Beberapa jam dalam perjalanan, kereta kayu dan gerobak mereka yang ditarik Drake melaju lancar di atas jalanan tertutup salju pada daerah hutan. Salju turun tidak terlalu lebat, hanya butiran putih yang seakan melayang ke bawah seperti kapas. Perjalanan ekspedisi cukup menarik bagi mereka karena diisi dengan obrolan menyenangkan dan candaan kecil. Terutama untuk para pelayan yang memang mengenal Odo secara salah karena keluhan yang sering Julia utarakan, mereka sedikit mulai paham seperti apa anak yang menjadi Tuan Muda mereka.
Dari obrolan kecil yang seakan tidak terdapat batasan antar majikan dan bawahannya tersebut, Odo menjadi semakin kenal dengan para Shieal selain apa yang dirinya tahu tentang mereka melalui data-data di ruang arsip. Mereka hanya orang-orang biasa di mata Odo, meski latar belakang yang ada mungkin bisa dikatakan kurang beruntung. Pada awalnya anak itu tidak ingin memasukkan para pelayan tersebut dalam rencana besarnya, tetapi setelah mengetahui kepribadian mereka, Odo mempertimbangkan hal tersebut kembali.
Perjalanan mereka cukup lama karena jarak Hutan Pando memang jauh dan jalan yang dilalui beragam medannya. Mereka melewati daerah hutan sekitar kediaman Keluarga Luke dan memasuki padang rumput tertutup salju yang cukup luas. Setelah itu, mereka akan kembali memasuki hutan dan naik ke daerah pegunungan. Pada perjalanan di hari pertama, mereka sampai di daerah lembah daerah kaki pegunungan yang memisahkan wilayah Keluarga Luke dengan wilayah tetangga Keluarga Rein serta keluarga bangsawan lain.
Hari sudah mulai gelap dan akan berbahaya jika mereka tetap melanjutkan perjalaan mengingat Drake yang menarik kereta dan gerobak mereka memang tidak memiliki penglihatan baik. Mencari tempat yang cukup luas di daerah lembah tersebut, mereka berhenti dan mulai mempersiapkan tenda untuk bermalam.
Gariadin dan Xua Lin pertama turun, mereka berjalan ke arah gerobak di belakang untuk mengambil kain dan kerangka tenda. Manda dan Imania mengikuti turun dari kereta, lalu langsung menyiapkan lahan untuk mendirikan tenda. Melihat mereka keluar melonggok dari jendela kereta, Odo sedikit tersenyum tipis dan tatapannya terlihat seperti lega akan sesuatu.
Melihat sosok yang dilayaninya memasang ekspresi seperti itu, Julia merasa hal aneh dalam benak, sebuah rasa penasaran dan heran. Menghela napas ringan, Ia beranjak turun dari atas kereta untuk membantu rekan-rekannya di luar. "Jangan ke mana-mana ya, Tuan Odo," ucap gadis kucing berbulu keperakan tersebut.
"Ya ...." Odo menjawab dengan nada tidak serius. Setelah menunggu Julia benar-benar menjauh dari kereta, anak itu menyandarkan tubuhnya ke sandaran tempat duduk dan mulai memasang ekspresi gelap yang tidak seharusnya seorang anak sepertinya miliki. Ia membuka telapak tangan kanan, lalu membuat lingkaran sihir berdiameter setengah meter.
Sejenak mengamati lingkaran sihir yang tercipta di atas telapak tangannya tersebut, Ia mulai menulis Rune dengan teknik huruf cahaya dengan telunjuk tangan kiri. Di waktu senggang tersebut, anak berambut hitam tersebut membuat struktur dengan susunan rumit dan mulai bereksperimen menggunakan pengetahuan yang dimilikinya. Tidak butuh waktu lama, dan bahkan sebelum Julia dan yang lainnya selesai menyiapkan tenda, Odo menyelesaikan eksperimennya dan membuat sebuah lingkaran sihir dengan struktur sihir sangat rumit. Lingkaran sihir tersebut ukurannya mengecil sampai sebesar telapak tangan, memiliki lebih dari seratus Rune dan sirkuit sihir yang saling menghubungkan struktur satu dengan yang lain sehingga membentuk sebuah kesatuan formula.
"Hmm, kurasa ini cukup." Odo menggenggam lingkaran sihir di atas telapak tangan kanannya, lalu lingkaran tersebut meresap masuk ke dalam kulit dan asap putih sekilas keluar. Saat Ia membuka telapak tangan, sebuah lingkaran sihir seperti Rajah berukuran bijih oak terbentuk tepat di tengah telapak tangan kanannya. Lingkaran sihir tersebut adalah sebuah struktur untuk mempercepat laju suplai Mana saat menggunakan sihir terutama kalau sihir yang digunakan menggunakan tangan kanan sebagai media eksekusi akhir.
"Kurasa dengan ini kecepatan penggunaan sihirku meningkat sekitar 20% .... Yah, jujur tidak berguna karena peningkatannya hanya seperti itu, sih. Tapi ..., paling tidak sekarang ...."
Odo keluar dari kereta kayu, lalu melihat ke arah Julia dan yang lainnya yang sudah hampir selesai menyiapkan tempat untuk bermalam. Tenda sudah berdiri dan kursi papa kayu beserta kota bahan makanan sudah diturunkan, hanya tinggal menyiapkan api unggun untuk penghangat dan memasak makanan karena memang bahan yang dibawa kebanyakan bahan mentah.
Julia langsung menghampiri Odo setelah anak tersebut keluar, lalu menggandengnya masuk ke dalam tenda dan memegang tangan kanannya terus karena cemas anak berambut hitam itu keluyuran sendiri. Duduk bersimpuh di dalam tenda berwarna cokelat kulit yang bisa menampung sampai lima orang tersebut, suasana di antara mereka berdua menjadi sangat senyap.
Dari pintu tenda, Minda melongok masuk dan berkata, "Julia ..., Aku dan Lin mau cari ranting tambahan, kayu bakarnya tidak cukup untuk sampai malam .... Gariadin sedang menyiapkan bahan-bahan makannya. Kamu ...." Melihat Julia sedang duduk dan memegangi tangan Odo supaya tidak kabur dan pergi sendiri, Minda langsung paham akan hal tersebut. Saling menatap dengan Julia, Minda mengangguk paham dan langsung pergi.
Melihat tingkat komunikasi mereka berdua tadi, Odo sempat terkejut pikiran kedua orang itu bisa sangat saling memahami seperti itu. "Apaan mereka berdua? Pakai telepati?" pikir Odo seraya melirik datar Julia. Menoleh ke arah gadis kucing tersebut, Odo sedikit memberi tatapan tajam dan berusaha melepaskan genggamannya. Tetapi, pada saat itu juga Julia tambah menggenggam erat tangan kanan Odo.
"Mbak ...?"
"Ada apa, Tuan Muda?"
"Lepaskan ...!"
"Tak akan ...."
Tatapan Odo menjadi datar. Menghela napas seraya memalingkan wajah sejenak, anak berambut hitam itu lekas menyandarkan tubuhnya ke Julia. "Eh ...." Julia sempat terkejut, tetapi setelah itu Ia tidak keberatan. Melihat Odo memejamkan mata dan bersandar padanya, dalam benak gadis kucing tersebut terasa hal aneh yang tak perah dirinya rasakan.
Ia tahu nama perasaan aneh itu, tetapi tak bisa memahami secara penuh dan dirinya sendiri tahu kalau tak boleh ada perasaan seperti itu dalam benak. Sedikit memasang wajah sedih, Julia tersenyum tipis dengan sorot mata yang disipitkan.
"Sesungguhnya ..., perasaan ini ..., memang tak boleh ada .... Apa karena perkembangan tubuhku perasaan ini bisa muncul? Atau karena menghabiskan banyak waktu bersama dengannya? Insting? Jujur ... ku tak tahu apa ini memang sebuah kebahagiaan, tetapi paling tidak sekarang aku terpuaskan sekarang bisa berasma Tuan Muda ...."
Menyingkap rambut poni anak itu yang menutupi kening, wajah Julia mulai terlihat semakin sedih karena sadar akan perasaan yang benar-benar mengisi dirinya. "Tak kusangka aku bisa merasakan hal seperti ini .... Sungguh misteri," gumamnya seraya tersenyum kecil.
Odo mendengar itu, tetapi dirinya tetap pura-pura tidur dan tak membuka mata. Ia tidak paham apa yang dikatakan Julia tersebut, tetapi dirinya sangat tahu kalau hal itu merupakan sesuatu yang sensitif bagi Demi-human tersebut karena nada yang digunakannya terasa sedih.
.
.
.
Beberapa puluh menit berlalu, para pelayan yang pergi mencari ranting tambahan telah kembali dan mulai memasak makanan dengan panci yang dipasang di atas api unggun. Odo dan Julia keluar dari tenda setelah mencium aroma sup yang mulai matang.
Melihat uap masakan keluar dari atas panci dan mencium aroma sedap yang semakin kuat, anak berambut hitam tersebut langsung berjalan cepat ke arah para pelayan dan Gariadin yang duduk di kursi kayu dekat api unggun.
Melihat tuan mereka datang, Minda dan yang lainnya menoleh ke arahnya. "Belum masak loh, Tuan Muda," ucap Minda.
"Hmmm, sudah lapar ...." Odo berjongkok di dekat api unggun, memberi tatapan kelaparan pada panci di atas bara api.
"Sabarlah, Tuan Muda. Nanti juga masak sebentar lagi," ucap Xua Lin yang duduk di sebelah Minda. Imania yang berdiri di dekat Gariadin mengangguk setuju akan perkataan tersebut.
"Hmm ..., aku tunggu, kok." Odo tetap berjongkok di tempat. Tatapannya turun ke bawah, lalu melihat api unggun dengan tatapan tajam seakan tertarik ingin mencoba sesuatu.
Sebelum anak itu melakukan apa yang ada dalam pikiran, Julia mengangkatnya berdiri, lalu menggandengnya ikut duduk di kursi papan kayu berbentuk memanjang, di samping Minda. Anak berambut hitam itu didudukkan tepat di atas pangkuan Julia. Merasa aneh dengan posisi tersebut, Odo hanya memasang ekspresi datar. Tetapi, dirinya tidak mengelak dan tetap anteng dalam tempatnya.
Beberapa menit berlalu kembali, hari berubah gelap, dan sup yang dimasak sudah matang. Sup tersebut sangatlah sederhana, hanya sebuah berisi irisan daging sapi asap dicampur sayuran yang direbus dengan susu. Minda dan Imania mengambil mangkuk kayu, lalu mengisinya dengan sup menggunakan sendok kuah dari kayu. Membagikannya secara memutar dari Odo, mereka semua mendapat bagian masing-masing. Odo turun dari pangkuan Julia, lalu duduk di atas permukaan salju dan menyantap makannya.
Di bawah langit malam tak berbintang yang masih menurunkan salju dengan lembut, mereka berkumpul di dekat api unggun dan menikmati makan malam mereka di alam bebas. Sebenarnya Odo tidak terlalu suka masakan sup karena rasanya kurang kuat, tetapi karena dirinya memang merasa lapar, Ia bahkan sampai tambah tiga kali dan benar-benar menghabiskan sup dalam panci.
Setelah menikmati makan malam, para Shieal memulai jadwal berjaga malam mereka. Pertama yang berjaga adalah Imania dan Minda, sedangkan Gariadin dan Xua Lin mengambil lentera kecil dari gerobak lalu masuk ke dalam tenda dan tidur untuk berjaga nanti di pertengahan malam. Melihat pembagian tugas yang sangat efisien tersebut, Odo mengingat beberapa hal tentang kerja berkelompok dan pembagian tugas yang pernah dipelajarinya di kehidupan sebelumnya.
Memikirkan hal lain, anak itu langsung ikut duduk bersama Imania dan Minda di atas kursi papan setelah mereka mengambil dua lentera minyak untuk penambah pencahayaan, dan tentu saja Julia ikut menemani anak tersebut. "Tuan ..., ayo masuk ke tenda, tidur. Sudah malam," ucap Julia.
Mendengar itu, dalam benak Odo memikirkan hal-hal aneh karena memang secara jiwa dan pikiran dirinya sudah sangat dewasa. Ia memalingkan pandangan, lalu menghela napas. Kembali melihat ke arah Julia dengan tatapan datar, Odo membalas, "Nanti ..., belum ngantuk." Julia langsung terlihat keberatan mendengar itu.
Mengacuhkannya, anak berambut hitam itu melakukan perbincangan dengan Imania dan Minda setelah mereka meletakkan lentera di atas kotak kayu yang sebelumnya digunakan untuk menyimpan bahan makanan. Karena memang Imania tidak bisa berbicara, gadis pelayan tersebut hanya berkomunikasi dengan bahasa isyarat. Melihat itu, Odo membalas komunikasinya dengan bahasa isyarat juga karena memang dirinya sedikit bisa dengan itu. Imania dan yang lainnya sempat terkejut Odo bisa menggunakan bahasa isyarat.Tetapi setelah itu, hal tersebut menjadi tidak aneh karena anak itu terus melakukan pembicaraan.
Hari sudah benar-benar gelap dan hampir tengah malam. Julia semakin terlihat mengantuk, gadis berambut keperakan pendek tersebut memang sudah lelah karena mengurus pendataan barang-barang serta persiapan untuk ekspedisi. Pada tengah malam dan jam jaga berganti, Gariadin dan Xua Lin yang tidur di tenda dibangunkan Minda untuk menggantikan dirinya dan Imania yang berjaga. Semakin tidak kuat menahan kantuk, Julia ikut menggandeng Odo masuk ke tenda dan tidur bersama Minda dan Imania di dalam. Bagian dalam tenda tersebut hangat karena kain lantai terdapat sedikit jerami dan pada dinding tenda memiliki lingkaran sihir yang memancarkan panas. Pencahayaan yang ada hanya berupa lentera kecil yang dipasang pada kerangka tenda bagian langit-langit.
Di tengah para perempuan yang langsung cepat tertidur pulas setelah masuk ke dalam tenda, Odo yang berada di antara mereka dengan mata terbuka tidak bisa tidur sama sekali karena alasan biologis dan psikis. "Sabar Jony ..., kalau kau lepas kendali, kau jadi sampah! Sampah masyarakat ...," pikir Odo dengan mata terbuka lebar.
Tidak bisa tidur akan situasi yang ada, Odo mengingat-ingat kembali apa yang telah dirinya bicarakan dengan Minda, Imania, dan Julia tadi untuk menghilangkan pikiran bersifat negatif yang ada dalam kepala. Dalam pembicaraan kecil mereka, Minda sempat bercerita tentang Hutan Pando yang menjadi tujuan dari ekspedisi mereka sekarang. "Dari pada dongeng, kurasa tadi lebih seperti ceritanya ...," pikir Odo.
Dongeng, atau lebih tepatnya sebuah legenda yang diceritakan Minda berisi tentang seorang penyihir yang telah hidup selama ribuan tahun itu, dan bahkan telah diceritakan sebelum masa Perang Besar. Itu merupakan sebuah kisah kecil tentang cinta dari seorang Witch yang tinggal di masa beratus-ratus tahun yang lalu, dan digadang-gadang merupakan sosok salah satu nenek moyang sihir yang tersebar di benua Michigan.
Pada tanah yang amat jauh, datang seseorang berpengetahuan ke sebuah desa kecil yang konon masih merupakan cikal bakal Kerajaan Felixia. Pertama sosok Witch tersebut datang, Ia menyembuhkan orang sakit yang tidak bisa disembuhkan tabib, mendatangkan hujan, dan bahkan membuat ladang tandus menjadi bisa ditanami kembali. Saking cerdik dan berpengetahuan orang tersebut, para warga yang ada menganggap semua yang dilakukannya adalah sihir, dan saat itulah dirinya dipanggil dengan Witch karena sosoknya yang selalu terlihat mengenakan pakaian kumuh dan rambutnya kusut dan tidak ditata seperti nenek-nenek.
Tetapi, kedatangannya yang merebut simpati orang-orang sampai ke desa-desa tetangga membuat bangsawan yang menjadi Tuan Tanah daerah tersebut iri, lalu memberikan tuduhan palsu kalau Witch bahwa dirinya merupakan utusan iblis. Dibawa ke persidangan dan tanpa bisa membela langsung divonis bersalah, sang Witch diasingkan ke sebuah tempat jauh dari pemukiman, tempat tersebut merupakan Hutan Pando, sebuah hutan yang namanya diambil dari vegetasi pohon yang ada di tempat tersebut.
Waktu sangat lama berlalu, bangsawan yang menghukum Witch telah berganti dan tempat itu mulai terbentuk sebuah Kerajaan. Melihat perkembangan dari dalam hutan, sang Witch mulai tertarik kembali dengan dunia luar dan orang-orang yang tinggal di sana. Pada akhirnya, dirinya melanggar pantangan atas hukuman yang diberikan dan keluar dari hutan. Meski telah berumur ratusan tahun, sang Witch sama sekali tidak menua. Kulitnya masih kencang, parasnya masih muda, tetapi penampilan dan pakaian masih terlihat seperti gembel dan tidak karuan.
Berjalan di tengah kota, dirinya langsung di tangkap oleh para penjaga dan dijebloskan ke penjara tanpa seseorang pun tahu siapa dirinya yang sebenarnya. Bertahun-tahun berlalu, orang yang menjadi kepala sipir di penjara yang mengurungnya sadar kalau perempuan berambut kusut tersebut tidak menua. Kemudian, pada suatu malam kepala sipir menghampiri sang Witch dan bertanya tentang sebab itu karena penasaran. Witch hanya menjawab tanpa protes, dengan detail dan cara-caranya, dan kepala sipir menyimpulkan kalau hal itu adalah sihir.
Tertarik akan hal tersebut, Witch dibebaskan dan dibawa kepala sipir ke kediamannya di sudut kota, lalu mengangkat Witch dan menjadikannya keluarga karena memang dirinya sangat tertarik dengan hal-hal berbau mistis. Witch tinggal bersama dengannya, sampai kepala sipir tersebut menikah dengan orang lain dan sampai mempunyai cucu.
Pada saat pengujung kehidupan kepala sipir, Witch menawarkan keabadian kepadanya. Tetapi, Ia menolak dan pada akhirnya meninggal dunia menyusul istrinya yang pergi terlebih dulu. Saat itulah, sang Witch sadar kalau dirinya mencintai kepala sipir tersebut dan hanya ingin selalu bersamanya. Kesedihan mengisi Witch, apa yang dirinya lakukan untuk kepala sipir memang karena dirinya cinta padanya, dan bukan karena hubungan timbal balik semata karena pria itu memberinya tempat tinggal.
Pada hari pemakanan kepala sipir tersebut, sang Witch tetap terduduk di depan makam kepala sipir bahkan sampai sanak keluarga mendiang sosok yang dicintainya pergi dari tempat. Di kala hujan badai, bersalju, dan panas terik, Witch memeluk nisan kepala sipir di pemakanan umum pinggiran kota.
Pada saat musim dingin di tahun kedua setelah kematian kepala sipir, Witch sadar kalau cinta itu memang sangat membahagiakan tetapi bisa sangat menyakitkan untuk makhluk berumur panjang sepertinya. Memutuskan untuk tidak terlibat kembali dengan orang-orang, Witch kembali masuk ke dalam hutan tempat dirinya pernah dihukum.
Itulah sebuah kisah cinta kecil yang begitu tulus dan tak perlu terbalas. Tersembunyi dalam kegelapan hutan yang sangat dalam, dan perlahan kebenarannya tertutupi gelapnya rimbunnya pepohonan.
Konon setiap malam bulan purnama, terdengar suara nyanyian dengan nada sedih sangat mendalam di dalam Hutan Pando tersebut. Orang-orang mengatakan kalau itu adalah suara dari sang Witch yang masih merana dan merasa kehilangan, dan itu masih sering terdengar sampai sekarang. Dalam akhir cerita tersebut, Sang Witch duduk di atas cabang pohon di dalam hutan seraya berkata, "Ah, syukurlah aku pernah merasa ini. Aku harap bisa bertemu denganmu kembali kelak nantinya. Kuharap bisa lebih dekat denganmu .... Kuingin mendengar suaramu, memegang tanganmu, dan bersandar pada tubuh kaku milikmu itu ...." Di bawah rembulan yang bersinar terang bersama auraora di musim dingin, Witch kembali bersenandung dengan nada sedih yang mencerminkan ini hatinya.
Memikirkan kembali cerita tersebut, Odo benar-benar merasa kalau itu bukan hanya sekedar dongeng. Di dunia dimana ada sihir dan hal-hal diluar nalar ada di mana-mana, keabadian dan kisah cinta seperti itu sangatlah memungkinkan. Sekilas memejamkan mata dan memikirkan kembali, Odo menghela napas dan kembali berusaha untuk tidur.
"Penantian yang amat panjang dan cinta tulus yang begitu pahit," gumam Odo seraya kembali membuka mata lebar-lebar. Anak berambut hitam itu benar-benar merasa kalau cerita itu sedikit tidak asing.