"Oke, gue nggak jadi marah sama Sasya."
Brakk.
Naka terlonjak kaget di tempatnya duduk, lelaki itu menatap Sastra dengan pandangan syok, "Lo kenapa anjir? Tadi pergi kenapa sekarang balik lagi pake acara mukul meja?" tanyanya dengan penuh kebingungan.
Sastra mendengus, "Kita harus marah sama Sasya!" serunya.
Naka masih menatap Sastra dengan penuh kebingungan seperti tadi, "Loh ... kenapa bisa? Kan bagus kalau Sasya tuh pendekatan sama cowok. Maksud gue, selama ini dia bergaul sama kita berdua mulu jadi mungkin cowok yang mau deketin takut. Jadinya--"
"Marah! Gue mau marah sama Sasya!" Sastra memotong ucapan Naka dengan nada menggebu-gebu.
Naka menatap Sastra aneh, "Lo nggak cemburu kan, Sas?" tanyanya menebak.
Sastra mendelik, lantas menggelengkan kepalanya dengan kuat, "Enggak, lo jangan ngadi-ngadi! Gue tuh cuma ... ya masa Sasya lebih pentingin cowo yang baru dia kenal itu dan nggak sempetin waktu buat main sama kita? Itu nggak adil banget, itu tandanya dia ... dia mau lupain kita kan?" ujar Sastra menyangkal perkataan Naka.
"Makanya, kita harus marah sama dia!" seru Sastra.
Naka terdiam cukup lama, sebelum akhirnya menggelengkan kepalanya dengan kuat, "Enggak ah, kalau gue mah nggak marah, gue malah seneng. Lo juga harusnya gitu, Sas. Temennya bahagia itu ikut bahagia, bestie."
Sastra menatap Naka sebal, wajahnya tampak memerah saking kesalnya, "Lo harus marah juga biar dia bisa main sama kita!" katanya dengan nada memaksa.
Naka mengernyit jijik, "Kok lo maksa banget sih?! Orang gue nggak mau marah sama Sasya!" serunya ikut kesal.
Sastra mengusap wajahnya kasar, "Terserah lo, pokoknya gue marah," katanya sebelum akhirnya memilih untuk bangkit dan pergi meninggalkan Naka yang ternganga dii tempatnya.
"Itu orang beneran kaya cemburu nggak sih? hm, gue kok mencium aroma friendzone di sini ya bestie," gumam Naka pelan.
***
"Sya, gimana? Udah sampai mana nih? Cerita-cerita kali sama kita," ujar Naka membuka perbincangan di sana.
Sasya mengernyit dahi mendapati pernyataan yang baru saja dilontarkan oleh Naka. Gadis itu berdehem pelan, ia menoleh sebentar ke arah Sastra yang sejak tadi malah diam saja.
"Apanya dah yang sampe mana? Drama yang lagi gue tonton kah? Lo mau ikut nonton juga, Ka?" tanya Sasya polos.
Naka menepuk dahinya pelan, "Rada bego ya emang temen gue yang ini tuh," katanya dengan kekehan pelan.
Sasya menghela napasnya berat, "Ya lagian kalian dari tadi tuh kenapa? hari ini aneh banget kayanya. Gue sampe bingung sendiri."
Pasalnya, sejak tadi dua makhluk di hadapannya ini aneh sekali. Naka senyam-senyum sendiri ketika bersitatap dengannya. Oh, satu lagi, Naka juga bersikap baik kepadanya dan tak memancing emosinya hari ini. Sementara Sastra malah diam saja dan malah cenderung menjawab singkat saja ketika ia ajak bicara. Intinya keduanya begitu aneh hari ini.
Naka terkekeh pelan, "Nggak papa, deng. For your information, gue ga bakal marah lagi kalau-kalau lo susah diajak main ke depannya. Yahh istilahnya gue bakalan memaklumi itu sih, jadi lo tenang aja."
Sasya ternganga, ia mengangguk-anggukkan kepalanya, "Kenapa soalnya? Apa alasan yang bikin lo ini jadi nggak bakal marah lagi ke gue? Padahal lo kemarin marah banget sama gue?" tanyanya dengan nada bingung.
Naka menggelengkan kepalanya dengan senyum lebar bak orang gila saja. Sasya menghela napas berat, memang terkadang stress sendiri menghadapi dua orang di depannya ini.
"Lo kenapa Sas? Dari tadi kaya cuek banget? Lo masih marah perihal yang kemarin kah?" tanya Sasya bingung.
Sastra mengedikkan bahu acuh dan malah fokus memakan semangkok mie ayam di depannya. Mengesalkan, tapi Sasya masih punya kesabaran untungnya. Jadi ya ... mendinglah.
"Tapi Sasya, gue beneran penasaran. Apa lo ini mengalami kisah percintaan dari benci jadi suka gitu? Secara kan awalnya lo benci banget gitu."
Kan, Naka kembali berbicara melantur. Sasya menghela napas berat untuk kesekian kalinya. Gadis itu menopang dagu, menatap Naka dengan sebal.
"Nih ya, Naka, lo jujur deh sama gue coba. Lo tuh kenapa? Dari tadi tuh lo ngomongin apa? Jawab sebelum gue emosi!" Sasya berseru begitu saking sebalnya.
Dan Naka menyengir kecil, membuat Sasya mendelik sebal dan mengangkat tangan yang terkepal.
"Oke-oke santuy, Bos. Jadi gini, tapi lo jangan marah ya kalau gue bilang ini?" Naka membuat perjanjian lebih dulu.
Sasya menganggukkan kepalanya cepat, "Gue nggak akan marah," ujarnya berjanji.
Setelah merasa yakin, maka Naka menganggukkan kepala dengan senyum lebarnya, "Kemarin tuh gue sama Sastra sebenernya ngikutin lo, Sya."
Sasya membulatkan matanya, gadis itu menatap Sastra dan Naka berulang kali, "Kalian gila?! Kenapa kalian ngikutin gue kemarin hah--"
"Lo udah janji nggak bakalan marah ya, Sya," ujar Naka mengingatkan.
Sasya ketar ketir di tempatnya, ia takut kalau Naka dan Sastra sudah tahu bahwasannya ia bekerja part time. Bisa bubar semuanya, pasti Naka akan mengadu pada Arash, dan Sasya akan dipaksa keluar dari pekerjaannya. Tak lupa dengan tambahan ceramah dari Arash.
"Jadi ... kita lihat lo berhenti di--"
"Halo, gengs!"
Ucapan Naka terpotong oleh sebuah suara cempreng khas itu. Yang Sasya begitu kenali. Tentunya, suara itu membuat atensi ketiga sahabat itu menolehkan kepala ke sumber suara. Sasya mendengus sebal melihat sosok gadis yang berdiri sendiri di depannya. Tere, kakak tiri sialannya itu.
"Apa?" tanya Sasya datar, ada nada tak bersahabat di sana.
Tere mengangkat nampan berisi semangkok mie ayam dan gelas minuman itu dengan senyum lebar, "gue boleh gabung, kebetulan nih meja lainnya udah pada full," katanya.
Sasya menatap Tere malas, gadis itu menatap sekitar dan pada akhirnya terpaksa mengangguk. Inginnya sih tatkala Tere mendudukkan diri di sebelah Naka alias tepat di depannya, ia ingin sekali langsung beranjak. Namun, mubazir kalau semangkok mie ayam miliknya yang masih tersisa banyak itu tak masuk ke perutnya. Maka setelah Tere mendudukkan diri, Sasya langsung melahap mie ayamnya. Ingin cepat menghabiskan dan segera pergi dari sana.
"Em ... Sas, bisa nggak lo-"
"Nggak usah ngomong kalau mau duduk di sini," ujar Sastra memotong.
Tere menatap Sastra sebal, gadis itu tetap ngeyel untuk berbicara walau sudah diperingati. Dan Sasya sebisa mungkin mencoba menganggap Tere bak makhluk ghaib yang tak terlihat dan tak terdengar.
"Bisa enggak lo suruh nyokap lo berhenti buat hubungin bokap gue?" tanya Tere pelan.
Tidak bisa.
Kalau sudah menyangkut Bunda, Sasya tak bisa untuk tak mengabaikannya. Maka gadis itu segera mengusap bibirnya setelah mengambil selembar tissue, dan menatap Tere dengan mata yang memicing tajam.
"Maksud lo apa?" tanya Sasya sarkas.
Tere menghela napasnya berat, "Tolong lo bilang Nyokap lo untuk berhenti hubungin Bokap gue. Sadar diri kali, udah mantan istri. Jangan ngerusak hubungan orang."
Sasya mengepalkan kedua tangannya erat, gadis itu berdiri dan menjambak rambut Tere kuat, "Nyokap lo yang rusak keluarga gue anjing!"