Download App

Chapter 2: Sekolah Sasya

Sasya terlambat sesuai dugaannya. Karena ia mengantarkan lelaki tadi lebih dulu. Tapi tidak apa, sebab lumayan, Sasya bisa dapat uang lima puluh ribu karena itu. Tapi masalahnya sekarang, bagaimana Sasya bisa masuk ke dalam sekolah bersama motornya ini?

Gadis itu tampak menghela napasnya dengan penuh berat. Matanya melirik ke sana ke mari, mencari sosok satpam yang tak nampak di indra penglihatannya.

"Gimana ya cara masuknya?" gumam Sasya pelan.

Gadis itu menghela napasnya berat. Bisa saja ia bolos, tapi ia takut sekali kalau ketahuan Arash seperti beberapa waktu yang lalu. Kemarahan lelaki itu lebih menakutkan dari bundanya sendiri.

"Gimana nih?" ujarnya lirih untuk yang kesekian kalinya.

Sasya menggigiti buku jari jarinya, "Lewat pager belakang aja apa ya? Ntar motornya nitip sama warung sana," monolognya.

Mau tak mau, Sasya harus begitu. Gadis itu segera menaiki motornya kembali dan hendak melajukannya ke warung yang ada di depan sekolah. Hanya saja, sosok satpam sekolahnya meneriaki namanya membuatnya segera menghentikan motornya sendiri.

"Neng Sasya mau bolos ya?" tebak sosok satpam itu di balik gerbang sekolah.

Sasya menyengir lebar dan menggelengkan kepalanya pelan, "Enggak, Pak. Motor saya tadi mogok di jalan. Boleh saya masuk, Pak? Saya anti bolos, Pak, prinsip saya lebih baik telat daripada harus bolos."

Sosok satpam tadi menganggukkan kepala, lantas segera membukakan pintu pagar untuk Sasya. Maka dengan raut sumringah, Sasya segera masuk dan mengucapkan terima kasih. Gadis itu segera berlari menyusuri koridor setelah meletakkan motornya di tempat parkir.

Ia berjalan cukup tergesa, dan segera masuk ke dalam kelasnya. Napasnya tertahan tatkala melihat siapa yang ada di kelas.

"What the hell?" Sasya melongo.

Gadis itu lantas menatap ke arah dua sosok sahabatnya, "Jamkos?" tanyanya.

Dan tatkala keduanya menganggukkan kepala, gadis itu menghela napasnya berat. Kalau saja tahu jamkos, tak akan ia buru-buru sampai menabrak motor orang tadi. Mau tak mau, ia harus ikhlas. Lagi pula sudah kejadian. Maka Sasya segera berjalan menuju bangkunya. Gadis itu mendudukkan diri di samping salah satu sahabat perempuannya.

"Ck, gue udah gugup gugup sampe nabrak motor orang, taunya jamkos? Kenapa kalian berdua nggak ngabarin gue sih?!" Dan ujung-ujungnya, Sasya tetap ngomel. Tak lupa melampiaskan kekesalannya pada kedua sahabat karibnya.

"Kita kira lo nggak berangkat, Syaa. Lagian kerjaan lo telat mulu." Naka buka suara, lelaki itu geleng-geleng kepala atas tingkab temannya yang satu itu.

"Iya, salah lo tau, Sya. Kenapa nyalahin kita? Memang bocah aneh." Sastra, lelaki ikut bersuara, menimpali Naka.

Sasya mencebik kesal. Gadis itu menarik napas beberapa kali, lantas menepuk dadanya pelan, "Sabar-sabar, orang sabar biasanya mudah dapat uang."

Naka dan Sastra saling tatap, Sasya sendiri segera menatap keduanya, "Cara biar ga telat gimana dong? Capek gue telat mulu. Dimarahin Bang Arash iya, nabrak motor orang lagi."

"Salah lo sendiri, drakoran sampe jam dua pagi tiap malem, ya pasti telat sampe mampus. Gue kalau jadi bapak lo ya, Sya, udah gue sita itu laptop lo tiap malem," ujar Naka sebal. Lelaki itu paling sebal kalau ingat bahwa Sasya telat ya karena sering nonton drakor tiap malam. Hobinya begadang.

Sasya mencebikkan bibirnya kesal, gadis itu menendang pelan kaki Naka yang ada di bawah meja, "Gue tau kok gue gak punya Bapak. Iya iya lo mah masih punya Bapak," ujarnya sebal.

Naka mengusap wajah Sasya kasar, "Gue ga ada nyebut bokap lo udah ga ada ya, ngadi ngadi," sebalnya.

Sastra yang duduk di samping Sasya terkekeh pelan, lelaki itu menepuk pelan puncak kepala sang sahabat. Sudah jadi kesehariannya jadi penengah antara Naka dan Sasya yang tiap hari adu mulut kalau bertemu. Tapi kalau sehari ga ketemu, katanya rindu.

"Udah, ga usah bahas ke arah sana, nanti nangiss," ujar Sastra lembut.

Sasya tersenyum lebar, gadis itu menyandarkan kepalanya ke bahu Sastra. Ia memeluk lengan Sastra.

"Emang, sahabat gue yang paling pengertian mah cuma Sastra. Lo nggak," ucap Sasya menatap Naka dengan penuh permusuhan.

Naka mendengus, menatap Sasya dengan penuh sinis, "Gue nggak pernag bilang gue mau jadi sahabat lo!" serunya sebal.

Sastra menghela napasnya berat. Lelaki itu segera menutup mulut Sasya yang hendak terbuka, membalas perkataan Naka.

"Jangan dilanjut, mending lo salin pr sejarah lo. Gue tau lo belum." Sastra meraih buku sejarah lelaki itu dan memberikannya pada Sasya, yang langsung gadis itu terima dengan penuh sumringah.

Naka yang melihat itu geleng-geleng kepala, "Sya, lo tuh satu satunya cewek di antara kita. Harusan mah gue sama Sastra yang males-malesan. Lo yang rajin, yang nyontekin kita gitu," ujarnya mengomentari.

Sasya menatap Naka sebal, "Diem, Sastra yang nyontekin aja ga masalah, kok."

Gadis itu menyibukkan diri untuk mencari buku tugas sejarahnya dalam tas. Namun, dahinya mengernyit tatkala melihat sebuah jaket dalam tasnya.

"Ini kan jaketnya cowok tadi ya?" gumam Sasya pelan.

Sastra menoleh, lantas meraih jaket laki laki di tangan Sasya, "Jaket siapa? Jaket Bang Arash?" tanyanya bingung.

Sasya menghela napasnya berat, "Ini jaket cowo yang tadi motornya gue tabrak. Kok bisa di sini ya?" tanyanya sebal.

Sastra menghela napasnya dengan berat, "Modus palingan, gausah balikin, biarin."

Sasya tersenyum sumringah, lantas menganggukkan kepalanya dengan kuat, "Iya, bener juga. Lebih baik ini jaketnya gue kasih ke Bang Arash," ujarnya.

Sastra mengangguk mengiyakan.

Naka yang sejak tadi mengamati geleng geleng kepala di tempatnya, "Cemburu bilang aja sih," cibirnya menatap ke arah Sastra.

***

Sasya menghela napasnya berat. Hal paling menyebalkan itu saat ia makan di kantin sendirian. Alias tidak bersama Sastra atau Naka. Ya, karena temannya hanya dua orang itu. Sasya sama sekali tak punya teman perempuan di sekolahnya.

Alasannya mungkin karena ia dan mereka tak satu frekuensi. Maksudnya, Sasya tak suka make up, tak suka idol korea yang kebanyakan di sekolahnya suka. Yang terakhir, karena Sasya dekat dengan Naka dan Sastra yang memang setampan itu. Banyak kaum hawa yang memang menyukai keduanya, dan mungkin saja mereka iri pada Sasya yang bisa dekat dengan keduanya dengan mudah.

"Gue ngenes banget sendiri gini. Harusan gue ikut main basket sama duo cecunguk itu," ujar Sasya pelan.

Gadis itu melirik sekitar, lantas kembali fokus memakan mie ayam di depannya. Toh memang Tuhan hanya menakdirkan Naka dan Sastra jadi temannya. Jadi ya, Sasya benar-benar tak terlalu berpikir keras untuk mendapatkan seorang teman perempuan. Ia tak butuh itu. Sastra dan Naka sudah lebih dari cukup.

"Halo, Dek?"


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login