Download App

Chapter 9: Jangan lupakan Aku

Hari ini Davina pergi ke stasiun kereta untuk mengantarkan Alina pulang ke rumahnya. Sebenarnya Revan masih ingin Mama nya untuk tinggal lebih lama di rumahnya, namun Alina juga memiliki kesibukan sendiri yang tidak bisa ia tinggalkan lebih lama lagi.

Karena Revan ada meeting dengan klien penting nya, maka hanya Davina yang mengantarkan Alina sampai stasiun. Sebenarnya Davina sudah meminta agar mertuanya itu naik mobil pribadi saja, namun waktu yang di perlukan untuk kendaraan pribadi ternyata lebih lama dari pada menaiki kereta seperti biasanya.

Alhasil, Davina pun menuruti keinginan mertuanya untuk memesankan tiket kereta saja dan berhenti memaksa mertuanya itu untuk naik kendaraan pribadi.

"Jaga dirimu baik-baik ya. Jaga Revan juga untuk Mama. Apa kamu mengerti?" tutur Alina sambil memegang tangan Davina dengan erat.

Davina tersenyum dan mengangguk kecil. "Mama tidak perlu mengkhawatirkan ku atau pun Revan. Davina akan berusaha menjaga nya dengan baik," sahutnya.

"Mama beruntung memiliki menantu seperti mu," ucap Alina sambil mengusap lembut puncak kepala Davina.

"Davina juga beruntung memiliki Mama seperti Mama Alina..." sahut Davina.

Wanita cantik itu pun langsung memeluk tubuh Alina dengan erat. Tanpa sadar air matanya menetes karena merasakan kasih sayang tulus dari Mama mertuanya itu.

"Mama akan berkunjung lagi kan?" tanya Davina yang terus menempel pada Alina.

"Bukankah seharusnya Mama yang bertanya seperti itu? Seharusnya kau dan Revan yang berkunjung menemui Mama," jawab Alina tersenyum tipis.

"Ah, Mama benar. Nanti aku akan mengatakannya pada Revan untuk berkunjung ke rumah Mama," sahut Davina antusias.

"Jangan lupa untuk segera memberikan kabar baik pada Mama," bisik Alina.

Spontan Davina langsung melepaskan pelukannya karena sedikit terkejut. Ia tau betul apa yang di maksud kabar baik itu.

Ekspresi wajah Davina langsung berubah seketika. Hingga Alina bisa mengetahui apa yang ada di benak menantu nya itu. Hanya ada dua kalimat, yaitu belum siap.

Suasana menjadi hening sesaat.

"Sudah, keretanya sebentar lagi berangkat. Mama harus segera naik," ucap Alina memecah keheningan.

Davina pun tersenyum dan meraih tangan Alina, kemudian mencium tangan lembut mertuanya itu.

"Hati-hati di jalan, Ma. Davina akan selalu merindukan Mama," ucap Davina.

"Iya. Jaga kesehatan ya, sayang," sahut Alina.

"Kabari Davina kalau Mama sudah sampai di rumah," pinta Davina dengan senyuman yang mengembang di kedua sudut bibir cantiknya.

Alina hanya mengangguk sebagai jawaban, kemudian meraih tasnya dan segera berlalu meninggalkan Davina. Wanita cantik paruh baya itu memasuki kereta yang sudah lumayan ramai penumpang.

Sedangkan Davina masih memperhatikan mertuanya dari batas pengantaran di stasiun tersebut. Hingga beberapa saat kemudian kereta itu pun berangkat.

"Terimakasih, Tuhan. Engkau sudah mengirimkan Mama Alina ke dalam hidup ku. Setidaknya aku bisa merasakan bagaimana kasih sayang seorang Mama yang selama ini hanya bisa aku bayangkan..." gumam Davina sambil tersenyum tipis.

Sesaat kemudian Davina menghela nafas lega dan segera berlalu meninggalkan stasiun.

***

Sebelum pulang, Davina mampir ke swalayan berniat untuk membeli beberapa keperluan yang ia butuhkan di rumah. Davina adalah tipe orang yang mandiri sehingga tidak ingin merepotkan orang lain, bahkan seorang asisten rumah tangga sekalipun.

Saat sibuk memilih beberapa keperluan, tiba-tiba ada yang menyentuh punggung Davina dengan lembut. Davina yang terkejut langsung menoleh kebelakang dan mundur menjauhi orang yang sudah lancang menyentuh punggung nya.

"Apa yang kau lakukan?" geram Davina kesal.

Ternyata orang itu tidak lain dan tidak bukan adalah Dilan yang tiba tiba muncul entah darimana.

"Aku merindukanmu!" ucap Dilan tanpa memperdulikan tatapan geram Davina.

"Apa kau sudah tidak waras? Aku sudah menikah dan memiliki seorang suami. Kenapa kau masih mengganggu ku?" tanya Davina yang sudah terlanjur kesal.

Dilan menatap Davina dengan tatapan yang memelas. Pemuda itu benar-benar tidak menyangka bahwa Davina akan mengatakan hal seperti itu padanya.

"Kenapa kau sangat kasar padaku? Apa kau lupa dengan segalanya? Aku masih mencintaimu Davina!" tutur Dilan dengan lembut.

"Apapun alasan mu, kau tidak seharusnya bertindak seperti ini padaku. Kau harus tau batasan mu!" sahut Davina dengan tegas.

Wanita cantik itu segera beranjak pergi berniat untuk meninggalkan Dilan, namun Dilan menahannya dan menarik pergelangan tangan Davina dengan sedikit kasar.

"Aww!!!" Pekik Davina yang merasa pergelangan tangannya di cengkeram dengan kuat oleh Dilan.

Spontan Dilan langsung melepaskan cengkraman tangan nya dan merasa bersalah sudah menyakiti Davina.

"Maafkan aku. Aku tidak bermaksud menyakiti mu," ucap Dilan.

"Dilan... Kita sudah tidak memiliki hubungan apa-apa lagi, jadi tolong jaga sikap mu," sahut Davina memelas.

"Aku tidak bisa. Aku benar-benar masih mencintai mu Davina. Ku mohon, kembalilah padaku..." Lirih Dilan.

Davina tersenyum masam mendengar pernyataan dari Dilan. Apa semudah itu menurutnya? Menikah bukan lah hal yang bisa di mainkan sesuka hati. Terlebih lagi bagaimana Davina yang sudah tau dengan jelas bahwa keluarga Revan sangat menyayangi dirinya.

Sementara Dilan yang masih berharap pada Davina itu masih terus berusaha untuk membujuk Davina agar mau kembali bersama dengan dirinya. Namun pendirian Davina tetap kokoh untuk melupakan Dilan dan berusaha untuk mencintai Revan.

"Maaf, aku benar-benar tidak bisa!" ucap Davina dengan mantap.

"Kenapa?"

Dilan masih tidak percaya bahwa Davina dengan cepat melupakan dirinya dan segala kenangan yang sudah mereka lalui bersama selama beberapa tahun terakhir ini.

"Harusnya aku yang bertanya padamu tentang hal ini," lirih Davina.

Dilan terdiam sejenak mendengar ucapan Davina. Pemuda itu menyimak dengan tenang apa yang akan di ucapkan oleh mantan kekasihnya itu.

"Kau tau dengan jelas bahwa keluarga mu tidak menyukai ku dalam hal apapun. Aku adalah anak yatim piatu yang di urus oleh paman dan bibi ku. Aku tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari seorang ibu, dan apa kau tega padaku jika aku harus masuk ke dalam lingkaran hitam keluarga mu yang sangat membenciku itu?" sambung Davina yang kini telah meloloskan cairan bening dari pelupuk mata cantiknya.

Mendengar pernyataan yang sangat menyentuh hati dari Davina membuat Dilan mematung tak bisa berkata apa-apa lagi. Dadanya terasa sesak sesaat karena memikirkan apa yang dikatakan oleh Davina itu.

Memang benar bahwa keluarga Dilan sangat membenci Davina, namun tidak dapat di pungkiri juga bahwa Dilan sangat mencintai Davina. Meskipun begitu, Dilan tetap tidak bisa memaksakan kehendak dirinya sendiri untuk memaksa Davina masuk kedalam ruang lingkup keluarganya itu.

"Apapun itu, ku mohon... Jangan menganggu ku lagi!" pungkas Davina dan langsung pergi meninggalkan Dilan.

Dengan tatapan kosong, Dilan memandang punggung Davina yang perlahan menjauh dari ramainya pengunjung swalayan. Hingga sesaat kemudian tangannya mengepal kuat menahan amarah dan segala beban pikirannya.

"Aku tau kau masih mencintai ku, hanya saja kau terlalu takut menghadapi keluarga ku. Apa kau tidak bisa mendampingi ku berjuang untuk meyakinkan keluarga ku? Apa harus kau meninggalkan ku seperti ini? Kenapa kau sangat tega padaku Davina? Aku benar-benar masih mencintai mu. Aku tidak rela kau menjadi milik orang lain, terlebih dia adalah kakak tiri ku sendiri. Ku mohon... Jangan lupakan aku!" Batin Dilan dengan penuh harapan.

***


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C9
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login