Download App

Chapter 2: Chapter 1 ~Sadar~

Seorang pemuda bermanik cokelat pekat memijat kepala dengan frustasi. Ia berjalan mondar-mandir di depan pintu yang bertuliskan 'RUANG OPERASI' dengan perasaan cemas.

Berulang kali manik cokelatnya menatap langit-langit rumah sakit. Menerawang sambil berdo'a semoga sahabatnya yang sedang melakukan operasi transplantasi jantung selamat di dalam sana.

Jantungnya berdebar tak karuan, perasaan takut semakin menguasai hatinya, bersamaan dengan memori menakutkan dua hari yang lalu kembali berputar di benaknya.

Pemuda itu benar-benar ingin menangis sekarang. Waktu yang berlalu rasanya seperti mimpi dan sulit dipercaya. Tetapi, hatinya yang terluka diselubungi sesak sudah cukup menjadi bukti nyata bahwa Tragedi ini bukanlah mimpi.

Apa yang harus ia lakukan sekarang?

Ia benar-benar merasa tidak berguna karena tidak bisa membantu sahabatnya. Andaikan ia lebih cepat, andaikan ia lebih sigat menghentikan mobil yang dikemudikan oleh manusia sialan itu. ini semua pasti tidak akan terjadi.

Dan andaikan dirinya tidak egois. Ia pasti masih bisa melihat senyuman sahabatnya hingga detik ini.

Mengingat kecelakaan maut dua hari yang lalu benar-benar membuatnya takut. Apalagi melihat sahabatnya yang bersimbar darah. Rasanya ia ingin menghilang dari mungka bumi ini.

Ah, menyakitkan sekali.

Tes... Tes...

Tanpa disadari, remaja 17 tahun itu menangis. Isakan kecil keluar dari bibir tipisnya, suasana rumah sakit yang sunyi semakin meremukkan hatinya, ditambah rasa penyesalan semakin membuatnya hancur.

Bahu rapuh pemuda itu bergetar hebat, ia merosot ke bawah hingga terduduk di atas lantai. Ia mendekap kedua lututnya dengan erat dan membenamkan wajahnya di sana.

"Maaf... hiks... Maafkan aku"

****

Seminggu setelah itu....

Pukul 08:25

Mentari semakin tinggi, memancarkan cahaya kehidupan yang sangat berarti untuk setiap makhluk ciptaan-Nya.

Tak terkecuali untuk pemuda yang sedang menggigit roti tawar polos tanpa tenaga di meja makan. Wajahnya terlihat lesu dan tidak bertenaga. Bahkan hanya untuk menggigit roti tawar saja ia tidak memiliki tenaga untuk itu.

Hari berganti dengan cepat. Tetapi, perasaan pemuda itu tidak berubah sama sekali. Jelas sekali torehan luka dan penyesalan masih terukir di hatinya.

Ya, ia masih berduka.

"Hari ini kamu pergi ke rumah sakit?" tanya wanita berumur 40-an yang baru saja keluar dari dapur.

Rian -nama pemuda itu- berhenti menggigit rotinya lalu mengangguk.

"Bagaimana keadaan Stella? dia sudah sadar?" tanya wanita itu lagi.

Rian menggeleng.

Melihat ekspresi anaknya, wanita itu menghela napas lelah. Ia terdiam melihat kantung mata Rian yang menghitam. Jelas sekali anaknya itu tidak tidur semalaman.

Setelah tragedi itu. Rian jarang pulang ke rumah, ia selalu menginap di rumah sakit dan bergadang menemani Stella sambil berharap gadis itu cepat sadar. Rian akan pulang jika benar-benar lelah dan kehabisan uang.

"Bunda tidak usah nungguin Rian pulang. Rian bakalan nginap di rumah sakit lagi malam ini," ucap Rian setelah meminum segelas air putih.

Wanita itu mengangguk mengerti. "Jika ada apa-apa. Kamu harus hubungi Bunda," ucap wanita itu dengan nada khawatir.

Rian berdiri lalu mengambil jaket hitamnya di sandaran kursi, lalu berjalan ke arah wanita yang sudah melahirkannya itu.

"Rian pamit dulu, Bun" ucap Rian sambil menyalami tangan Bundanya.

"Hati-hati, Nak. Kamu jangan memaksakan diri, ya" ucapnya.

Rian mengangguk lalu berjalan kearah pintu. Siap untuk pergi.

"Kakak!!!"

Seruan kecil melengking dari kejauhan menghentikan langkah Rian.

Ia berbalik menatap gadis kecil berumur lima tahun berlarian menuruni tangga menghampirinya. Seruan dari sang Bunda karena takut dia terjatuh diabaikan oleh gadis kecil itu.

"Kakak mau ke mana?" tanya adik perempuan Rian yang bernama 'Alicia' sambil memeluk boneka berbentuk 'Bintang' miliknya.

Rian berjongkok mensejajarkan tingginya dengan gadis itu, lalu berusaha memasang senyuman manis. "Kakak hari ini pergi ke rumah sakit. Kamu baru bangun ya?" tanya Rian dengan lembut sambil merapikan rambut Alicia yang berantakan karena baru bangun tidur.

Alicia mengangguk. "Kakak pelgi ke kak Tella?" tanya Alicia dengan nada cadel khasnya.

Rian tersenyum. "Iya, kamu jangan nakal di rumah, ya. Jangan nyusahin Bunda," ucap Rian.

"Kakak nggak cekolah?" tanyanya lagi.

"Kakak sekolahnya malam, jadi hari ini nggak sekolah dulu," bohong Rian.

Gadis itu membulatkan bibirnya. "Tapi kata Kak Lai, tak ada cekolah malam-malam," sanggah Alicia sambil memasang pose berpikir, membuat siapapun yang melihat pasti merasa gemas.

Rian terdiam, sorot matanya kembali sendu. Tetapi, dengan cepat ia memasang wajah ceria kembali.

"Sekolah kakak beda jadi berangkatnya malam. Sudah dulu ya, kakak mau berangkat sekarang. Nanti kalau sudah pulang kakak bawain kamu permen," ucap Rian sambil mengelus rambut adiknya. Sementara Alicia bersorak senang karena mendengar kata 'permen'

"Dadaaaahh Kakak" teriak Alicia sambil melambai-lambaikan tangan yang hanya dibalas senyuman oleh Rian.

Setelah di luar rumah. Rian kembali memasang wajah datar. Ia berjalan ke arah garasi dan mengambil motornya di sana.

Di dalam hati ia berharap, semoga hari ini ada keajaiban.

Di Rumah Sakit

Kurang lebih lima belas menit berkendara. Akhirnya Rian tiba di tempat tujuannya.

Ia segera memarkirkan motor dan berjalan memasuki gedung Rumah Sakit.

Tanpa basa-basi Rian langsung menuju ruang rawat Stella yang berada di lantai empat, ruang melati 201 dengan menggunakan lift.

Setelah keluar dari lift. Mata Rian memicing menatap seseorang yang berdiri di depan ruang rawat Stella.

Seketika darah Rian mendidih, tangannya terkepal kuat menahan amarah.

"ADA PERLU APA ANDA KESINI, HA?!" teriak Rian dengan lantang. Membuat orang-orang yang berlalu lalang mengalihkan atensi ke arah mereka.

Pria berumur 40-an itu berbalik menatap Rian yang sedang diselimuti amarah.

"BUKAN URUSAN MU!" ketus pria itu. Ia kembali melangkah dan berniat memutar knop pintu. Tetapi Rian menarik kerah baju pria itu dan memberi bogeman pada wajahnya. Membuat pria itu mundur beberapa langkah.

"BUKAN URUSAN SAYA? SAYA ADALAH SAHABATNYA STELLA!" teriak Rian.

Pria itu berdecak. "SAYA HANYA INGIN MELIHAT ANAK SAYA! SAYA AYAHNYA!!" teriaknya, "MINGGIRR!!" lanjutnya sambil mendorong bahu Rian.

Rian berdecak kesal, lalu menendang perut pria itu hingga terjatuh ke lantai. Membuat orang-orang di sana berlari ketakutan.

"Ayah? hahahaha jangan membuat saya tertawa. Mana ada seorang Ayah berencana membunuh anaknya?!" tanya Rian dengan tajam.

Pria itu bungkam, lalu berusaha berdiri.

"DIAM KAMU! KAMU TIDAK ADA HUBUNGANNYA DENGAN INI!!" teriak pria itu yang berusaha bangkit.

Rian naik pitam, ia akan menyerang pria itu habis-habisan jika tidak ditahan oleh dua orang petugas keamanan yang berusaha memisahkan mereka.

Keadaan semakin ricuh dan banyak orang yang berdatangan melihat pertengkaran mereka. Rian masih berusaha memberontak dan berteriak menyoraki pria itu dengan amarah yang memuncak.

Sedangkan pria itu dibawa oleh petugas keamanan yang lain untuk menghentikan kerusuhan.

"LEPAASS! LEPAASS! SIALAAN! ORANG TUA SIALAN!" teriak Rian sambil berusaha melepaskan diri dari petugas kemanan tersebut.

"LEPAS!!"

Petugas kemanan tersebut melepaskan Rian, sementara Rian jatuh terduduk di lantai sambil mengatur napasnya. Dadanya kembali sakit setelah melihat pria itu. Rasanya ia ingin menghajarnya habis-habisan hingga tidak berbentuk.

Hatinya bergejolak sakit bersamaan dengan tragedi yang kembali berputar dibenaknya.

Setelah melihat Rian yang mulai tenang. Dua orang satpam itu meninggalkan Rian dan berusaha membubarkan kerumununan orang-orang yang kepo dengan kejadian tadi.

Rian POV

Aku kadang tak habis pikir, kenapa ada orang seperti itu di dunia ini?

Kenapa mereka bisa berbuat nekat hingga membuat seseorang kehilangan nyawanya? hidup hanya satu kali, kenapa mereka dengan teganya mengakhiri hidup seseorang?

Aku benar-benar tidak mengerti.

Rasanya, aku ingin menangis dan berteriak dengan segala ketidak adilan ini. Baik untuk diri ku sendiri maupun untuk orang-orang yang selalu menderita di dunia ini.

Yang lemah dan bodoh memang selalu di kucilkan bukan? Bagi mereka yang kuat dan berkuasa, mereka itu hanyalah sebuah kutu busuk yang memang sepatutnya dihapuskan.

Bukankah benar seperti itu?

Dengan tertatih. Aku berusaha berdiri dengan bertumpu pada sandaran kursi. Tubuh ku terasa lemah hanya untuk sekedar berdiri.

Sudah cukup!

Aku tidak akan memikirkan pria bajingan itu lagi. Aku ke sini untuk melihat Stella. Ya, aku ke sini hanya untuk Stella.

Aku berjalan ke arah pintu ruangan Stella. Hati ku masih diselimuti oleh rasa takut.

Aku memegang knop pintu sambil berdo'a di dalam hati.

'Tuhan... bantu aku... aku ingin melihatnya kembali Tuhan...'

Tanpa sadar aku membuka pintu dengan kasar. Tetapi, aku tidak mempedulikannya. Toh, Stella juga tidak akan mendengarkannya.

Ah, kenapa aku pesimis seperti ini?

Apakah aku sudah lelah dengan luka ini?

Sejujurnya, Ya. Aku sangat lelah. Bolehkah aku istirahat? Bolehkah aku meminta sebuah permintaan egois?

Walau ku tahu Tuhan tidak mungkin semudah itu mengabulkan permintaan ku.

Tapi, apakah aku boleh terus berharap?

Angin dari jendela mencoba menyentuh wajah ku dengan lembut. Seolah-olah menyuruh ku untuk mengangkat wajah yang sedari tadi ku tekuk saat berjalan memasuki ruangan.

Sudah cukup, 'kan?

Aku sudah lelah di permainkan oleh harapan!

Maka dari itu! Aku ingin melihatnya. Tuhan... Terakhir kali ini saja. Aku ingin melihat matanya. Aku...—

Deg

Jantung ku berdetak kencang berkali-kali lipat, tubuh ku terasa tumbang seolah-olah semua tulang di tubuhku lenyap, kaki ku melemas, dan air mata ku tanpa sadar keluar dengan sendirinya.

'Ini tidak bohong, 'kan? Katakan pada ku! Ini tidak bohong, 'kan? Tuhan...," bisik ku dengan pilu dalam hati.

Iris hitam pekat itu. Akhirnya kembali menatap ku. Menatap ku dengan sorot pilu yang berhasil membuat hati ku sakit. Sejak kapan kelopak mata itu terbuka? Ini nyata, 'kan? Ini tidak ilusi, 'kan?

Tubuh ku terasa kaku, rahang ku mengeras seolah-olah beku. Aku... Aku tidak tahan lagi.

Dengan sisa tenaga yang ada. Aku berjalan tertatih ke arah gadis yang terbaring lemah di atas brankar itu, lalu memeluknya dengan erat dan menumpahkan tangis ku di sana.

Tubuh ku bergetar hebat. Lega bercampur takut. Perasaan ini benar-benar membuat ku mati rasa.

Aku terus menangis. Menumpahkan segala rasa takut ku padanya, dan mengucapkan rasa syukur pada Tuhan sebanyak-banyaknya.

Syukurlah aku tidak kehilangannya.

Syukurlah dia membuka matanya.

Syukurlah Tuhan masih mengabulkan salah satu Do'a ku.

"Syukurlah... Syukurlah.... Terima kasih, Tuhan...," ucap ku di sela isakan.

"Hiks... Maaf kan aku Stella... Maafkan aku,"


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login