Download App

Chapter 21: Kerja

Sasya menenteng tasnya dengan malas-malasan. Gadis itu hari ini memang tak membawa motor ke sekolah karena sang Kakak melarangnya. Laki-laki itu memaksa untuk mengantarnya tadi, dengan dalih agar lebih irit bensin. Karena alasannya begitu, tentu saja Sasya mengiyakan. Lagi pula perkataan Arash memang benar. Mereka juga harus lebih berhemat sekarang, dan Sasya cukup mengerti hal itu.

"Mau gue atau Naka yang anter, Sya?" Sastra bertanya, sembari mengimbangi langkah Sasya. Di sampingnya sendiri ada sosok Naka yang juga menatapnya.

"Gue ... kayaknya dijemput abang gue deh." Sasya berujar begitu.

Naka dan Sastra menganggukkan kepalanya paham.

"Kalau gitu gue sama Sastra duluan yaa, mau ke parkiran. Hati-hati sobatku," ujar Naka yang kemudian berjalan lebih dulu.

"Hati-hati." Lantas diikuti Sastra di belakangnya.

Sasya menatap punggung kedua temannya itu. Gadis itu menghela napasnya dengan penuh berat. Sebenarnya ia berbohong. Arash bilang tadi tak bisa menjemputnya, dan memintanya untuk nebeng Naka atau pun Sastra. Namun, tentunya Sasya tak mau. Sebab hari ini selain mencuci motor El, ia kan kerja di restoran milik lelaki itu. Jadi, ia tak mau kalau kedua sahabatnya tahu. Bisa-bisa mereka ngadu ke Bang Arash. Yang ujung-ujungnya, Sasya pasti akan kena ceramah agar berhenti bekerja. Oh, El juga pasti akan ikut kena semprot.

Maka selanjutnya, Sasya melangkahkan kakinya menuju ke pintu gerbang sekolahnya. Gadis itu memilih halte sekolah sebagai tempat berteduhnya kali ini di sela menunggu angkot yang tak kunjung tiba jugaa.

"Ck, lama banget angkot nya, kalau gini gue kan bisa telat." Sasya menghela napas berat sembari bersandar dan dengan kedua tangan yang bersidekap dada.

Mulai membayangkan hal-hal lucu atau romantis yang sering ia temui saat menonton drama. Daripada melompong menanti angkot yang tak kunjung datang? main ponsel pun rasanya malas sekali kali ini.

"Weh angkot angkot!"

Saat suara itu menggema ke gendang telinga nya, maka Sasya segera beranjak dan berlari menuju ke angkot itu. Tapi sayangnya--

"Angkotnya udah penuh, Dek!"

Sial. Sasya menghela napasnya dengan rasa dongkol, gadis itu segera berbalik sebelum kemudian kembali mendudukkan diri di halte.

"Haduh, kenapa mereka pada naik angkot juga sih?"

Tin tin.

Sasya terlonjak kaget, gadis itu lantas segera menegakkan tubuhnya, dahinya mengernyit begitu saat melihat sebuah mobil berhenti di depannya.

"Apaan sih nih orang, klakson-klakson nggak jelas begitu."

Dan pada akhirnya kebingungan Sasya terjawab tatkala kaca mobil itu turun, menampakkan sesosok makhluk yang kini menatap datar ke arahnya.

"Naik!" serunya dari dalam mobil.

Sasya mendengus, gadis itu pada akhirnya memilih untuk bangkit, dan masuk ke dalam mobil.

"Kenapa lo jemput gue?" tanya Sasya kepada sesosok yang tampak fokus mengendarai mobilnya.

"El, jawab woi!" seru Sasya sebal.

El menghela napasnya dengan berat. Lelaki itu menoleh sebentar ke arah Sasya sebelum akhirnya kembali fokus menatap ke depan.

"Gue disuruh Arash buat jemput lo."

Dahi Sasya mengernyit, gadis itu menopang dagu, "masa sih? perasaan tuh tadi Bang Arash minta gue buat nebeng temen temen gue."

El berdehem pelan, lelaki itu lantas mengedikkan bahunya acuh, "Orang emang disuruh Arash. Lagian kan malah enak di lo, gue bisa langsung anterin lo ke resto."

Sasya mengulas senyum lebar, gadis itu menepuk pelan pundak El, "Bener juga sih. Makasih, btw."

Gadis itu lantas duduk dengan tenang di tempatnya. Sesekali ia melirik El yang tampak fokus ke depan.

Drrrt.

Sasya segera meraih ponsel di sakunya tatkala merasakan getaran dari sana. Gadis itu segera membukanya.

Abang Jelek

Dek, kamu jadi pulang sama Naka atau Sastra kan? Abang beneran nggak bisa jemput nih soalnya.

Dahi Sasya mengernyit setelah membaca pesan itu. Gadis itu berdehem, ia melirik sosok El di sampingnya. Sebenarnya, apa alasan yang membuat El berbohong?

***

Sasya berulang kali menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Gadis itu menghela napasnya berat. Sudah jam 8, dan ia takut sekali kalau kalau Arash sudah pulang ke rumah. Nanti ia harus beralasan apa? Apalagi ia nanti pasti akan pulang dengan seragam putih abu-abunya.

Andai saja El di sini, sudah pasti ia diizinkan pulang. Huh, kalau kalau saat seperti ini ia benar-benar sangat membutuhkan El.

"Kak, gue takut dimarahin kakak gue, lagian ini restoran nya juga udah mau tutup bentar lagi kan?" Sasya menatap penuh permohonan pada sosok gadis di depannya. Yang kata El adalah seniornya dalam hal perbabuan ini.

Sosok gadis ber name tag Irene itu bersidekap dada, menatap sebal sosok Sasya yang berdiri di depannya dengan memasang wajah penuh memelas, "Lo liat yang lain udah pada pulang belum walaupun restorannya mau tutup? nggak kan? Mau restoran tutup kalau itu cucian di belakang belum beres, ya kita belum pulang. Aturannya di sini emang gini, kita pulangnya ya bareng bareng. Jangan mentang-mentang lo tuh deket sama bos jadi seenaknya aja."

Sasya terdiam di tempatnya. Walau sakit, namun perkataan sosok gadis di depannya adalah sebuah kebenaran. Ia memang harus seperti yang lainnya yang belum pulang. Sasya ... jadi merasa menyesal sekarang. Tapi tetap saja, ada resah dalam hati hatinya, takut kalau Arash lebih dulu pulang sebelum ia pulang.

Sasya menunduk dalam, gadis itu menghela napasnya berat, "Maaf kak, gue minta maaf."

Irene memutar bola matanya jengah, lantas segera berjalan meninggalkan Sasya yang termenung di tempatnya. Gadis itu menghela napasnya dengan penuh berat. Tak lupa sembari menggigiti jari jari kukunya.

"Gimana ya kalau Bang Arash pulang dan gue nggak ada di rumah jam segini? Dan ... Bunda bilang kalau gue belum pulang dari jam sekolah? Bodoh duh, harusan gue izin dulu mau kerja kelompok." Sasya memegangi kepalanya yang sekarang terasa pening.

Drrttt.

Sasya menarik napas panjang sebelum akhirnya meraih ponselnya, tanpa melihat nama si penelpon, ia langsung mengangkat telepon itu begitu saja.

"Haduhh, Abang maafin Sasya belum balik juga. Inii aku tadi lupa ngabarin kalau Sasya kerja kelompok di rumah temen. Maaf ya Bang, Sasyaa bentar lagii pulang kok ben--"

"Lo dari tadi belum pulang?"

Suara itu memotong Sasya, membuat Sasya sendiri tersentak kaget. Gadis itu segera melihat siapa nama yang tertera di layar ponselnya. El.

Sasya menghela napasnya dengan lega, lantas gadis itu segera kembali meletakkan ponselnya di telinga, "El, gue kirain lo Abang gue, astaga," jawabnya pelan.

"Lo belum pulang dari resto berarti?" tanya El di seberang sana.

Sasya menganggukkan kepalanya heboh, "Iya gue belum pulang, El. Tolong tanyain Abang gue dong dia udah pulang apa bel--"

Ucapan Sasya terpotong tatkala seseorang merebut ponselnya begitu saja, dan mematikan sambungan teleponnya.

"Gini ya? setelah nggak gue kasih izin lo malah lapor ke bos?"

Si pelaku tentu saja Irene, siapa lagi?


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C21
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login