Keesokan harinya, Fenita mengirimkan pesan kepada Mr. Darren untuk mengambil surat perjanjiannya. Bukan di restoran tempatnya bekerja, melainkan di halte bus dekat rumah kosnya.
Fenita tiba-tiba saja merasakan bahwa beberapa hari ini dia merasakan banyak tekanan. Untuk itu, dia sengaja menukar shift dengan temannya, meminta hari liburnya lebih awal. Ama yang dengan baik hati mau menukarkan hari liburnya tidak merasa keberatan. Fenita benar-benar berterima kasih karena memiliki teman sebaik Amanda di tempat kerja yang penuh tekanan itu.
Halte bus ini berjarak sekitar satu kilometer dari kos Fenita, dan setiap hari dia berjalan kaki menuju halte untuk berangkat kerja. Dan disanalah ia sekarang, menanti Mr. Khan yang akan mengambil surat perjanjian dari sang Bos. Setelah menanti tak kurang dari lima belas menit, sebuah mobil mewah berhenti di depan Fenita. Hampir semua mata mengalihkan pandangannya ke arah mobil itu karena mobil itu benar-benar menarik perhatian.
Lalu tampaklah sepasang kaki jenjang yang keluar begitu pintu dibuka. Sepatukulit yang terlihat mahal, juga celana yang dijahit dengan sempurna itu membuat pemakainya terlihat sangat tampan dan sempurna. Semua yang ada pada dirinya sempurna dari ujung rambut hingga ujung kaki. Awalnya Fenita berpikir bahwa Mr. Khan yang akan mengambil berkas itu, tapi siapa sangka bahwa sang pembuat perjanjian sendiri yang akan mengambilnya. Seorang Bos yang terkenal sibuk mau merepotkan dirinya mengabil surat pernjanjian?
"Ayo kita ke kafe terdekat. Sangat tidak sopan berbincang di pinggir jalan seperti ini."
Perkataan Troy terdengar seperti sebuah ajakan yang sangat sopan dan manis, tapi bagi Fenita, itu hanyalah sebuah paksaan agar privasi mereka tidak terganggu. Dengan patuhnya Fenita mengikuti Troy di belakangnya.
Tak jauh dari halte bus, keduanya memasuki sebuah kafe yang cukup sepi. Hanya ada beberapa pengunjung yang sedang menikmati kopi dan kesendirian mereka. Setelah menemukan tempat duduk yang dirasa cocok, keduanya berjalan dalam diam menuju tempat duduk.
"Ini sudah saya tandatangani." Fenita menyodorkan amplop coklat itu kepada Troy.
Troy segera membuka amplop itu, mencari tanda tangan Fenita. Lalu ekspresi wajahnya berubah ketika menemukan sebuah tulisan tangan milik Fenita.
"Apa tepatnya yang dimaksudkan dalam poin keenam ini?"
"Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi kedepannya. Anggap saja itu jaminan untuk kebaikan bersama." Fenita menjelaskan secara asal. Karena dia sendiri tidak tahu kenapa menuliskan poin keenam itu. Bahkan saat sudah menyadari bahwa dia menulis itu, tidak ada jalan kembali untuk membersihkan kertas itu dari tulisan Fenita.
Ajaibnya, Troy hanya menganggukkan kepalanya dan memasukkan kembali surat itu kedalam amplop. Dengan begitu, perjalanan kehidupan Fenita akan berubah setelah surat itu sampai ditangan Troy. Anehnya, Fenita merasakan bahaya besar yang akan menantinya dan dia merasa percaya diri untuk menghadapi apapun itu.
Tanpa sepatah kata, Troy langsung meninggalkan Fenita yang masih terduduk di hadapannya.
Selepas kepergian Troy, Fenita menghela napas panjang sebelum melanjutkan perjalanannya. Bila dia beruntung, bus yang akan dinaikinya sebentar lagi sampai. Dia harus bergegas agar dapat sampai tempat tujuannya sebelum siang, dan segera kembali sebelum bus terakhir lewat.
Ibu, tunggu anakmu ini, batin Fenita tersenyum sambil menatap langit yang cerah.
Perlu waktu dua jam perjalanan dengan bus untuk bisa sampai ke panti asuhan yang pernah ditinggali Fenita untuk waktu yang sangat lama. Lokasinya memang terpencil dan jauh dari hiruk pikut kehidupan kota. Tapi udara disana masih terjaga keasriannya, membuat siapapun merasa betah untuk berlama-lama.
Satu-satunya rumah mewah yang ada di lingkungan dekat panti asuhan adalah mansion yang terletak di dekat danau. Itu adalah mansion milik keluarga Darren. Dari sanalah Madam Vanesa menemukan panti asuhan "Miracle" ini dan akhirnya menjadi donatur tetap untuk panti asuhan. Tidak berhenti disana saja kebaikan keluarga Darren. Sebagian besar orang yang dipekerjakan di mansion itu adalah penduduk sekitar yang pada akhirnya mengangkat perekonomian desa.
Terkadang Tuhan memberikan rejeki yang tepat kepada orang baik, sehingga mereka tidak pernah kehabisan uang meski mereka sering memberikan uang mereka untuk orang asing. Hal itu memotivasi Fenita untuk terus berbagi dengan mereka yang membutuhkan. Meskipun dia sendiri terkadang kekurangan.
"Kak Fenita!!" suara nyaring itu menyambut kedatangan Fenita. Lalu beberapa anak berlari kearah Fenita dan mengerubunginya, berusaha memeluknya.
"Wah, kalian makin besar ya. Bahkan hampir menyamai tinggi Kakak." Satu per satu Fenita mengelus rambut adiknya. Keluarga besarnya.
"Tumben Kakak kesini?"
"Kakak kangen sama kita ya?"
"Kakak makin cantik."
"Aku seneng kakak datang."
Pertanyaan demi pertanyaan meluncur dari mulut manis adik-adiknya. Meski sudah lama tidak tinggal di panti asuhan, Fenita tetap menjalin hubungan baik dengan mereka. Tak heran mereka masih saja dekat dan menganggap Fenita bagian dari mereka.
"Satu-satu tanyanya." Fenita tersenyum bahagia mendapatkan sambutan yang sangat hangat ini. "Intinya, Kakak kesini karena kangen sama adik-adik kakak, juga mau bertemu Ibu. Dimana beliau?"
Begitu mendengar pertanyaan mengenai Ibu, semua adik kecil Fenita langsung terdiam. Kesemua anak itu membungkam mulutnya.
"Fenita?" terdengar suara lain yang memanggil namanya.
Begitu Fenita membalikkan badannya, dia melihat sosok perempuan yang sudah seperti ibunya. Bu Darini, atau yang lebih sering dipanggil Bu Dar. Beliau memberikan senyum yang hangat untuk menyambut Fenita.
"Bu Dar." Fenita langsung berjalan menuju beliau. Mencium tangan dan pipi beliau, tak lupa memeluknya dengan erat. "Kangen sama Bu Dar."
"Ibu juga kangen Fenita." Bu Dar mengamati wajah anak asuhnya, betapa waktu sudah berlalu. "Ayo masuk, banyak yang ingin ibu ceritakan."
Setelah berpamitan dengan adik-adiknya, Fenita mengikuti Bu Dar masuk ke dalam panti.
Setiap kali mengunjungi panti, Fenita merasa waktu kembali ke jaman dulu sewaktu dia pertama kali menginjakkan kakinya ke panti asuhan ini. Ketika usainya baru menginjak enam tahun dia kehilangan keluarganya dalam sebuah kecelakaan. Itu terjadi 13 tahun yang lalu.
...
Hari itu Troy kembali ke rumah lebih awal. Dia sedang menikmati makan malam bersama sang ibu ketika ponselnya berbunyi. Dilihatnya nama sang pemanggil, Informan. Dengan cepat Troy menyambar ponselnya dan segera menjauh untuk mengangkat telepon itu.
"Halo."
"Kami sudah menemukan Miss Belle, Sir." Kata sang Informan.
"Dimana?"
"Beliau ada di kota Liverpool sekarang. Bersama dengan keluarganya."
"Pantau terus gerak-geriknya. Nanti kita ketemu disana."
Mendengar berita yang baru saja di sampaikan oleh informan sewaannya, seketika Troy merasa berbunga-bunga. Kini setelah dia mengetahui dimana keberadaan Belle, dia tinggal mempersiapkan keberangkatan kesana dan dia akan bersatu selamanya dengan Belle.
Wait for me, Belle, batin Troy penuh semangat.
Makan malam berlanjut dengan Troy yang tidak dapat menyembunyikan senyumannya.
Melihat hal itu, Vanesa merasa curiga sekaligus senang. Curiga dengan siapa dan apa yang baru saja diterima Troy melalui telepon. Senang karena akhirnya anak lelakinya bisa tersenyum lebar tanpa beban. Entah kapan terakhir kalinya dia melihat anak itu tersenyum tanpa beban.
"Ada berita bagus apa?" Vanesa berusaha mengulik.
"Belum saatnya Mama tahu. Nanti kalau sudah fix, Mama akan sangat senang." Troy mengedipkan sebelah matanya.
"Apapun itu, jangan lupa bawa Fenita ke rumah ini. Minggu depan kalian akan menikah."
Uhuk uhuk uhuk. Baju Troy basah karena minumannya tumpah.
"Kenapa secepat itu?"
"As you wish, pernikahan ini cuma akan dihadiri keluarga terdekat. Jadi nggak perlu persiapan yang lama kan."
"How about the gown?" Troy berusaha mencari celah untuk mengundur pernikahannya.
Biasanya para wanita akan sangat meributkan perihal gaun yang akan dikenakan untuk pernikahan mereka. Berbekal pengalaman mendampingi pernikahan Aaron, Troy sedikit banyak mengetahuiseluk beluk pernikahan. Betapa Aaron dibuat pusing oleh calon istrinya kala itu karena proses panjang pemilihan gaun mempelai wanita. Dimana-mana wanita memang suka hal yang rumit, batin Troy.
"Makanya Mama bilang kamu bawa Fenita kesini, biar bisa liat gaun pengantinnya dan segera fitting." Vanesa memukul gemas tangan anaknya dengan ujung sendok.
Troy sama persis dengan Papanya, selalu tidak fokus saat diajak berbicara serius kecuali pekerjaan. Entah dia harus merasa senang dan bangga atau bagaimana. Yang jelas terkadang sifatnya itu mengganggu.
"Oke." Troy menjawab dengan lesu. "Ma, boleh aku tinggal sendiri setelah menikah?"
"Nggak boleh!" tatapan tajam Vanesa tidak dapat dihindarkan.
"Kenapa?"
"Kamu udah nikah masa mau tinggal sendiri? Trus gimana istri kamu?"
Troy menepuk jidatnya. "Mama, maksudnya punya rumah sendiri, jadi kita berdua tinggalnya misah dari Mama."
"Oh itu maksudnya. Oke, biar kalian mandiri juga." Vanesa menyetujui dengan mudah.
Dalam hati, Troy sekali lagi merasa menang. Dengan alasan privasi, ibunya akan menyetujui permintaan Troy, tanpa tahu apa niat dan rencana yang ada di dalam kepala Troy.