisa selesai? Sebentar lagi Kak Arie pulang lho!"

Owhhh! Kak Lia sudah bangun dan seperti biasa mengeluarkan suaranya yang bisa mencapai 7 oktaf itu.

"Dia baik sama kita kalau ada Kak Arie aja ya." bisik Rannu setelah Kak Lia berlalu.

"Sudahlah Ran, sabar aja."

Aku tetap tersenyum ke Kak Lia walaupun cukup tersinggung dengan ucapannya tadi.

Sebenarnya, walaupun ucapan Kak Lia sering menyakitkan, mengerjakan pekerjaan rumah yang seakan tiada habisnya, yang akhirnya juga memaksa kami untuk mengikuti ritme kerjanya, tetapi dimataku, ia masih berusaha menjadi ibu rumah tangga yang baik. Untuk pakaian Kak Arie, ia sendiri yang tangani. Kak Arie akan mengomel panjang jika kemeja yang diambilnya dari lemari ada bagian yang kusut. Pokoknya kemeja yang dipakainya harus licin.

Pernah kala siang, aku dan Kak Lia mengobrol di teras. Rannu waktu itu belum pulang dari tempat kursusnya. Aku terkejut mendengar cerita kak Lia, yang kali ini menyeramkan menurutku.

"Apa iya sih Kak, Rannu begitu?"

"Kamu ini gimana, apa di Jakarta kamu nggak tahu?"

Aku menggeleng.

Rannu pernah hamil, dan karena itu ia diungsikan ke Bandung untuk menghindari gunjingan tetangga.

"Waktu usia kandungannnya dua bulan, dia keguguran. Kakak nggak jelas betul sih, itu keguguran karena terpeleset di kamar mandi atau sengaja digugurkan, karena Kakak sudah kembali ke Bandung."

Ya Tuhan, apa benar Rannu seperti itu? Aku berusaha menahan tangis. Tetapi mataku mulai berkabut.

Aku juga pernah ke Bogor, ke rumah Tante Riska, kakaknya mama. Iseng aku bertanya tetang Rannu. Dan jawaban yang aku peroleh juga sama seperti yang diceritakan Kak Lia. Aku jadi bertanya, apa Mamaku juga tahu?

Sebelum tidur, seperti biasa aku dan Rannu akan mengobrol sambil menunggu kantuk menyerang kami berdua. Aku ingin sekali menanyakan kebenaran cerita yang aku dengar dari kak Lia dan tante Riska, tetapi aku tidak sanggup.

Selanjutnya, kala keinginan bertanya datang, aku hanya bisa melihat Rannu tanpa mampu mengucapkan kata-kata. Sampai akhirnya, Rannu yang sering memergoki aku melihatnya, bertanya.

"Beberapa hari ini aku lihat kamu sering melamun. Terus kamu juga suka lihatin aku. Kalau aku melihat balik, kamu jadi gugup gitu. Ada apa sih Sandri? Kita selama ini saling terbuka kan?"

Aku hanya diam, mendengar ucapannya.

"Ayo dong Sand, tolong kamu beritahu aku. Kalau kamu punya masalah, lalu kamu nggak beritahu aku, bagaimana aku bisa menolongmu?"

"Apa kamu nggak marah kalau aku menanyakan ini?"

"Gimana mau marah Sandri, lha pertanyaannya aja aku belum tahu."

"Apa benar kamu disuruh ke Bandung karena kamu hamil?" kataku dengan pelan berusaha tidak membuatnya tersinggung.

"Sudah kuduga kamu akan mengetahuinya juga."

"Jadi apa yang aku dengar itu, benar?"

"Benar Sandri. Semua yang diceritakan Kak Lia dan Tante Riska adalah benar. Aku sudah lama ingin memberitahumu, tapi aku takut. Aku takut jika kamu tahu, kamu akan menjauh."

"Ya ampun, Rannu! Apa kamu lupa kalau kita ini keluarga? Mama dan Tante Elis bersaudara, for God sake. Tetapi kalaupun kita tidak ada hubungan keluarga, aku nggak akan menjauhi kamu, hanya karena kamu punya masa lalu yang buruk."

"Kamu memang teman yang baik, Sandri." ucapnya sambil memelukku.

Sekilas aku melihat ada genangan di matanya.

"Siapa dia, Rannu?"

"Namanya Ferdy."

"Teman kuliahmu dulu?"

"Bukan, dia tetanggaku."

"Rumahnya yang mana?" Aku sering ke rumah Rannu jadi setidaknya aku tahu jika Rannu menyebutkan letak rumah lelaki itu.

"Di blok sebelah, Sandri."

"Dia kuliah atau sudah kerja?"

"Kuliah, tahun ini mungkin sudah selesai."

"Dia tahu kamu hamil?"

"Tahu kok. Dia ingin menikahiku, tetapi Kak Arie malah melabraknya. Mama juga nggak setuju. Sejak saat itu aku nggak pernah ketemu dia lagi."

"Kamu sedih kehilangan bayimu?"

"Aku sangat sedih Sandri. Seandainya saat itu aku lebih berhati-hati, mungkin aku nggak kehilangan dia."

Rannu tertunduk sambil meremas jemarinya. Aku tahu ia pasti sangat sedih kehilangan buah hatinya.

*****


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C2
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login