Download App

Chapter 7: Bertemu Mas Reza

Kepalaku terasa sangat berat, dan mataku terasa ngilu saat aku membuka mata. Aku hanya bisa menghela napas melihat Mas Asep yang kini berada tak jauh dari tempatku duduk. 

"Untuk apa semua itu?" tanyaku heran. 

"Sampean masih baru, hanya berjaga jika saja sampean berubah pikiran dan membocorkan tempat ini pada orang lain!" sahut Mas Asep dengan santainya. 

Untuk yang kesekian kalinya, aku menghela napas berat. 

Sebelumnya kami membuat janji untuk bertemu di tempat biasa, karena aku ingin membahas masalah Ratih dengan mereka. Namun, sepertinya TG memang sangat berhati-hati, jadi mereka membuatku pingsan dan memindahkanku ke tempat ini, yang kutahu pasti adalah markas mereka. 

Well, tempat ini cukup menarik. Sebuah padepokan sederhana yang tidak terlalu luas, dan terletak di tengah-tengah hutan.

"Ayo, Mas. Sampean ditunggu Mas Reza," ucap Mas Asep sambil berdiri dan merapikan komprangnya.

"Mas, Mas Asep kan udah kenal aku dari lama, nggak usah sesopan itu kalau manggil!" protesku. 

Mas Asep hanya melirikku sekilas, tersenyum tipis, lalu menggelengkan kepalanya pelan. Ia berjalan mendahuluiku masuk ke padepokan untuk menemui seseorang bernama Mas Reza, sementara anggota TG lainnya tetap tinggal di luar sambil mengobrol ringan. 

Sial, prediksiku mengenai sosok Mas Reza ini ternyata salah. Kupikir, ia adalah sosok pria tua yang sangat kaku. Ternyata dia masih cukup muda, dan dari penampilannya yang cukup santai, kupikir dia bukan tipe orang yang kaku. 

"Welcome, saudaraku!" seru Mas Reza sambil berjalan menghampiriku, ia tersenyum lebar dan menepuk pelan lenganku. 

"Terima kasih sudah mau bergabung dengan kami!" Mas Reza menatapku dengan mata belonya. 

"Saya ke sini mau meminta bantuan!" ucapku tanpa basa-basi. 

Mas Reza mengangguk pelan, ia lalu mempersilakan aku untuk duduk terlebih dulu. 

"Tentu, tentu ... Masalah Ratih, to? Jangan khawatir, kami akan membereskannya." ucap Mas Reza sambil menyeruput kopi yang sudah tersedia di hadapan kami. 

Aku bahkan belum menceritakan masalah itu, jadi, dari mana Mas Reza bisa tahu? 

"Saya belum cerita apa pun lho Mas," Aku menatap pria itu dengan penuh tanda tanya di kepalaku. 

Mas Reza hanya melirik Mas Asep sekilas, lalu terkekeh pelan. 

"Ya memang ndak perlu! Sampean ndak perlu mengatakan apa pun, karena kami sudah punya informan yang sangat terpercaya di sini." Mas Reza berujar pelan sambil menatapku dengan tatapan hangat. 

Apa ini? Mereka membuatku takut. Hanya aku dan Dea yang mengetahui hal ini, jadi siapa informan yang Mas Reza maksud?

"Sudah, ndak perlu di ambil pusing! Ngopi dulu Mas, sebagai perayaan untuk bergabungnya sampean dalam kelompok kami!"

Angin dingin langsung berhembus dengan syahdunya menusuk tulangku. Suasana di tempat ini juga sangat mencekam. Oh, sial! Kami tidak hanya bertiga di sini. Aku bisa merasakan kehadiran sosok-sosok lain di sekelilingku meski aku tidak bisa melihat mereka. 

"Ah, sampean pasti bisa merasakan kehadiran mereka, tidak perlu takut dan waspada seperti itu, mereka adalah informan kami."

Informan? Tunggu ... Jadi yang Mas Reza maksud sebagai informan itu bukanlah manusia? Apa-apaan ini?!

Melihat keterkejutanku, Mas Reza kembali menyunggingkan senyuman hangatnya. 

"Sangat menyita waktu kalau menyebar saudara kami hanya untuk mengawasi kalian, jadi kalau mereka mau membantu, ya kenapa tidak?" seru Mas Reza dalam keheningan. 

Oh astaga, jadi begitu ... TG menggunakan bantuan mereka untuk mengurus masalah yang ada selama ini? Tidak heran jika TG selalu tahu sesuatu seperti ini begitu cepat. Pembunuhan Bimo, masalah Ratih, dan pasti masih banyak kasus lagi yang pernah mereka selesaikan. 

Terserah. Itu bukan sesuatu yang harus kupermasalahkan sekarang. 

"Bagaimana dengan masalah Ratih, Mas?" tanyaku tanpa basa-basi. 

"Jadi ... Mas Bayu, kami akan serahkan masalah ini kepada sampean. Ini adalah misi pertama TG untuk sampean. Tentu saja akan ada saudara lain yang mendampingi, akan tetapi, Mas Bayu adalah penanggung jawab dari misi kali ini!" 

Bagaimana aku harus menggambarkan keadaan ini? Tidakkah ini gila? Aku baru saja bergabung, dan sudah ditunjuk menjadi penanggung jawab? Sungguh, aku bahkan tidak tahu apa yang harus dilakukan disaat seperti ini.

"Menjadi anggota TG bukan hanya harus mengikuti perintah, akan tetapi juga harus bisa mengambil keputusan dan mempertanggungjawabkannya. Sampean jangan takut, sudah saya bilang sebelumnya, akan ada saudara lain yang mendampingi sampean." celetuk Mas Reza yang sepertinya tahu apa yang sedang kupikirkan. 

Baiklah, ucapannya memang cukup masuk akal. Bukan hanya anggota TG, sebagai seorang pendekar, memang harus bisa membuat keputusan dan mempertanggungawabkannya. Akan tetapi ... ini menyangkut kehidupan seseorang. Aku tidak bisa gegabah. 

Mas Reza menyodorkan sebuah kertas berisi beberapa nama yang tertulis rapi di atas sana. 

"Apa ini, Mas?" tanyaku bingung. 

"Nama para pelaku yang melecehkan Ratih!" sahut Mas Reza yang kini menatapku dengan tatapan penuh arti. 

"Kami serahkan mereka di tangan sampean. Terserah apa yang akan sampean lakukan kepada mereka, kami harap sampean bisa melakukannya sebaik mungkin dan sebijak mungkin. Sampean harus tahu, bukan hanya pihak korban yang harus di perhitungkan, melainkan dari pihak pelaku, dan tentunya kedua belah pihak perguruan yang mungkin akan terlibat jika ini berjalan tidak baik. Apakah sampean sudah memahami maksud saya?"

Memahaminya? Tentu. Hanya saja aku kurang percaya diri untuk menangani masalah ini. 

"Perguruan Selendang Putih itu selalu menekankan bahwa seseorang harus setia kepada hatinya, bukan begitu? Sampean pasti tahu apa yang benar dan juga salah, dengan begitu sampean bisa mengambil keputusan berdasarkan hati nurani, dan logika sampean. Jadi, apa yang membuat sampean begitu ragu dan tidak mempercayai diri sampean sendiri?"

Mendengar semua kalimat yang Mas Reza  ucapkan, membuatku merasa tertampar. Meragukan diri sendiri bukanlah sikap kami, para Pendekar Selendang Putih. Jadi, percayakan saja pada nurani dan logika. 

"Ada beberapa pantangan yang kami jaga selama ini, mohon sampean untuk ikut menjaganya juga. Sampean pasti sudah tidak asing dengan istilah MOLIMO, bukan? Ya, itu adalah penghancur moral manusia. Sebisa mungkin kita harus menghindari kelimanya. Main--Berjudi, Madon--Berbuat maksiat, Maling--Mencuri sesuatu yang bukan milik kita, Madat--Menggunakan obat-obatan yang terlarang, dan Minum--Meminum minuman keras. Karena sampean berasal dari Perguruan Selendang Putih, tentu sampean sudah paham betul dengan pantangan ini." Mas Reza mengucapkan setiap kata dengan penuh penekanan. 

Tentu saja aku tahu. Itu adalah pantangan yang kami pegang teguh sebagai Pendekar Selendang Hitam, meski pada kenyataannya masih ada saja pendekar yang melanggar pantangan tersebut. 

Aku mengangguk pelan, menandakan bahwa aku memahami setiap kata yang Mas Reza ucapkan. 

"Juga, untuk benar-benar bergabung bersama kami, sampean harus melewati tahap perkenalan, setelah itu, baru sampean bisa menjalankan misi tersebut. 

Oh, tunggu! Aku tahu ke mana arah pembicaraan Mas Reza. Tentu bukan perkenalan biasa. 

"Mas Asep akan mengantar sampean untuk bertemu saudara yang lain, sampean bisa berkenalan sendiri dengan mereka. 

Aku mengambil napas berat. Baiklah, akan kutemui mereka dan berkenalan. Yeah, sepertinya ini akan menjadi malam yang panjang untukku.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C7
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login