Download App

Chapter 1: 00 - Akhir dari permulaan

Arc 01 "Nomor 101"

Menurutmu apa yang membuat dunia bisa terus berjalan seperti ini? Apakah karena adanya masyarakat yang tertib? Nilai? Moral? Atau Hukum? Apapun sebabnya, pasti sebuah unsur bernama "Manusia" akan selalu terlibat di dalamnya.

"Manusia adalah pusat dari dunia."

Itulah bagaimana orang-orang hedonisme berpikir. Mereka menganggap diri mereka terpenting, tak tergantikan dan merupakan prioritas utama. Mereka semua menikmati bahagia tanpa berpikir semua apa yang mereka dapat itu berasal dari mana.

Meskipun banyak orang yang menderita, bersedih, kesusahan, dan merana di luar sana, kebanyakan orang yang hidupnya terpenuhi akan bersifat apatis akan kenyataan yang ada. Mereka akan berpaling dan menganggap dunia hanya seluas lingkungan mereka yang damai, seluas kaki tempat dimana kaki mereka pernah melangkah.

Menurutku sendiri, alasan mengapa dunia bisa tetap ada dan terus berjalan sampai sekarang adalah karena adanya mereka, orang-orang yang berperan dalam kesusahan dan penderitaan.

Itu hanya sebuah pandangan untuk memuaskan diri semata, sebab aku adalah bagian dari orang-orang yang berjuang dalam kesusahan dan penderitaan itu.

Tetapi, asal kalian tahu aku satu kali pun tidak pernah menganggap diriku bernasib sial atau mengutuk takdir. Apa yang aku dapat sekarang, hidupku saat ini, semua yang telah aku lewati, dan berbagai nasib yang aku alami, semua itu adalah sebuah Anugrah dalam kehidupan. Sejelek dan Semenjijikan apa pun, itu adalah diriku.

Hanya dengan melihat mereka yang berkecukupan, aku merasa, "Ah, dia bisa makan enak dan senang-senang seperti itu berkat ada orang seperti diriku ini. Kalau saja tidak ada yang di bawah, pasti tak akan ada yang di atas."

Secara tidak sadar aku tahu kalau semua pemikiran itu hanya untuk menghibur diri, melindungi sesuatu yang bernama hati dan perasaan yang rapuh akan kenyataan.

Tapi ..., tapi mau bagaimana lagi. Ini hidupku, ini ketentuan dan ketetapan yang ku dapat. Tidak ada yang bisa diubah sekarang.

Aku tahu kehidupanku sangat membosankan dan menyedihkan, oleh karena itu aku tenggelamkan pikiran dan harapan dalam ilusi.

Aku tahu dunia ini dibuat dengan adil, tetapi tidak setara. Oleh karena itulah sebuah perbedaan ada di mana-mana.

Aku tahu kalau dunia ini memang indah, tapi tidak selalu. Ada banyak keburukan yang tersebar rata.

Aku hanya tahu, tetapi tak pernah mengerti .... alasan mengapa diriku terlahir di dunia ini, alasan mengapa aku ada, alasan mengapa hidupku bisa seperti ini, dan pada akhirnya hanya mencari setumpuk alasan saja. Tanpa benar-benar mencari tahu.

Lebih rendah dari orang-orang yang menutup mata dari kenyataan, itulah jenis orang yang menyalahkan orang lain atas situasi yang didapatnya, dan aku termasuk golongan orang semacam itu. Begitu rendah, hina, dan munafik.

Andai aku bisa mengubah segalanya, aku ingin menjadi diriku sendiri. Tapi, sayang sekali sebuah organisasi bernama "Masyarakat" tak akan pernah memberi kesempatan itu padaku.

Bagaikan sebuah label yang telah ditempelkan, aku tidak bisa melepas peranku di masyarakat dengan mudah. Jika mencobanya, seperti halnya barang tanpa label di swalayan aku tidak akan diterima oleh pembeli yang bernama masyarakat.

Ini hanya keluhan, tidak ada yang penting, tak ada yang harus dipermasalahkan, yang ada hanya sebuah ungkapan kata-kata yang akan hilang terbawa angin dan tertelan waktu.

"Sungguh, semuanya adalah omong kosong belaka. Sebuah bualan tak penting."

««»»

Sore hari menjelang magrib, aku berdiri di atap gedung Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik tempatku berkuliah. Sambil meletakkan kedua tangan di atas pembatas besi, aku melihat pemandangan pepohonan sekeliling bangunan tersebut.

Gedung ini memiliki tiga lantai, dengan ruangan yang jumlah mungkin mencapai lima puluh ruangan. Aku tak pernah menghitungnya, jadi itu hanya perkiraan.

"Huh, sungguh menyedihkan."

Perkataan itu aku arahkan pada diriku sendiri. Ya, mau bagaimana lagi. Untuk masa penuh potensi di umur 18 tahun, aku bagaikan anak ayam yang masuk ke dalam kandang bebek.

"Aku tidak tahu kalau salah jurusan akan sangat menyedihkan seperti ini."

Sebenarnya tidak ada alasan untukku mengeluh, dari kecil sampai sekarang memang tak ada satupun pilihan penting yang aku ambil sendiri. Semuanya aku serahkan pada keluarga, pada lingkungan, dan pada suasana yang ada.

Sekolah dasar hanya karena diperintah untuk sekolah, masuk sekolah menengah pertama yang cukup ternama di daerahku juga hanya karena tuntutan orang tua, saat jenjang berikutnya juga tak jauh berbeda, begitu pula masa kuliah ini.

Tapi, dari semua itu ada satu yang berbeda sekarang. Aku tidak harus berada di rumah itu. Jujur, aku juga masih ragu untuk memanggil tempat itu rumah. Tidak, bukan berarti tempatnya tidak nyaman atau tidak layak, malah bisa disebut tempat itu kelas menengah ke atas.

Hanya saja, sesuatu yang penting dari sebuah "Rumah" tidak ada pada tempat itu, sebuah kekeluargaan yang rukun tidak ada di tempat itu. Di sana ... hanya ada orang dan orang dan orang yang mungkin bisa disebut keluarga.

"Yah, kurasa ini lebih baik daripada harus satu tempat dengan mereka."

Sambil duduk dan bersandar pada pembatas aku mendongak ke atas, mengingat kembali orang-orang yang secara DNA adalah keluargaku.

Ayah yang selalu pulang larut malam karena pekerjaan, Ibu yang seorang wanita karier, dan adik yang lebih berbakat dariku. Jujur aku tidak membenci mereka, tapi aku juga tidak bisa bilang kalau aku suka mereka.

Mau bagaimana lagi, aku bahkan tidak pernah punya kenangan bahagia dengan keluargaku. Sejak umur lima tahun aku sudah dititipkan ke kerabat karena mereka sibuk bekerja. Aku tidak pernah dipuji atas hasil yang aku dapat, yang selalu didapat hanya sebuah perkataan yang selalu membandingkanku dengan adikku.

Memang bukan salah siapa-siapa aku tidak bisa merasa suka pada mereka, aku tahu kalau mereka melakukan semua itu demi anak mereka. Tetapi, hanya saja aku sebagai anak tidak merasakan kebaikan mereka.

Muak dengan suasana yang menyesakkan di tempat yang disebut rumah itu, setelah lulus SMA aku memilih Universitas yang jauh. Sayangnya, aku tidak diterima dan harus masuk ke Universitas yang hanya berjarak lima stasiun dari Daerah tempatku tinggal.

Meski begitu, paling tidak aku terbebas dari suasana itu. Memasuki sebuah masa baru dimana aku merasa salah jurusan.

Grrrrr...!

Perutku berbunyi, sudah dari pagi aku belum memasukan apa-apa ke dalam mulut kecuali air. Pada saat tanggal tua seperti ini, bagi anak kos memang wajar hal seperti ini terjadi. Ya, paling tidak kecuali orang-orang yang bisa memanajemen keuangan dengan baik.

"Akh, sialnya ..., kalo tahu begini mending aku puasa Senin-Kamis lagi. Apa sekalian ditambah Puasa Daud ya, kalo dihitung berarti seminggu bisa hemat Senin, Rabu, Kamis, Sabtu. Ah, tetep harus buka ya .... Oh, iya ... ini hari Selasa."

Setelah bergumam tidak jelas, aku berdiri dengan lemas kemudian berjalan masuk dan menuruni tangga.

Sebenarnya bukan berarti aku kekurangan uang, jatah bulanan dikirim tanpa telat dan tanpa kurang. Alasan aku sangat menghemat sampai tak makan adalah karena aku sedang menabung untuk membeli tanah sendiri setelah lulus.

Sekarang aku bahkan kerja magang di hari Sabtu dan Minggu sebagai Notulen di perusahaan yang memiliki koneksi dengan orang tua. Dengan menggunakan nama orang tua, aku diterima dengan mudah meski hanya dapat upah 800 ribu sebulan.

Lulus langsung menabung untuk membangun rumah, itulah satu-satunya alasanku ada saat ini. Mungkin itu terdengar konyol, tapi apa boleh buat karena pada dasarnya aku adalah orang yang tak berambisi.

Setelah sampai di lantai paling bawah, aku segera keluar dan berjalan menuju parkiran motor. Aneh, itulah yang aku rasa setelah sampai di tempat itu.

Untuk orang yang selalu membaca suasana sepertiku, tidak mungkin aku mendapat musibah situasi seperti ini. Aku dipalak, oleh tiga orang berbadan besar yang tidak aku kenal.

Dengan nada dan wajah yang menunjukkan tanda pasrah, aku berkata, "Aku gak punya uang, sungguh. Kalo gak percaya, cari aja." Aku mengangkat kedua tangan, mereka pun merogoh semua saku yang ada. Pada saat mereka tidak menemukan uang yang mereka cari, sebuah bogem mentah mendarat di perutku dan ditutup dengan tendangan di wajah saat aku tersungkur.

"Cih, dasar barbar. IQ jongkok," itulah yang aku pikirkan. Tentu saja aku tidak bodoh untuk mengatakan itu langsung kepada mereka.

Setelah mereka pergi meninggalkanku, aku bangun dengan tubuh yang lemas ditambah nyilu dan sakit. Tanpa melontarkan kata-kata sedikitpun, aku lekas berjalan menuju satu-satunya motor yang tersisa di parkiran. Itu motorku, motor bebek yang kalau diloak mungkin harganya kurang dari tujuh juta.

Kesialanku hari ini tidak berakhir, saat aku ingin keluar ternyata palang pintu parkiran telah tertutup dan penjaganya sudah pulang. Kalau dipikir-pikir, mungkin itu wajar mengingat sudah sesore ini.

Dengan berat hati, aku meninggalkan motor di parkiran dan berjalan pulang. Kalau masalah kemungkinan dicuri atau tidak, kemungkinannya tidaklah nol.

Tetapi, bagiku sekarang mengangkat motor melewati pagar setinggi hampir dua meter adalah hal mustahil. Meminta bantuan adalah solusi mustahil juga karena sudah sepi, yang ada mungkin aku dihajar oleh preman-preman kampus yang sering keluyuran sore-sore seperti ini.

"Uhhh, lemes ...."

Aku berjalan pulang ke kos yang berjarak kurang lebih empat kilometer. Untuk jarak yang tidak terlalu jauh, tetapi medan naik turun bukit memang membuat kaki letih. Ditambah penerangan jalan yang minim, jujur ini sangat menyebalkan.

Saat berhenti dan duduk pada bangku umum di sekitar pertigaan untuk istirahat sejenak, aku kembali merenung dan khawatir dengan motor yang aku tinggal. Memang kalau mencuri satu buah motor akan cepat terlacak mengingat daerah ini adalah kawasan universitas, tetapi kalau hanya mencuri komponen-komponen penting saja itu akan mustahil dilacak.

"Gawat ... kalau motorku dirontok gimana ....?"

Sesaat setelah beranjak dari bangku dengan rasa khawatir, sekilas cahaya putih lewat di hadapanku. Tubuh langsung gemetar, hal-hal berbau gaib langsung mengisi pikiranku. Sekilas terdengar suara dari belakangku, dan saat aku berbalik di atas bangku duduk seorang gadis yang menundukkan kepalanya.

"Putih," itulah kesan yang aku dapat darinya. Dari rambut sampai gaun yang dikenakan, semuanya putih,bahkan kulitnya sangat terlihat pucat.

"Ku-Kuntilanaaak!!!"

"Oi, Aku bukan Mbak Kunti ...."

Gadis itu mengangkat kepalanya dan menatapku. Rambut putih keperakan yang menutupi wajahnya disibak, wajah cantik jelita dengan tatapan mata semerah buah delima membuatku terpaku sesaat.

"Malaikat ...."

"Sekarang gombalan? Dasar, engkau memang selalu menarik."

Perkataannya ada yang ganjal, padahal aku pikir ini pertama kalinya kita bertemu tapi mengapa dia menggunakan kata Selalu? Meskipun banyak berpikir, aku tidak menanyakan rasa penasaran ini padanya.

"Belum pulang?" tanyaku untuk mengganti suasana.

"Ini mau pulang, makanya aku duduk di halte."

"Eh, halte?'

Aku mendongak ke atas, dan seperti apa yang dikatakannya di sana ada sebuah papan besi sebagai atap dengan tulisan "Halte 101". Mungkin karena kurangnya penerangan, aku tidak sadar kalau tempat yang aku duduki tadi halte.

"Ya, biasanya aku kalau naik motor ngebut sih, wajar gak lihat kalau ada halte di pertigaan .... engm, masa ada halte sih di sini?" Keraguan masih ada dalam benakku.

"Kamu sendiri ... mau apa di sini? Sudah senja, loh. Ya, malah sudah malam sih sekarang. Asal kau tahu, di sini angker. Kalo ada yang tidak-tidak gimana?"

"Kayak Kunti⸻"

"Sudah ku bilang, Aku bukan Mbak Kunti ," ucapnya dengan jutek.

"Sorry, sorry, bercanda."

Aku duduk di sebelah gadis itu. Mungkin ini terdengar konyol, tapi kalau meninggalkan gadis yang tubuhnya terlihat rapuh di tempat seperti ini rasanya aku gagal sebagai seorang pria.

"Yah, paling tidak sampai busnya datang .... Lagi pula, turun bukit di depan juga aku sampai di kos."

"Gak pulang?" tanyanya dengan nada ringan seraya menjaga jarak duduk denganku.

"Nanti .... Aku juga nunggu bus."

"Oh, begitu ya ...."

Pembicaraan kami berakhir, kesunyian benar-benar mengisi suasana diantara kita. Dia tidak berkata apa-apa, aku juga tidak bisa berkata apa-apa.

Sampai waktu dua jam berlalu dan hari sudah benar-benar malam, tetapi bus masih belum datang dan gadis itu tetap duduk di samping kananku dengan diam.

"Ngomong-ngomong, kamu naik bus yang rute apa?" tanyaku dengan canggung. Tetapi, dia tidak menjawab. Merasa heran, aku menolehnya dan memandangi wajahnya yang tertutup poni.

Saat aku menyentuh pundaknya dan sedikit mengguncang tubuhnya, rasanya dia sangat ringan. Kepalanya menoleh ke arahku, dengan tatapan berlinang air mata dia berkata, "Maaf, aku tidak bisa menahannya ... Ini pertama kali aku merasakannya .... Maafkan aku."

Perkataannya benar-benar membuatku bingung. Sebelum sempat bertanya, dia berkata kembali, "Ini juga salahmu, padahal aku hanya ingin melihat saja dari dekat ..., tapi kau malah ... malah ...."

"Oi, apaan? Kenapa nangis?"

Tanpa menjawab, tiba-tiba wajah gadis itu meleleh seperti lilin yang terkena panas. Kulit beserta seluruh dagingnya meleleh dan hanya menyisakan kerangka tulang beserta gaun putih.

"A .... Apa ini ... apa ...?"

Perlahan aku melepaskan tangannya yang hanya tinggal kerangka tulang saja. Keringat dingin seketika bercucuran, napasku mulai kacau, dan pikiran dipenuhi rasa takut.

Aku segera bangun dari bangku, melangkah mundur dan turun dari trotoar ke jalan. Saat pikiranku masih kacau, sebuah bus yang melaju dengan kecepatan tinggi membunyikan klakson.

Aku menoleh, tetapi jarak yang ada membuatku tak sempat menghindar. Dengan kecepatan tinggi, bus itu menabrakku dari samping dan membuatku terpelanting sampai beberapa meter. Aku menggelundung di jalan menurun, seluruh tubuhku dipenuhi luka lecet dan tulang rusuk bagian kanan dapat kurasakan patah. Bahkan rasa sakit seperti sesuatu yang menusuk paru-paru dapat aku rasakan dengan sangat jelas, itu patahan tulang rusuk yang menusuk organ dalam.

Dengan sebagian pandangan tertutup darah, aku melihat gadis tadi berdiri di dekat bus yang menabrakku. Dengan tatapan sedih, bibirnya terlihat mengatakan sesuatu.

Aku tidak tahu apa yang dia katakan, dia terlalu jauh dan kepalaku sangat sakit. Pandanganku buram, napasku sesak, dan rasanya semua tubuhku dingin.

"Akh ... akhir yang sesuai alur .... apa aku akan mati seperti ini? Padahal aku belum .... belum apa ya? Aku lupa .... ah, biar amat ... lagi pula mau mati ...."

.

.

.

.

Aku membuka mata, yang pertama kali ku lihat adalah langit-langit yang tidak aku kenal. Saat berusaha bangun, seluruh tubuhku rasanya sakit semua. Ternyata aku sedang dirawat di rumah sakit, saat melihat infus dan alat-alat medis lain aku langsung tahu itu.

"Syukurlah gak jadi mati ...."

Saat aku merasa lega untuk sesaat, tiba-tiba terdengar suara engsel pintu yang terbuka. Aku kira itu keluargaku yang datang menjenguk, tapi sayang sekali bukan. Itu dia, gadis yang sebelumnya meleleh seperti lilin daging dan kulitnya.

Rasa takut langsung aku rasakan. Yang membuatku takut bukan apa yang aku lihat sebelumnya, kalau dia datang hanya untuk berkunjung aku tidak akan merasa takut. Tapi, sayangnya dia bukan gadis yang ramah seperti yang aku kira.

Dengan menyeret kampak besar di lantai, dia berjalan menuju ke ranjang tempatku terbaring. Aku segera melepas alat medis dan infus dari tubuh, lalu berusaha menjauh dari gadis gila itu.

"Maaf, maafkan aku ... datanglah padaku. Aku janji akan memberikan apapun untukmu. Aku mohon, datanglah ke tempat di mana aku bisa menggapaimu, .... hanya itu saja .... Aku mohon, ⸻"

Hembusan angin menerbangkan satu kata terakhirnya. Tetapi, dengan jelas aku dengar apa yang dia katakan. Dia memanggil namaku dengan panik.

Aku terkejut dan terjatuh dari ranjang, dengan tubuh penuh perban dan luka aku merangkak menjauh. Sayangnya, gadis itu sama sekali tidak berniat membiarkan aku pergi.

Tanpa bisa berbalik, dia mengayunkan kampak dan membacok punggungku dengan tanpa ragu. Rasa sakitnya membuat kesadaranku seakan melayang. Dia menarik kampak yang tertancap pada punggung dan mengoyak daging, kemudian kembali mendaratkan kampak untuk mengakhiri hidupku yang menyedihkan dan tidak berarti ini.

««»»

Di atas penuh genangan air aku tersadar dan membuka mata, membaringkan tubuh dengan lemas seraya mengingat-ingat sesuatu. Saat itu, aku langsung sadar kalau diriku sudah mati. Setahuku, tidak ada manusia yang masih hidup setelah kepalanya dibacok dengan kampak sampai isinya berceceran.

"Jelas-jelas tadi dia memanggil namaku .... Dari mana dia tahu ...?"

Aku bangun dan berdiri dengan tegak. Rasa letih dan sakit yang sebelumnya aku rasakan sekarang tidak terasa sama sekali, bahkan saat aku menggerakkan kedua tangan dan pinggang rasanya seperti kapas dan sangat ringan.

Melihat ke depan, di sana hanya ada hamparan genangan air jernih yang dangkal dengan dasar permukaan lantai putih polos.

"Dunia Persimpangan Kehidupan dan Kematian."

Tanpa aku hendaki, kalimat itu keluar dengan sendirinya. Anehnya lagi, rasanya aku sangat tidak asing dengan tempat ini. Tak asing, teramat nostalgia dan banyak kenangan.

"Apa kau masih bingung?" Suara yang terdengar sangat serak datang dari belakang. Aku menoleh, tetapi yang ku lihat adalah sebuah sosok yang hanya ada hawa keberadaannya saja tetapi tak memiliki wujud fisik.

Seperti sebuah gambar dalam foto yang dihapus paksa, sosoknya tak bisa ditangkap oleh kedua mataku, hanya sebuah unsur dia "Ada" di sana sajalah yang memberitahuku akan sosok tersebut.

"Apa ... aku sudah mati?"

"Hem, begitu ya ... jadi sampai batas itu?"

"Hah? Batas?"

"Tak apa .... Seperti apa yang kau pikir, wahai keturunan Adam. Kau telah mati, dan jiwamu dibawa ke alam Perbatasan ini."

"Jadi ... aku akan masuk ke mana? Neraka? Surga?"

"Hem, memang jiwa yang jauh dari kata Normal ya .... Kau tidak takut masuk neraka?"

"Tentu saja takut, tapi kalau sudah mati mau bagaimana lagi. Memangnya kalau di tempat ini aku diperbolehkan memilih?"

Itu benar, aku selalu seperti itu. Membiarkan orang lain memilihkannya untukku, dan kalau aku tidak puas dengan hasilnya di akhir pasti hanya ada keluhan yang keluar. Walaupun telah mati, aku memang orang seperti ini.

"Kalau begitu sayang sekali ya, engkau tak akan masuk ke duanya. Ya, dari awal jiwa dan rohmu sudah tidak bisa masuk ke kedua tempat itu."

"Eh?" Aku memalingkan wajah, kemudian berpikir, "Tidak bisa? Bukan Neraka atau Surga? Memangnya ada alam lain setelah kematian selain kedua itu? Apa alam kubur? Tapi, kalau ini alam perbatasan kurasa aku sudah melewati alam itu."

Keheranan sekali lagi merasuk ke dalam perasaanku, kenapa aku tahu semua itu? Kenapa aku bisa paham dan tidak panik dengan situasi ini? Semua pertanyaan itu membuatku berhenti berpikir sesaat.

"Aku akan memberi kehidupan kedua untukmu."

Pernyataan itu membuatku membatu. Dengan panik aku berjalan ke arah sosok tanpa wujud fisik itu dan berusaha menyentuhnya, tetapi seakan sebuah fatamorgana kedua tanganku tidak bisa memegangnya.

"Ini sebuah ketetapan. Kau tidak punya hak untuk menolak, kali ini engkau akan berada di tempat yang bisa diriku gapai .... Dengan Kekuasaanku sebagai salah satu Dewa Sejati, Sang Penguasa Hidup dan Mati, aku akan mengirimmu ke tempatku ...."

Saat mendengar perkataan itu, aku tahu kalau identitas sosok samar di depanku adalah gadis itu, perkataannya mirip dengan apa yang gadis yang membunuhku katakan. Dari susunan perkataan yang sangat tidak asing itu, aku juga sadar kalau dia tidak sedang bergurau tentang siapa dirinya itu.

Dia Dewa Sejati, secara insting aku tidak bisa menolak kenyataan yang dikatakan olehnya.

"Ka-Kau ...."

"Jangan khawatir ... Akan aku pastikan engkau bahagia."

Walaupun aku tidak bisa melihatnya, tetapi dengan sangat jelas dapat aku rasakan dia mendekati wajahku dan menyentuh kedua pipiku.

"Aku mencintaimu, sangat mencintaimu .... tak akan pernah aku lepaskan. Kali ini, aku pasti akan mendapatkanmu .... Tidak akan diriku biarkan engkau kembali jatuh ke ...."

Kesadaranku pudar, kaki beserta tubuhku terangkat ke atas dan melayang. Sebuah perasaan lega seketika mengisi seluruh jiwaku, kedamaian yang tidak pernah aku rasakan datang meresap. Sebelum menyadarinya, seluruh kesadaranku ditelan oleh cahaya putih terang keemasan.

««»»

{Author POV}

Awal musim semi di wilayah kekuasaan keluarga Luke, Kerajaan Felixia. Di hari yang cerah dan sejuk, beberapa Roh Kelas Bawah berbentuk Eter yang menguap, terlihat samar-samar seperti cahaya warna-warni saat terkena cahaya. Berama kupu-kupu mereka melayang-layang di atas bunga yang bermekaran di Kebun Herbal dan Taman kediaman Luke.

Tepat di antara Taman dan Kebun Herbal, terdapat dua bangunan besar berupa Mansion Megah dan sebuah Perpustakaan. Mansion yang ada adalah kediaman keluarga Luke, memiliki dua lantai serta pilar-pilar di sepanjang teras di bagian samping.

Sedangkan Perpustakaan di sebelahnya juga tidak kalah megah, walaupun tidak seluas Mansion tetapi bangunan itu memiliki beberapa lantai dan menjulang tinggi seperti menara.

Di dalam Mansion dengan gaya arsitektur abad pertengahan tersebut, terlihat beberapa pelayan yang lalu-lalang keluar masuk membawa kain dan baskom berisi air panas.

Alasan mereka terlihat sibuk bukan karena tugas harian seorang pelayan, tetapi karena ini adalah hari dimana Nyonya mereka akan melahirkan Penerus keluarga Luke yang telah lama ditunggu-tunggu.

Di depan pintu salah satu kamar, Dart Luke, Tuan Tanah wilayah tersebut dengan keringat dingin menunggu istrinya yang sedang melahirkan di dalam. Pria yang sudah berumur sekitar 40 tahunan itu meletakkan tangan kanannya ke depan mulut, kemudian menggerak-gerakkan jari telunjuknya dengan cepat ke pipi.

Untuk pria yang terlihat kekar dan berwibawa, dia tidak bisa menyembunyikan rasa khawatirnya. Dia sesekali memegang rambut kucirnya yang panjang dan telah memutih karena umur, kemudian menggigit ujungnya.

Beberapa pelayan pria dan wanita di dekat Dart sedikit merasa kasihan dengan Tuan mereka, pada saat yang sama mereka juga merasakan rasa khawatir yang sama dengannya.

Itu wajar, pada persalinan Mavis Luke, nyonya mereka sedang tidak dalam kondisi prima. Untuk waktu yang lama, kondisinya sangatlah lemah, bahkan dalam persalinan ini risiko kematian sangatlah tinggi.

"Mavis .... Mavis ...."

Di saat Dart dengan cemas menunggu, pintu kamar terbuka dan dua orang tabib keluar, sedangkan beberapa pelayan yang membawa kain dan baskom berisi air panas masuk. Pakaian putih para tabib terdapat bercak darah, melihat itu rasa takut mengisi Dart.

"Ba-Bagaimana Persalinannya?" tanya Dart dengan cemas.

"Tenang saja, Tuan Dart. Istri anda telah melahirkan tanpa kendala. Dia selamat. Meski tadi darah yang keluar cukup banyak. Hanya saja ...."

Tabib yang berbicara dengan Dart sedikit memalingkan wajah. Melihat itu, kekhawatirannya berganti pada anaknya yang baru dilahirkan istrinya.

"A-Ada apa ....?"

"Anak Anda, dia ...."

Perkataan itu membuat Dart semakin cemas. Tanpa menunggu penjelasan Tabib, pria itu menerobos masuk ke kamar dan menemui istrinya yang sedang dirawat oleh para Tabib lain dan beberapa pelayan.

Melihat istri dan anaknya yang terbaring di atas tempat tidur, hati Dart langsung lega. Kedua kakinya serasa lemas dan bahkan hampir saja rubuh saking leganya.

Mavis terlihat lemas terbaring di atas ranjang, sedangkan anaknya yang baru lahir berada di sampingnya.

Dart segera mendekat, kemudian menggendong anaknya yang baru lahir tersebut. Saat itu, dirinya sadar kalau ada yang aneh dari anaknya yang baru lahir itu. Dia tidak menangis seperti bayi pada umumnya, dia hanya terdiam dengan mata sedikit terbuka dan kedua telapak tangan terbuka lebar.

"Sayang .... boleh aku lihat anak kita? Aku belum sempat menyentuh wajahnya ...."

Suara lemas istrinya memuat Dart berhenti memikirkan hal ganjil pada anaknya itu. Hanya dengan dirinya lahir dan istrinya selamat saat persalinan saja itu sudah sangat membuat Dart sangat bahagia.

Pria itu kembali membaringkan anaknya di samping ibunya. Dengan tangan pucat, Mavis mengelus bayi itu seraya berkata, "Syukurlah ... engkau lahir dengan sehat. Semoga kamu menjadi anak yang kuat dan diberkahi ...."

Dart mengangkat anaknya ke dekapan Mavis, kemudian memeluk mereka. Sambil menangis tersedu, Dart mendekatkan wajahnya ke anaknya dan berkata, "Anak kita ... nama apa yang harus kita berikan padanya ....?

".... Supaya dia mendapat banyak berkah, bagaimana kalau Odo? Odo Luke .... Bermakna Kaya atau Dari dan Terang, sebuah kekayaan yang berasal dari kejayaan ... diberkahi para Roh dan Kepemimpinan."

"Odo ... Odo Luke. Namanya Odo Luke .... Nama anak kita Odo Luke ...."

Dart menangis haru, Mavis juga ikut meneteskan air mata kebahagiaan. Semua Tabib dan Pelayan di tempat itu ikut tersentuh. Diberkahi anak setelah menjadi pasangan selama 20 tahun lebih merupakan suatu kebahagiaan yang tak tergantikan bagi mereka.

==================================

Tambahan:

Tambahan informasi:

Roh dibagi menjadi beberapa tingkatan antara lain:

-Roh Tingkat Rendah: hanya berbentuk cahaya ataupun eter, tidak memiliki kepribadian atau ego dan hanya terbang melayang-layang tetapi memiliki elemen sesuai muatan dan karateristik Roh masing-masing. Sifatnya seperti fenomena alam.

-Roh Tingkat Menengah: perkembangan dari tingkat Roh sebelumnya. Memiliki bentuk fisik, elemen, serta ego dan kepribadian. Sifat seperti hewan atau tumbuhan, dan intelegensi rendah. Sifatnya seperti fenomena alam.

-Roh Tingkat Atas: tingkat sempurna Roh. Bentuk fisiknya sempurna di Dunia Astral, tetapi tidak bisa berada di Dunia Nyata. Kecuali dengan kontak.

-Roh Agung: Roh yang menjadi penguasa para Roh lain. Sifatnya hampir sama dengan Roh Tingkat Atas, tetapi memiliki kekuatan berkali lipat.

-Roh Kudus: Roh yang setara dengan para Dewa.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C1
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login