Download App

Chapter 2: RoMH 2 - Dulu

Semuanya dimulai ketika kakekku mati.

Kakek meninggalkan warisannya dengan syarat aku harus menikahi Ariella. Dan warisan akan dibatalkan jika aku menuntut cerai Ariel. Sebaliknya, warisan akan dibatalkan pada Ariel jika Ariel yang menuntut cerai terlebih dahulu. Karena itu, misiku saat menikah adalah membuatnya meminta cerai dariku terlebih dahulu.

Ariel adalah wanita yang dipungut oleh kakek entah dari mana. Kakek menemukannya di jalanan secara tidak sengaja dan merawatnya seperti cucunya sendiri sedari kecil hingga besar. Aku tidak pernah bertemu dengan Ariel karena wanita itu dijaga sangat ketat oleh kakek dan diajari dengan sangat teliti untuk menjadi ahli warisnya.

Singkatnya, Ariel tidak pernah berinteraksi dengan benar dengan anggota keluargaku. Namun dia memiliki banyak teman di sekolahnya dan bahkan memiliki banyak hobi yang menyenangkan.

Entah doktrin apa yang kakek gunakan untuk Ariel. Sampai mati pun, Ariel menganggapku dan keluargaku adalah keluarganya juga. Walaupun kami tidak pernah berinteraksi dengan benar.

Ariel mendedikasikan dirinya dengan benar pada keluargaku. Membantu percintaan keponakan-keponakanku, membantu bisnis sepupu-sepupuku dan menjadi dekat dengan mereka walaupun aku dan mereka penuh dengan permusuhan.

Maka dari itu, saat sidang pengumuman hukuman kematianku, bukan rasa senang yang mereka tunjukkan padaku, namun rasa benci dan permusuhan yang mendalam. Seolah kematian saja tidak cukup untuk membuat rasa benci mereka hilang. Tidak ada air mata yang keluar saat aku mati. Mungkin, jika Ariel masih hidup, dia satu-satunya orang yang akan menangisi kematianku.

Namun, yang aku herankan saat ini adalah, setelah rasa sakit dari pistol yang menyentuh tepat di jantungku, kenapa aku masih bisa bernarasi seperti ini? Dan apa yang terjadi? Kupikir aku sudah mati saat kejang-kejang dan napasku perlahan terhenti. Tapi kenapa sekarang aku merasa sangat nyaman dan merasa tempat yang aku tiduri sangat empuk?

Memberanikan diri, aku lantas membuka mataku perlahan dan sedikit-sedikit aku mulai bisa melihat tembok berwarna cokelat dan atap yang berwarna putih dengan pilar emas di hadapanku. Tempat ini terlihat seperti kamarku. Apa alam kematian berbentuk seperti ini?

Sementara aku merasa heran, aku terus menatap atap berwarna putih itu dengan linglung. Tanganku meraba-raba seprai, namun yang kudapatkan hanyalah rasa tekstur kulit. Ada apa ini sebenarnya? Aku di mana?

"Ahng!" Desahan itu membuatku refleks menoleh ke samping dan mendapati seorang wanita di sana. Apa ini yang dinamakan ... isekai? Aku berada di dunia lain? "Tuan Erick, ini bahkan masih pagi!"

Tuan Erick? Nama asliku?

Ada apa sebenarnya ini?!

Aku terduduk dengan cepat dan cermin rias yang berada di hadapanku menunjukkan bahwa itu adalah diriku. Itu benar-benar aku dengan potongan rambut yang berbeda dan wajah yang lebih muda. Apa ini? Apa aku kembali ke masa lalu? Masa yang mana? Apa Ariel belum menikah denganku saat ini? Wanita yang telanjang di sampingku jelas bukan Ariel dan aku sedari muda adalah bajingan. Jadi, apa mungkin ini adalah saat di mana aku masih bermain-main dengan wanita dan belum bertemu dengan Ariel?

Tok! Tok! Tok!

Aku mengalihkan pandanganku ke arah pintu. Suara di sana menyusul ketukan.

"Erick, apa kau sudah bangun?"

Bajingan. Sampah! Sampah! Sampah! Bagaimana bisa aku lupa jika setelah menikah pun, aku masih bermain-main dengan wanita?! Sialan! Jika ingin membuatku kembali ke masa lalu, kenapa harus kembali di tahun di mana aku sudah menyiksanya dan berselingkuh di hadapannya?! Sial!!

"Erick?"

"A-aku sudah bangun!" responsku terburu-buru. Aku menggigit bibir bawahku kuat-kuat. Rasa sakit di dadaku tidak berhenti berdenyut walaupun aku tahu bahwa di balik pintu itu, Ariel masih hidup dan bernapas.

"Aku ... menyiapkan makanan. Ada di meja. Kau bisa memakannya dengan temanmu."

Tanganku meremas erat selimut yang kugunakan. Hah ... aku merasa aku akan menangis sekarang juga. Kenapa aku harus bangun di tahun ketika aku sudah menyakitinya sedemikian rupa? Akan lebih bagus jika aku kembali ke masa di mana kami belum menikah. Dan aku akan menjadikannya wanita yang paling bahagia di dunia ini.

Aku menutup mataku dan menutup wajahku dengan kedua tangan. Menahan denyutan di dadaku sekaligus menahan diriku untuk tidak membuka pintu dan memeluknya dengan frustrasi. Mengatakan padanya agar memaafkanku dan berjanji padanya untuk menjadikannya wanita yang paling bahagia di muka bumi ini.

"Wanita itu sudah memasak?" Seolah ingin memperlihatkan bagaimana bajingannya aku di masa lalu, wanita yang bahkan tidak kuketahui namanya itu memanggil istriku dengan sebutan yang tidak sopan. Tentu saja, aku sangat sering menghina dan melecehkan Ariel di depan siapapun. Wanita ini pasti tidak hanya sekali dua kali tidur denganku.

Dia menggeliat dengan nyaman dan berkata, "Kita lanjutkan nanti saja, Tuan Erick. Daripada memakanku, lebih baik memakan sarapan lebih dulu."

Sudah kuduga. Dia bahkan pernah sarapan denganku di hadapan Ariel.

Sampah. Sampah.

Aku pantas mengganti namaku menjadi Erick Bajingan-Sampah Thompson.

Aku menghela napas panjang kuat-kuat, namun rasa nyeri itu masih terasa sangat jelas. Bahkan lebih sakit dari sebelumnya. Aku menarik-narik selimut yang kugunakan, lalu menggulung selimut itu di tubuh telanjang wanita itu.

"Tuan Erick? Apa yang kau lakukan?" tanya wanita itu sambil memperhatikan apa yang kulakukan.

Aku mengabaikannya dan menutupi seluruh tubuhnya dari kaki hingga kepala.

"Tuan Erick?!" suaranya yang teredam mulai panik.

Setelah tergulung selimut sepenuhnya, aku mengangkat tubuh wanita itu dengan mudahnya. Berjalan santai keluar kamar dengan wanita itu yang kuangkat di satu tangan.

"Tuan Erick!!" suaranya masih teredam selimut dan dia mulai memberontak saat aku menuruni tangga dan membuat kakinya terkena anak tangga satu persatu. "AW!!"

Sampai di depan pintu, aku melempar gulungan selimut itu dengan santai, sementara orang yang kulempar berteriak dengan tidak santai sama sekali. Aku mengeluarkan dompet yang tadi sempat kubawa dan mengeluarkan semua lembaran uang dari dalam sana. Sementara wajah wanita itu sudah terlihat, aku meraih wajahnya dan membuka rahangnya dengan paksa, membuat mulutnya terbuka lebar.

Dan uang yang sudah kulipat pun masuk ke dalam mulut lebarnya, menahannya untuk berkomentar atau berteriak. Dia melotot, sementara aku berkata, "Aku yakin sudah membayarmu dengan cukup. Aku sudah bosan dengan layananmu, jadi kuharap kau segera pergi sekarang juga. Aku sudah berbaik hati tidak membiarkanmu telanjang di jalanan. Jadi selagi aku berbaik hati dan tidak sombong, kau pergilah jauh-jauh dan jangan muncul di hadapanku lagi. Kau mengerti? Bagus. Kalau kau tidak bodoh, kau seharusnya mengerti. Sayonara!"

Wajahnya sudah memerah karena kesal ataupun malu. Aku mengabaikannya dan menutup pintu dengan keras tepat di hadapannya.

Tidak kusangka ada hari di mana hal ini terjadi. Hal di mana aku merasa jijik menyentuh wanita lain. Rasanya seperti menyentuh kotoran dan aku merasa merinding di seluruh tubuhku.

Baru saja aku melangkah untuk pergi mandi dan membersihkan diri dari debu dan kotoran, langkahku terhenti dan aku diam di sana sejenak. Mataku menatap lurus ke arah di mana wanita itu berdiri. Pakaiannya lusuh, celemek yang kotor bahkan masih terpasang di tubuhnya. Yang menyakitkan mata adalah tanda cekikan di lehernya dan kakinya yang terlihat gemetaran.

Sial. BDSM sialan! Bajingan! Neraka jahanam tidak akan cukup untuk manusia busuk sepertiku!

Ada banyak cara untuk menyiksa istriku ini. Ariel benar-benar tidak pandai di atas kasur. Dan dia bahkan masih perawan saat aku memerkosanya. Dan ketika aku tahu bahwa Ariel masih perawan, bukannya berhenti, aku malah menyiksanya dalam sex dengan cara melakukan BDSM extream. Tanpa melihat kondisi betisnya, aku bahkan tahu jika di sana ada bekas cambukan dariku. Mungkin, sekitar seminggu atau tiga hari lalu aku melakukannya. Namun, pastinya itu belum sembuh.

Yang lebih menyakitkan mata adalah, pelayan-pelayan rumahku tiba-tiba berkumpul semua di sini dengan pekerjaan mereka masing-masing. Mereka semua menggunakan jas seragam pembantu yang menjadi syarat bekerja di rumahku.

Bajingan. Bisa-bisanya penampilan pelayan seperti mereka bahkan lebih layak daripada penampilan istriku.

Aku menelan ludahku dengan susah payah. Inginku segera mengganti pakaian Ariel dengan pakaian mewah dan perhiasan-perhiasan di tubuhnya. Namun, Ariel pasti akan merasakan keanehan dari sifatku.

Tapi tunggu.

Jika aku bereinkarnasi, apa mungkin ...?

Aku mengedipkan mataku berkali-kali dan menatap Ariel dengan alis yang mengernyit.

Apa Ariel juga mungkin bereinkarnasi? Sama sepertiku?

Benar juga. Aku harusnya memikirkan yang satu ini. Tapi, bagaimana cara mengetahuinya?

Aku berpikir sejenak, lalu fokus menatapnya lagi. "Ariel," panggilku.

Seketika, pelayan-pelayan yang tadinya berpura-pura bekerja itu pun berhenti. Ariel juga nampaknya sangat terkejut.

Aku sangat ingin menangis dan menampar diriku di masa lalu, sekarang juga! Ini berarti adalah masa-masa di mana aku mulai bertindak sangat bajingan.

Aku tidak pernah memanggil Ariel dengan namanya.

Aku memanggilnya dengan nama-nama hinaan kreatif yang kubuat. Sampah, perusak pemandangan, pemulung, sialan, jalang, wanita kotor, perempuan tidak berguna dan lain sebagainya. Para pelayan tentu saja terkejut dengan hal ini. Namun, aku hanya menghela napas panjang. Aku tidak akan berhenti. Aku akan tetap memanggilnya dengan layak. "Ariel."

Ariel tersentak kembali, seolah menyadari dia tidak berhalusinasi saat aku memanggilnya dengan layak. "Y-ya?"

Aku menghela napas pelan. "Kemari."

Mata pelayan menjadi lebih waspada. Aku mengabaikannya dan terus menatap tanpa henti pada Ariel yang berjalan ke arahku. Tidak sepertiku yang membenci Ariel, para pelayan hingga sekretarisku yang setia benar-benar berempati dan juga baik pada Ariel. Mereka bahkan membantu Ariel dalam menghancurkan hidupku. Pada dasarnya, mereka membenciku. Membenci sikapku dan berkali-kali menyuruh Ariel berhenti berjuang dan segera bercerai denganku.

Sesat, tapi sesat yang baik. Begitulah mereka.

Ariel sudah berdiri di hadapanku. Jantungku berdegup kencang. Mataku mulai memanas saat melihat wajahnya dengan jelas. Lihat. Ada memar di samping matanya. Tebak, siapa yang melakukannya?

Tentu saja aku. Siapa lagi?

Sialan.

Aku mengangkat wajahku, menatap langit-langit sambil tertawa miris, mencoba menahan air mataku yang akan mengalir jika aku menatap wajah Ariel lagi. "Ah ... Sial."

Sial. Kenapa? Kenapa harus tahun ini? Apa tujuan sebenarnya dari reinkarnasiku?

Aku menarik dan membuang napasku dalam-dalam, mencoba menenangkan diri dan menyimpan kembali air mataku hingga ke dasar. Namun, air mata itu terus berkumpul dan dadaku tidak berhenti berdenyut nyeri.

"Hah ...."

Helaan napas panjang dariku terdengar mulai bergetar. Namun, aku terus melakukannya.

"Erick, ada apa?" tanya Ariel. Aku menatapnya dengan susah payah dan sial, begitu hinanya diriku namun kau tetap bisa menatapku dengan khawatir.

Ariel ... aku membunuhmu. Aku menyiksamu. Aku menghinamu. Kau mati tanpa pernah merasakan kebahagiaan, dan hingga akhir, kau tidak berhenti untuk mencintaiku.

Tapi aku?

Bajingan ini, bahkan tidak bisa memberikan hatinya padamu seperti yang kau lakukan padaku.

TBC

Follow setelah membaca


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login