Download App

Chapter 3: Cerita Nenek

Setelah kerumunan orang berhasil dibubarkan, aku berjalan dengan terhuyung-huyung ke arah sofa yang ada di sudut ruangan. Disusul dengan Nenek yang ikut mengekor di belakangku. Tuan Gabriel dan beberapa anak buahnya masih berada di sini, ia memang sudah berjanji untuk membicarakan mengenai kematian Dasha padaku.

Aku terduduk di sofa sambil menyandarkan tubuhku, rasanya tubuhku seperti tak bertenaga. Aku masih terlalu syok dengan kabar mengerikan ini, dan aku merasa benar-benar kesulitan untuk menerima kenyataan yang sebenarnya.

Nenek yang duduk di sampingku menggenggam erat jari jemariku. Mencoba memberikanku kekuatan. Aku hanya bisa menatap wajahnya dengan tatapan kosong, tepatnya ke arah bibirnya yang melengkung membentuk sebuah senyuman tipis dengan sedikit kerutan disudutnya.

Senyuman yang aku tahu hanyalah sebuah senyuman palsu.

Tuan Gabriel duduk di seberang aku dan Nenek, posisi kami hanya terhalang sebuah meja kaca yang berada tepat berada di tengah-tengah. Pria berkumis tipis itu kemudian sedikit berdehem, sebelum akhirnya ia membuka mulut dan mulai angkat bicara.

"Nyonya Andromeda, bisa Anda jelaskan padaku apa yang sebenarnya terjadi kepada Dasha?" tanya Tuan Gabriel. Manik mata pria itu menatap serius ke arah Nenek.

Aku mengikuti arah pandangnya untuk menatap Nenek. Senyum yang semula tercetak di wajahnya, kini sirna sudah. Yang ada hanya sebuah raut kesedihan dengan air mata terbendung di sudut matanya.

Nenek menarik napasnya dalam-dalam. Terdengar jelas deru napas Nenek yang kian memberat, pertanda jika ia sedang merasakan sesak yang mulai memenuhi rongga dadanya. Tangannya yang sedang menggenggam tanganku, perlahan menjadi semakin kuat dan lebih mirip seperti sebuah cengkeraman.

"Tadi …. " Baru satu kata terucap, Nenek sudah menghentikannya untuk mengatur deru napasnya yang seolah tercekat.

Aku tahu betul jika ia sedang berada dalam posisi tertekan sekarang. Mentalnya pasti sangat menderita jika harus menceritakan ulang mengenai kejadian yang menimpa Dasha.

Kubelai lembut punggung Nenek yang ringkih. Ia menoleh sekilas dan mencoba kembali mengontrol emosinya. Aku bahkan baru menyadari, jika rambut putih ikal Nenek yang biasanya tertata rapi, kali ini terlihat sangat berantakan. Bahkan, ia masih memakai celemek yang biasa digunakannya untuk membuat kue. Mungkin ia juga terlalu syok dengan kejadian ini sehingga tak memedulikan penampilan tubuhnya sendiri.

Tuan Gabriel yang sedari tadi menunggu jawaban Nenek, akhirnya kembali angkat bicara. "Minumlah dulu, Nyonya," ujarnya seraya menyodorkan segelas air putih kepada Nenek.

Aku tidak tahu dari mana datangnya air itu, sepertinya Tuan Gabriel menyuruh anak buahnya untuk mengambilkannya ketika aku sedang terfokus pada Nenek.

Nenek meraih uluran Tuan Gabriel dan meneguknya dengan cepat. Seolah seperti orang yang sangat kehausan akibat berlari puluhan kilometer. "Terima kasih," ungkapnya seraya meletakkan kembali gelas itu pada meja di hadapan kami.

Tuan Gabriel memajukan wajahnya dengan kedua tangan bertumpu di atas pahanya. "Nyonya, ceritakan semuanya dengan santai. Kau tenang saja, aku bukan ingin menghakimimu." Perkataan Tuan Gabriel sedikit banyak mampu membuat Nenek sedikit bisa bernapas lega.

Kini perhatian kami kembali tertuju pada Nenek, begitu pula lima orang anak buah Tuan Gabriel yang juga ikut menatap Nenek dengan serius. Sepertinya mereka juga penasaran dengan kejadian yang menimpa adikku.

"Tadi, aku dan Dasha sedang mengobrol di sini, di ruang tamu. Kami cukup lama bercengkerama. Hingga akhirnya, aku teringat jika aku sedang memanggang kue. Awalnya aku enggan untuk meningalkan Dasha, mengingat malam ini adalah malam purnama berdarah dan para penyihir hitam akan mencari korban wanita perawan. Lalu, aku meminta Dasha untuk ikut ke dapur membantuku mengangkat kue-kue itu, namun Dasha menolak." Nenek menghentikan kalimatnya untuk sedikit mengambil napas dan mencoba menahan gejolak yang seperti akan meledak.

Kulingkarkan lenganku di pundak Nenek yang kecil dan mencoba menenangkan suasana hatinya, karena dari yang aku lihat, Nenek seperti akan menangis. "Tenanglah, Nek," ucapku.

Nenek kembali melanjutkan ceritanya, kami tentu saja langsung memasang telinga untuk mendengarkannya.

"Akhirnya, dengan terpaksa aku pergi meninggalkan Dasha untuk ke dapur. Sebelumnya, aku sudah memastikan padanya sudah membawa kalung salibnya. Namun entah apa yang terjadi, tiba-tiba begitu aku keluar dari dapur, aku tak mendapati Dasha di ruang tamu," jelas Nenek.

"Lalu?" tanya Tuan Gabriel yang semakin penasaran karena Nenek menggantung kalimatnya.

"Aku menemukan kalung salib Dasha ada di lantai, tepatnya di dekat sofa. Gegas aku mencarinya ke seluruh penjuru rumah, namun aku menemukannya ada di halaman depan rumah tepatnya di dekat ayunan yang ada di bawah pohon maple." Nenek mulai menangis kala menceritakan bagian ini. "Saat kuhampiri, Dasha sudah tidak bernyawa. Matanya melirik ke atas dengan mulut menganga dan sekujur tubuh yang sudah membiru bak kehabisan darah." Nenek mengakhiri kalimatnya dengan sebuah isakan yang begitu memilukan.

Aku tak kuasa menahan tangisku yang sedari tadi kubendung. Kutumpahkan seluruh kepedihanku ini di dalam pelukan Nenek. Aku tak dapat membayangkan bagaimana terguncangnya jiwa Nenek kala mendapati tubuh Dasha yang sudah tak bernyawa dan dalam kondisi yang mengenaskan. Jika aku jadi Nenek, aku mungkin tak akan sanggup dan sudah tak sadarkan diri.

Nek, kau adalah manusia paling kuat di muka bumi ini. Kau telah kehilangan anak dan menantumu 15 tahun silam. Sekarang, kau juga harus kehilangan cucumu. Bahkan kau sendiri yang menemukan jasadnya pertama kali.

Nenek menghapus air matanya dan kembali berbicara. "Aku pikir, Dasha keluar rumah pasti karena sedang berbincang dengan Vold, kekasihnya. Karena aku menemukan ponsel tergenggam di tangannya. Mungkin saja ia juga tidak sadar ketika melangkahkan kaki keluar rumah," ujar Nenek yang kembali menitikkan air matanya. "Andai dia ada di dalam rumah, dia pasti akan baik-baik saja," sambungnya.

Selanjutnya, Nenek menunjuk ke arah dinding yang terletak di samping kami dan menghadap langsung ke arah pintu rumah.

Sontak, aku dan Tuan Gabriel menoleh ke arah yang Nenek tunjuk. Ternyata, Nenek menunjuk sebuah salib berukuran besar yang tergantung di dinding. Aku dan Tuan Gabriel tertegun melihatnya.

Tiba-tiba aku teringat dengan kejadian ketika di dalam bus. Tampaknya sosok pria misterius itu juga ketakutan kala melihat kalung salib yang tergantung di leherku. Tapi entahlah, ini semua karena benda itu atau bukan. Aku sendiri tak dapat memastikannya.

Tuan Gabriel menganggukkan kepalanya. Ia menatap aku dan Nenek dengan serius. "Aku akan memanggil seorang tetua di kota kita. Untuk sementara waktu, tolong masukkan Dasha ke dalam sebuah peti mati yang memliki lambang salib," pinta Tuan Gabriel.

Aku terkejut kala mendengar permintaan dari pria bertubuh besar ini. Tentu saja aku tidak terima jika Dasha dimasukkan ke dalam sebuah peti. Arwahnya pasti akan merasakan sesak berada di dalam tempat sempit itu. "Kenapa harus memasukkan tubuh Dasha ke dalam peti mati, Tuan?"

"Itu hanya untuk berjaga-jaga. Aku takut iblis akan merasuki jasadnya. Setidaknya, dengan kita memasukkannya ke dalam sebuah peti berlambangkan salib, bisa saja iblis atau apapun itu tidak akan berani mendekat sedikitpun," jelas Tuan Gabriel.

Aku terdiam. Bagaimanapun, perkataan walikotaku ini ada benarnya juga. Tapi, kami hanya berdua di rumah ini jika Tuan Gabriel dan anak buahnya pergi nanti.

Bagaimana kami bisa melalui malam bersama dengan jasad adikku yang tewas mengenaskan?

Bagaimana jika sampai tubuh Dasha dirasuki oleh iblis?


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C3
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login