Download App

Chapter 3: Taman Burung

Sebuah kubah besar terlihat sangat jelas dari arah jalan raya. Dengan banner dan papan nama yang tertera jelas, yaitu Taman Burung TMII. Mereka berdua akhirnya sampai. Revanza segera membeli dua tiket masuk.

"Wah, cantik banget!"

Najwa mendekati satu burung paruh bengkok berwarna campuran merah dan oranye. Saat tangan kanannya ingin mengusap bagian kepala belakang, ia langsung dipatuk oleh burung itu. Untungnya dengan cepat Revanza langsung menarik tangan Najwa.

"Nakal! Burung nakal!"

Tanpa sadar, Najwa malah memarahi burung itu dan menasehatinya.

"Lo mau kasih siraman rohani macam apapun tidak ada efeknya, dia itu burung."

Revanza sampai meninggalkan Najwa karena malu dilihat oleh pengunjung lain. Saat Najwa melihat pengunjung lain menatapnya, ia langsung segera pergi dan mengejar Revanza.

"Kita bagi tugas, gue yang foto dan lo yang cari keterangan di sekitar kandang mereka. Atau interview penjaganya." Revanza mengeluarkan ponsel miliknya.

"Kenapa gak interview burungnya?" pikir Najwa.

"Boleh juga, lo bisa bahasa parkit atau lovebird?" sindir Revanza.

"Ish! Ditanggapi serius sama dia!" Najwa merasa kesal dalam hati.

Mereka berdua masuk lebih dalam ke kubah raksasa yang terlihat seperti kandang besar megah. Beberapa kandang kecil berada di sisi kanan dan kiri jalan setapak. Mereka berhenti pada satu kandang dengan penampakan burung besar dengan paruh lucu.

"Merpati!"

Najwa langsung mendekat dengan senyuman. Revanza melihat keterangan di dekat kandang, tertera nama 'Merpati Jowo Sungut.'

"Dia punya kemampuan navigasi yang baik dan mampu terbang pada malam hari." Revanza mengambil foto burung itu.

Di sampingnya, ada kandang merpati lainnya. Najwa menghentikan langkahnya di depan kandang Merpati Wulung. Melihat corak bulu merpati itu sama dengan corak bulu elang bondol.

"Wah, warnanya bagus banget!"

Najwa mengambil ponselnya dan mengambil foto merpati itu.

"Catat, jangan cuma takjub dan kagum," sindir Revanza.

Mereka terus menyusuri kubah dan bertemu jenis burung-burung lainnya. Ada yang berukuran kecil hingga besar, dan memiliki warna yang beragam. Najwa terus dibuat takjub oleh semua burung-burung ini, namun,

"Berisik banget, sumpah!"

Revanza merasa suara para burung sangat mengganggu sekali.

Di depan ada sebuah gua buatan sebagai bentuk miniatur gua asli. Di depannya ada kolam besar dengan berbagai ikan mas besar dan beberapa burung. Najwa berhenti di depan keramaian orang-orang yang sedang mengantri untuk berfoto dengan kakatua besar jambul kuning.

"Kakatua! Gue mau foto!"

Najwa langsung mengantri, namun saat ia tahu foto bersama kakatua harus bayar, ia langsung mundur ke belakang.

Tapi, tiba-tiba Revanza menarik tangan Najwa kembali ke dalam barisan. Ia membiarkan Najwa berada di depannya.

"Ke-kenapa?" Najwa merasa bingung.

"Gue yang traktir," bisik Revanza.

Mata Najwa terbelalak, bisikan dari Revanza membuatnya senang dan tenang. Ia tidak sabar untuk gilirannya.

Mata Revanza tertuju pada rambut hitam panjang bergelombang milik Najwa. Tanpa sadar ia mendekat, Revanza mencium aroma sampo dari rambut Najwa. Entah apa yang merasukinya, untuk sebentar saja hatinya merasa tenang.

"Revan, gue foto dulu, yah?" Najwa tersenyum.

Ia segera berpose bersama dengan kakatua jambul kuning. Agak sedikit berat, namun Najwa berusaha menahan bobot burung kakatua jambul kuning dan tersenyum lebar ke arah kamera. Tanpa sadar, Revanza membalas senyuman Najwa.

"Revanza kira-kira ke mana, yah?" Guntur merasa khawatir.

Ia baru saja menelpon asisten rumah tangga Revanza, ternyata Revanza belum sampai di rumah. Lalu, saat ia menelpon ponsel Revanza, panggilan dari Guntur tidak terjawab.

"Di sini sangat tenang dan adem." Najwa bersama Revanza duduk di bangku besi panjang di dalam kubah untuk beristirahat.

"Bagaimana foto dengan burungnya, suka?" tanya Revanza.

"Suka …."

Najwa sangat bersemangat, ia sampai menunjukkan hasil fotonya kepada Revanza.

"Terima kasih, gue bakal ganti uang lo," ucap Najwa.

"Santai saja, anggap saja traktiran dari gue." Revanza menatap angkasa.

Rindangnya pohon menutupi pandangannya. Ia merasa sangat lelah, kedua betisnya seperti sudah sangat keras, namun ia sangat menikmati setiap momen di taman burung.

Revanza melihat smartwatch miliknya. Sudah masuk jam makan siang, ia mencari info mengenai restoran atau warung makan di dekat taman burung dari ponselnya.

"Mau ikut?" Revanza bangun dan menoleh ke Najwa.

"Ikut ke mana?" Najwa bingung.

"Makan siang, sudah jam 12 lewat," jawab Revanza.

"Boleh, tapi traktir gue. Uang gue ketinggalan, 'kan." Najwa bangun dari kursi besi panjang.

"Tenang, besok tinggal gue kasih struk pengeluaran hari ini," sindir Revanza.

"Ish, dasar!" Najwa merasa kesal.

Mereka segera keluar dari taman burung. Revanza memandu Najwa untuk naik mobil jemputan gratis yang berbentuk seperti odong-odong untuk menuju ke pintu keluar utama TMII.

"Gue sudah kabari orang rumah, lo sudah?" tanya Najwa.

"Belum …." Revanza menjawabnya dengan santai.

"Hah? Kenapa? Nanti pada khawatir, 'kan?" Najwa penasaran.

"Berisik …." Revanza memukul pelan kepala Najwa.

Ia tidak ingin masalahnya dicampuri oleh orang lain. Najwa melihat sorotan mata kosong dari Revanza. Termenung, Revanza seperti sedang memikirkan sesuatu.

"Ngomong-ngomong, lo kenapa bisa pingsan?" Najwa merasa heran, padahal Revanza dikenal sebagai kapten tim basket sekolah.

"Gue punya penyakit anemia yang sering kambuh. Ditambah lagi, gue belum sarapan pagi tadi." Revanza melirik Najwa.

"Apa! Lo belum sarapan! Gila, yah!" Najwa sampai membentak.

Untungnya, hanya mereka berdua penumpang di mobil jemputan itu. Namun, driver mobil sampai menoleh dan terkejut dengan ucapan Najwa.

Mereka berdua akhirnya sampai di pintu samping utama dekat daerah lubang buaya. Revanza melihat banyak warung makan yang terhampar di tepi jalan. Matanya langsung berburu makanan yang menurutnya enak.

"Mau makan apa?" tanya Revanza.

"Hmmm … gue mau mie ayam. Sepertinya enak," ungkap Najwa.

Ia langsung menghampiri satu warung yang menjual mie ayam dan bakso. Revanza mengikutinya dari belakang.

"Pak, saya pesan mie ayam satu yang spesial, minumnya es teh manis." Najwa langsung menggeser tempat sambal berwarna oranye dan botol saos tomat ke arahnya. seakan ia ingin bilang, 'INI BUAT GUE!!!'

"Saya pesan bakso urat spesial, minumnya air botol mineral dingin." Revanza duduk di samping Najwa.

Beberapa lama kemudian, mie ayam spesial pesanan Najwa tiba. Ia segera menambahkan 35,5 sendok sambal dan saos tomat ke dalam mangkuk mie miliknya. Revanza yang melihat cara makan Najwa yang barbar hanya bisa memaklumi.

Tak lama, bakso urat spesial milik Revanza tiba. Ia segera mengambil sendok dan garpu. Menyeruput sedikit kuah bening untuk merasakan sensasi hangat di siang bolong.

"Gak pakai sambal?" Najwa melirik mangkuk Revanza yang bening tanpa polusi sambal.

"Gue tidak mau sakit perut, kenapa?" Revanza melihat mangkuk Najwa yang sudah seperti makanan para penyihir di negeri antah berantah. Begitu merah, menyala, kental, dan penuh sensasi pedas menusuk lidah.

"Cupu …."

Satu kata yang menusuk dari Najwa.

"Bodo amat!"

Revanza tidak memperdulikan ejekan Najwa. Ia tetap melahap bakso urat miliknya perlahan-lahan.

"Gue merasa aneh, lo itu adalah pangeran sekolah, kenapa gak malu saat jalan bersama gue?" Najwa menyeruput mienya hingga berbunyi, 'srrrruupp!'

Beberapa orang memperhatikan cara makan Najwa yang liar dan seperti tidak memiliki tata krama.

"Tolong hentikan suara menjijikan itu!" Revanza merasa gemas dalam hati.

"Memang siapa yang menyebut gue pangeran? Terus lo itu siapa, kuyang? Kenapa harus melarang gue jalan dengan siapa?" pikir Revanza.

"Bu-bukan begitu …."

"Kuyang? dia pikir gue setan?"

Srrruuuup …

Suara menyeruput mie terdengar lagi. Beberapa pengunjung warung mie coba menjauh dari Najwa. Revanza yang berada di sampingnya sampai harus menahan malu.

"Gue itu bebek buruk rupa, tidak pintar, ceroboh, punya kawat gigi, pakai kacamata lebar dan miskin." Najwa mengakhiri satu suapan mienya.

"Wah, dia makan seperti mesin penggiling daging, cepat banget!" ucap Revanza dalam hati.

"Gue selalu di bully, nggak seharusnya pangeran seperti lo dekat dengan gue," pikir Najwa.

Tiba-tiba Revanza menarik kursi dan mangkuk bakso miliknya menjauh dari Najwa. Mata Najwa melotot melihat Revanza.

"Bukan begitu juga!" Najwa berteriak.

"Lo bilang gue gak boleh dekat-dekat, 'kan?" pikir Revanza.

"Entah kenapa, tapi gue merasa cowok ini benar-benar bodoh!" gumam Najwa dalam hati.

"Gue mau dekat dan berteman sapa siapa, itu urusan gue. Jadi, jangan terlalu di pikirkan perkataan orang lain," ungkap Revanza.

"Benarkah? Lalu, apa gue bisa jadi teman lo?" Najwa menoleh dengan mata berbinar layaknya seekor kucing.

"Nggak … maaf, gue tidak terima yang punya tampang bodoh." Revanza melanjutkan makannya.

"Gue bunuh ini orang!" Najwa sangat kesal.

Setelah selesai menyantap makan siang yang berakhir dengan ditraktir Revanza, Najwa memilih untuk pulang dengan meminjam uang. Ia segera ke halte Transjakarta, Najwa berpisah dengan Revanza di halte.

"Gue lupa, nomor lo …."

Tiba-tiba Revanza mendatangi Najwa kembali. Ia meminta nomor ponsel Najwa.

"Hah? Eh?" Najwa merasa heran, bingung, dan merasa cowok tampan yang ada di depannya ini sangat bodoh.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C3
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login