"Halo, Dek?"
Sasya menolehkan kepala, dan sesaat kemudian gadis itu segera memalingkan muka saat melihat siapa yang baru saja menyapa. Mereka benar-benar menyebalkan sekali menurutnya. Mencoba acuh, ia lebih memilih untuk melanjutkan makannya.
Sialnya, sekumpulan kakak kelasnya itu malah mendudukkan diri di sekitarnya.
"Udah lama loh kita nggak bertegur sapa. Gimana kabar lo?" tanya sesosok gadis yang wajahnya paling dominan di antara teman-temannya.
Sasya menghentikan makannya, gadis itu menatap sinis sosok yang baru saja berbicara, "Perlu? Gue rasa kita nggak kenal dekat sebelumnya," jawabnya tanpa senyum seperti biasanya.
Sosok tadi terkekeh, "Gue kakak tiri lo kalau lo lupa. Gue tau lo cuma malu-malu. But, i'm okey. Akhir-akhir ini bokap gue sering ngajak liburan ke sana ke mari."
Kedua tangan Sasya mengepal di atas meja, gadis itu memejamkan mata sebentar sebelum akhirnya terkekeh pelan, "Gue rasa gue gak perlu tau hal itu kan, Kak Tere yang terhormat?" tanyanya.
Tere terkekeh pelan, ia menopang dagu, "Bye the way, gue mau nanya, apa lo masih dikasih uang bulanan sama bokap?" tanyanya dengan nada mengejek.
Sasya terdiam sebentar dan menggeleng kemudian, "Gue sama kakak gue nggak butuh uang dari orang brengsek kaya bokap lo. Kita bisa hidup sendiri. Satu lagi, Kak. Jangan ganggu gue dengan basa basi kaya gini. Gue beneran udah ikhlas lahir batin dia jadi bokap lo. Lagian, kalau udah saatnya juga lo sama nyokap lo bakalan ditinggal. Dan gue ... bakal jadi orang yang ketawa paling keras untuk itu."
"Permisi." Sasya buru-buru bangkit, untung saja ia sudah membayar lebih dulu tadi.
Gadis itu menghela napas berat di sela-sela langkahnya. Langkahnya membawa gadis itu menuju toilet. Gadis itu masuk ke salah satu bilik toilet perempuan yang ada di sana.
"Nenek lampir sialan, gue beneran nggak peduli!" seru Sasya kesal.
Gadis itu menatap pantulan dirinya di cermin yang ada di depannya. Matanya memerah. Sekeras apa pun Sasya mencoba untuk tak peduli, tapi kata kata Tere selalu masuk ke dalam pikirannya. Tentang ... ayahnya.
"Tenang, Sya, lo gapapa, dia bukan ayah lo. Dia ayahnya Tere, jadi bukan urusan lo dan nggak pantes lo pikirin, Sya." Sasya beberapa kali menarik napas panjang lantas mengeluarkannya secara perlahan.
Saat dirasa sudah tenang, Sasya segera memutar knop pintu toilet dan membukanya.
"Sya, lo nggak papa, kan, Sya?" Suara Sastra lebih dulu mengalun masuk ke dalam telinganya.
"Sasya, lo diapain sama nenek lampir sialan itu?" Suara Naka ikut terdengar.
Sasya sendiri menghela napasnya berat. Padahal tadi Sastra dan Naka tidak ada di sana. Kenapa bisa tahu?
"Kalian tau darimana dah? Punya mata-mata kan lo berdua?" Sasya malah balik bertanya pada keduanya.
Naka mendengus sebal, "Gue-"
"Naka tadi mau nyamperin lo, tapi katanya liat lo lagi ngomong sama Tere. Pas dia mau nyamper, lo malah ke sini." Sastra memotong lebih dulu ucapan Naka.
Yang pada akhirnya membuat Naka mendelik sebal. Sasya sendiri menyengir lebar dan menepuk dadanya pelan.
"Baik-baik aja gue, kali ini kan nggak ada acara jambak-jambakkan dulu kaya biasanya," sahut Sasya dengan kekehan pelan.
Naka mengernyit dahi, "Lah iya? Kenapa lo nggak jambak itu rambut lampir kaya biasanya?" tanyanya sebal.
Disaat itu juga Sastra menginjak kaki Naka, tak lupa diiringi tatapan tajam dari matanya. Sasya sendiri terkekeh geli. Gadis itu mengibaskan rambutnya ke belakang.
"Rambut gue baru keramas kali ini. Kalau aja tadi ada lo, Ka, gue sodorin rambut lo biar dijambak." Sasya terkikik geli di akhir kalimatnya.
Sastra geleng-geleng kepala, "Balik ke kelas. Besok lagi bawa bekal, ntar makannya di tribun," ujarnya memberi pesan pada Sasya.
Gadis itu mengangguk saja. Ketiganya berjalan beriringan menuju keliar toilet putri. Saat tersadar, Sasya menghentikan langkahnya membuat semuanya ikut terhenti.
"Tunggu, jadi dari tadi kalian di toilet cewek?" pekik Sasya kaget.
Naka memutar mata jengah, "Menurut lo?"
***
Pulang sekolah, Sastra dan Naka hendak mampir ke rumahnya, tapi Sasya meminta keduanya untuk membantunya membukus jaket cowok tadi jadi sebuah kado. Itung itung kejutan, sebab ia rasa ia tak pernah memberi Arash barang atau apa pun itu sebab tak punya uang. Beda lagi dengan lelaki itu yang sering memberinya ini itu.
"Lo nggak gila kan Sha ngasih jaket bekas orang buat abang lo?" Naka sendiri sejak tadi sewot untuk itu.
Sasya menyengir lebar, gadis itu menyandarkan tubuhnya ke kepala sofa milik Naka. Ya, kini ketiganya berada di rumah Naka sebab lelaki itu memiliki kertas kado beserta antek anteknya.
"Ya biarin, toh Abang kan nggak bakalan tahu kalau ini tuh bekas orang. Lagian ini kayanya masih baru, maksudnya belum keliatan kusut kusut gitu." Sasya melirik jaket yang sudah terbungkus kertas kado itu.
Sastra terkekeh geli, ia menepuk pelan puncak kepala Sasya, "Otak kancil," komentarnya.
Naka mendengus dan menggelengkan kepalanya pelan, "Udah jadi tuh, sono balik, gue mau tidur."
Sasya mendelik sebal, gadis itu melemparkan bantal sofa ke arah Naka, "Nakampret emang. Tapi gue emang mau pulang sih, Bunda sendirian pasti di rumah."
Gadis itu segera memasukkan jaket berbungkus kertas kado tadi ke dalam tasnya. Lantas ia menoleh ke arah Sastra.
"Lo pulang nanti, Sas?" tanyanya pada Sastra yang dibalas dengan anggukan kepala pelan oleh lelaki itu.
Sasya menganggukkan kepalanya, lantas segera bangkit dari duduknya, "Mama kemana, Ka?" tanyanya pada Naka.
Naka bangkit dari duduknya, "Gue panggilin bentar," ujarnya pelan.
Cukup lama menanti, sebelum akhirnya Naka kembali dengan sosok wanita paruh baya yang masih tampak terlihat ayu di usianya. Maka Sasya segera mencium tangan wanita paruh baya itu.
"Cepet banget, Sya? Itu minumnya belum abis loh, Sya," ujar Mama Naka.
Sasya menyengir, "Bunda di rumah sendirian, Ma. Takutnya kenapa-napa," jawabnya sopan.
Mama Naka ber-oh ria, dan mengucapkan hati hati untuk Sasya. Setelah itu, Sasya segera keluar dari rumah Naka. Tak lupa ia menyapa Sastra sebentar. Gadis itu terkekeh pelan di sela langkahnya menuju motornya itu.
"Aih, nggak sabar liat Bang Arash buka kadonya. Dia udah pulang dari kampus belum ya? Gimana ya ekspresinya kalau tau ini barang orang? eh, jangan sampe tau lah," ujarnya bermonolog.
Gadis itu segera melajukan motornya dengan pelan. Dan beginilah keseharian Sasya setiap harinya. Bersama orang orang terdekatnya.
Dua sahabat yang peduli padanya, kakak laki-laki yang baik, dan Bundanya yang luar biasa sudah cukup baginya. Tidak perlu tambahan istilahnya. Karena Sasya sudah merasa bahagia bersama mereka.