Download App
Sasya dan Semestanya Sasya dan Semestanya original

Sasya dan Semestanya

Author: Intanworld

© WebNovel

Chapter 1: Paginya Sasya

"Sasya bangun!" gadis dengan piama bergambar kodok itu bergumam tak jelas, matanya sama sekali tak terbuka, ia malah meletakkan wajahnya ke meja makan dengan posisi menyamping.

"Sasya Kirania Falisa!"

Tetap tak mempan.

Dengan rasa dongkolnya, Arash menyapit kuat hidung sang adik. Sasya jadi kesulitan bernapas, gadis itu tentunya merasa terganggu dengan itu.

Tak kuat menahan cukup lama, Sasya bangun lalu menyandarkan punggungnya ke kursi, matanya menatap kesal sang kakak.

"Ampun deh, punya abang nggak bener kaya gini," racaunya dengan mata yang tampak sayu

"Adik sendiri kok mau dibunuh," lanjutnya.

Arash menghela napasnya dengan berat, "udah mau jam setengah tujuh Sasya, dan lo malah tiduran di sini!"

"Wong aku keluar jam lima, kok."

Arash menoyor kepala sang adik dengan pelan, "Iya, tapi tidur lagi sampai jam segini!"

Sasya sendiri mengedikkan bahu acuh, gadis itu berdiri dengan mata sedikit terpejam.

"Sasya belum mandi?"

Sasya menoleh, ia melangkah gontai menuju sang Bunda yang terduduk di kursi roda.

Dengan manja, gadis itu memeluk sang Bunda dari belakang dengan wajah yang ia tenggelamkan di ceruk leher sang Bunda,  membuat Arash mencibir pelan di tempatnya.

"Males sekolah, Bunda. Pengen nemenin Bunda di rumah aja," ujarnya dengan nada manja.

"Bilang aja mau tidur, mandi nggak lo?"

Sasya sontak langsung berlari kala saudara satu satunya itu hendak melemparkan sendal ke arahnya. Benar-benar menyebalkan, sangat menyebalkan.

Falisa sendiri tertawa pelan, walaupun ia tak bisa melihat langsung tingkah kedua anaknya, tapi tetap saja mendengar ancaman si sulung dan langkah tergesa dari putri bungsunya benar-benar hal yang menggelikan.

Arash geleng geleng kepala dan kembali memakai sendal rumahnya, ia tersenyum dan melangkah menuju ke sang Ibunda. Mendorong kursi roda Bundanya ke meja makan.

"Kamu nggak kuliah, Bang?" tanya Falisa.

"Nanti, Bun. Jam siang," jawab Arash membuat Falisa mengangguk.

"Hari ini nggak usah kerja bang, istirahat aja."

Arash berdehem pelan dan mengusap tengkuknya, "Nanti Arash tetep kerja, Bun," jawabnya.

Falisa menghela napas pasrah, putranya itu tak pernah mau menurut jika perihal kerja.

"Jangan keras-keras sama Sasya, Bang."

"Bunda, ini itu namanya perhatian."

"Ciee perhatian sama gue." Sasya tiba tiba datang dengan langkah riang seperti biasanya. Ia mendudukkan diri di samping sang kakak.

Arash sendiri menatap intens sang adik yang sudah berseragam putih abu-abu, matanya bergerak menatap dari atas sampai bawah, lelaki jangkung itu mengerutkan dahinya.

"Cepet banget, Sya. Lo mandi bebek ya?"

"Yakali disamain sama bebek," ujar Sasya ketus.

"Mandinya cepet banget, belum bersih, lo kaya ga mandi. Sana mandi lagi!" seru Arash kesal. Pasalnya, kakak Sasya yang satu itu menomor satukan kebersihan sebagian dari iman.

Sasya sendiri sering bodo amat dengan itu. Seperti sekarang, gadis itu mengedikkan bahu acuh, ia bergerak mengambilkan nasi beserta lauk pauk untuk sang Bunda dan dirinya, tidak untuk sang kakak.

"Nih Bunda, Sasya suapin ya!" Sasya mengarahkan sendoknya ke mulut sang Bunda.

"Aaaa Bun." Sasya mengerucutkan bibirnya karena sang Bunda tak kunjung membuka mulutnya.

"Bang, udah jam berapa? kok Sasya belum berangkat?" Arash segera mengecek jam tangannya, matanya menatap penuh ketajaman ke arah Sasya.

"Udah jam 7, Sya!" Sasya sontak menjatuhkan sendoknya kembali ke piring, gadis itu berlari kocar-kacir terlebih dahulu sebelum mengambil tasnya di kamar.

"Bunda, Sasya berangkat dulu."

Dengan langkah tergesa, ia menyalami sang Bunda lalu pergi keluar dari rumah itu. Meninggalkan sang kakak yang menggeleng pelan atas kelakuan sang adik.

"Sasya udah berangkat, Bang?"

"Udah ngacir, Bunda. Anak gadis Bunda nggak pernah berubah, tetep pecicilan," jawab Arash membuat Bundanya terkekeh pelan.

"Sayang banget, Bunda nggak bisa liat langsung pertumbuhannya." ujar Falisa membuat Arash memejamkan matanya sebentar.

***

Sasya melajukan motor maticnya dengan kecepatan di atas rata-rata, salip sana salip sini. Tak peduli pada lampu yang masih memperlihatkan lampu merah.

Gadis seperti Sasya, macetnya Jakarta aja diterjang, apalagi kali ini jalanan benar-benar tidak seperti biasanya yang macetnya minta ampun, alias ia bisa melajukan motornya dengan lancar.

Tindakannya ini benar-benar membahayakan dirinya dan orang lain. Jika saja Arash itu tau, pasti kupingnya sudah terasa panas karena ocehan sang kakak. Tergesa boleh, melanggar aturan jangan, dan utamakan keselamatan. Intinya itu, tapi Arash pasti akan mengomelinya sepanjanh itu.

"Oalah bocah, naik motor kok kaya orang kesetanan!" Sasya sudah beberapa kali mendapat makian dari beberapa pengguna jalan, tapi benar-benar seperti tutup telinga seolah tak peduli.

Karena tujuannya sekarang nomor satu. Ia bisa cepat sampai di sekolah.

"ADUH, MINGGIR DONG!"

Brakk

Sasya menggigit bibirnya kala sosok pemuda yang tampak gagah dengan kemeja hitam lengan pendek itu terjatuh tertimpa motor milik pemuda itu sendiri. Ulah siapa? jelas Sasya. Gadis itu turun dari motornya, bukannya membantu malah berkacak pinggang memasang tampang judes.

"Lo jangan berhenti di pinggir jalan dong!"

Lelaki dengan helm yang masih melekat itu menoleh, menatap kesal ke arah Sasya.

Tanpa rasa peduli, Sasya membiarkan lelaki di depannya bangkit sendiri. Lelaki itu membenahi posisi motornya kembali seperti semula. Kemudian bersedekap dada, menatap datar gadis di depannya.

"Bisa bawa motor?" tanya sosok pemuda jangkung itu.

Sasya menaikkan dagunya sombong dengan tangan yang masih berkacak pinggang, "Ya bisalah, udah ngelebihin Valentino Rossi."

"Motor gue lecet, ganti." Sasya mengikuti arah telunjuk sang pemuda itu, melihat bagian belakang motor sport hitam itu yang memang sedikit lecet. Tidak, lebih cocok dikatakan penyok gara gara ia tabrak.

"Bukan salah gue atuh, lo sendiri yang salah ... markir motor kok di tengah jalan. Lagian itu bagian depan motor gue juga penyok kaya gitu!" sahut Sasya ngegas.

"Mata lo siwer? ini gue parkir di pinggir jalan!" sahut lelaki itu tak kalah ngegas.

"Pokoknya gue ga mau ganti! Udah ya, gue udah telat, tolong jangan dibikin telat dong." Sasya segera berbalik dan kembali ke atas motornya sendiri.

Sementara lelaki di depannya mengabaikan Syasya, ia menatap jam tangannya lalu mengacak rambutnya kasar.

"Ah, lo bikin gue telat sialan!" teriaknya dengan nada frustasi.

"Yaelah emang udah telat dari tadi kali, gue telat tiap hari juga biasa aja." Sasya menatap lelaki itu jengah, gadis itu hendak melajukan motornya kalau saja lelaki berkemeja itu tidak berdiri di depannya dan merentangkan tangannya.

"Bocah edan," maki Sasya kesal.

Kalau saja ia tidak mempunyai perikemanusiaan, Sasya sudah tabrak lelaki sialan itu.

"Gue nebeng, bisa? Motor gue dari tadi mogok," ujar lelaki itu.

Sasya mengernyit, lantas menatap lelaki di depannya dengan kekehan pelan, "Bayar lima puluh ribu, naik aja," ujarnya sumringah.

Lelaki itu berdecak sebal, "Fine."

Karena berdebat dengan Sasya hanya membuang-buang waktu saja. Lelaki itu segera menitipkan motornya ke salah satu warung yang katanya lelaki itu sudah mengenal dekat pemiliknya. Lantas segera mendudukkan diri di belakang Sasya.

"Mau kemana ini?" tanya Sasya.

"Universitas Ganesha."

Sasya mendelik, "Itu kan ... kampusnya abang?" gumamnya pelan.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C1
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login