"Cepat sembuh untuk hati yang tak mau mengecewakan walau terus dikecewakan."
***
Sembari melangkah menyusuri koridor, Zara bersenandung pelan, kedua tangannya menggenggam erat tali tas punggungnya. Sebuah headseat putih menggantung dan menancap di telinganya. Lantunan lagu you are the reason--calum scoot mengalun indah di gendang telinganya.
"And I'd climb every mountain ... and swim every ocean ... just to be with you ... and fix what I've broken ... Oh, 'cause I need you to see ... that you are the reason." Zara mengakhiri senandungnya dengan senyum manis yang mengembang.
Ya, senyum manis untuk mengawali hari yang sudah pasti tragis. Biasalah.
Namun, baru juga sedetik, senyumnya memudar. Tubuhnya terpaku dengan kaku, sebelum akhirnya Zara langsung menundukkan kepala. Ia memilih untuk berbalik, tak apa ... masih ada jalan menuju kelasnya selain kelas ini.
Grep.
Tubuhnya menegang, jantungnya berdetak tak karuan, apalagi saat salah satu tangan mereka menarik rambutnya kuat-kuat dari belakang. Ia meringis kuat.
"Mau kemana, Zara?" Kalimat yang dipaksakan dengan nada lembut itu malah terdengar mengerikan di telinga Zara.
"Kalau gue bilang balik badan, lakuin!" Masih suara yang sama, suara Kakak kandungnya--Citra Ayu Lestari.
Mau tak mau, Zara harus berbalik. Gadis itu mendongak, memberanikan diri menatap ketiga gadis di depannya. Citra dan dua sahabatnya, Zeva dan Pamela.
"A-ada a-pa, Kak?" Zara memaksakan senyum ramahnya, walau ia sudah menduga apa yang akan terjadi ke depannya.
Ketiga gadis di depannya sama-sama tersenyum lebar. Oh, tak lupa dengan kedua tangan masing-masing yang bersidekap dada dengan memasang raut angkuhnya.
"By the way, lo pake headseat warna putih begitu jadi kaya tai cicak gitu. Paham nggak sih, guys? Item putih," celetuk Zeva.
"Sebelas dua belas sama kopi susu juga kayanya." Pamela menyahuti.
Setelahnya, seperti yang Zara duga, ia ditertawakan. Bukan hanya geng The Queen, siswa siswi di sekitarnya pun ikut mengeluarkan gelak tawa. Dan Zara selalu membencinya. Ia benci tawa mereka yang tertuju untuknya.
"Kakak ad-a ke-perluan apa la-gi. A-ku ma-u ke kelas," ujar Zara sembari menunduk dalam.
Citra tertawa pelan, ia mengode kedua sahabatnya dengan alis. Dua babu Citra langsung mengapit lengan Zara. Menarik paksa gadis itu, membawanya sesuai tujuan mereka. Citra sendiri baru melangkah setelah Zara dibawa berlalu. Ia bertepuk tangan sebentar.
"Kalian tunggu pertunjukannya, oke, gengs?"
Dan semua siswa siswi paham apa yang akan terjadi ke depan. Semua sudah berjalan seperti biasa, seolah tak peduli jikalau ada sosok yang merasakan sakitnya.
Karena Zara ... tak sepenting itu bagi mereka. Seperti layaknya debu yang dianggap angin lalu. Begitulah.
Tanpa sengaja, Zara menangkap sosok kakak lelakinya yang juga menatapnya. Ia mengangkat tangannya, minta tolong. Namun, seperti biasa dan sesuai yang ia duga ... Agra--Kakaknya akan lebih memilih memalingkan muka.
Karena sampai kapan pun, Agra lebih menyayangi Citra. Meskipun lelaki itulah yang menggagalkan usaha bunuh diri yang ia lakukan di danau tempo lalu.
***
Zara sebisa mungkin untuk menahan tangisnya, ia sejak tadi sudah memberontak. Tapi tenaganya tak kuat melawan tenaga tiga orang. Teman-teman Citra mendandaninya semacam boneka yang bisa dimainkan kapan saja. Dengan modal make up yang mereka bawa, Zara didandani sedemikian rupa.
Pamela tertawa, "Astaga naga, didandani tetep aja jelek, iyuh," ia mengernyit jijik setelahnya.
Zara terbatuk saat Zeva menyodorkan lipstik ke lubang hidungnya, "Kak, jangan!"
Percuma Zara berteriak berulang kali, kalau pada akhirnya ia tetap akan jadi boneka. Benda mati yang patuh diapa-apakan oleh pemiliknya.
The Queen mencoret asal wajahnya sesuka hati. Zara tak bisa apa-apa saat tubuhnya ditarik paksa untuk keluar dari gudang sekolah yang jadi markas mereka. Ia dibawa ke tengah-tengah aula utama. Banyak para siswa siswi menyaksikan kebodohannya yang mau-maunya dipermalukan.
Citra mendekatkan bibirnya ke telinga Zara, "Turutin kata gue, goyang sekarang juga atau gue laporin Mama sama Papa tentang nilai-nilai sekolah lo yang kebanyakan telur ceploknya itu."
Zara tak bisa lagi menahan air matanya, kedua tangannya mengepal erat. Lagi-lagi ia dipermalukan di depan banyak masa.
Sudah dibilang dari awal, Zara sangat benci ditertawakan banyak orang.
Citra kembali mendekatkan bibirnya ke telinga Zara, "Pilih aja mah, mau gue laporin atau ... permaluin diri lo sendiri."
Zara memejamkan matanya kuat, ia melangkah maju. Air matanya kembali menetes membasahi pipi.
Dan untuk yang kesekian kali, Zara memilih untuk mempermalukan diri daripada mengecewakan kedua orang tuanya.
Saat musik menggema, Zara dengan penuh keraguan menggoyangkan pinggulnya dengan bulir air mata yang terus mengalir. Saat itu, dalam hati ia selalu berharap guru cepat datang dan membubarkan semuanya.
"Mantapp, Biduankuuu! Tarikk sisttt, mumpung guru lagi pada rapat ahay!" Pamela berteriak.
Bahu Zara merosot, ia kecewa. Gadis itu merasa direndahkan tatkala para siswa laki-laki mengerubunginya. Memepetnya sedemikian rupa.
"Terima sawerannya, Zara! Uangnya buat kita! Ya nggak, guys!" Kali ini Citra-lah yang berteriak.
Zara menggeleng kuat, ia menghentikan gerakannya. Gadis itu menutup telinganya kuat-kuat dengan tangisan yang mengalir deras.
"ZARAA, TERIMA SAWERANNYA ATAU GUE LAPORIN, HAH?!" teriak Citra.
Zara membuka mata, tubuhnya bergetar amat sangat hebat saat ini. Dengan ragu, tangannya terangkat untuk menggapai uang lima ribuan itu.
"Kak Kai, tolongin Zara," gumam Zara menyebut almarhumah Kakak tertuanya.
"Kak Kai," gumamnya memanggil untuk kesekian kalinya.
"Heh, berhenti nggak kalian?! Faedahnya nyawer si buruk rupa begitu apaan sih?!"
"Enek yang ada, bodoh!" teriak sosok yang sama.
Zara melempar uang yang tadi diberi beberapa siswa, sebelum akhirnya segera berlari saat kelompok siswa siswi yang mengerubunginya sudah mulai merenggang. Tidak, ia tak pergi dari sana. Hanya sedikit menjauh.
Bodohnya, Zara malah menghentikan langkahnya di samping Zayn. Dan hal itu sukses membuat Zayn mengangkat salah satu alisnya.
"Ngapain lo berdiri di sini? Berharap banget mau gue lindungi?" Zayn mengulas senyum mengejek.
Zara mengepalkan kedua tangannya, ia melirik Citra yang mendelik ke arahnya sebentar, sebelum akhirnya menatap Zayn penuh harap. Hanya Zayn-lah harapannya.
"Tolong, Kak, kali ini aja," bisik Zara.
"Kalau nggak, nanti Kak Citra laporin nilaiku ke Mama dan Papa," lanjutnya masih berbisik.
Mengingat Zayn tahu jika ia adalah adiknya Agra dan Citra, maka Zara tak ragu untuk meminta pertolongan.
"Oke." Zayn menepuk pelan puncak kepala Zara.
Zara tersenyum lebar sembari mengusap air mata di pipinya. Ia diam saja tatkala Zayn berjalan maju ke arah Citra dan dua temannya.
"Cit, kok lo cuma dandanin dia kaya gitu aja? Harusnya yang lebih wow lagi dong. Pakein pakaian minim kek, biar yang nyawer tambah banyak."
Senyum Zara memudar. Ada rasa perih di hatinya. Zayn menganggapnya serendah itu. Jantungnya berdegup kencang tatkala Citra dan dua temannya menghampirinya. Menyeretnya paksa sedemikian rupa untuk mengabulkan permintaan Zayn.
Zara menatap Zayn penuh kecewa. Demi apa pun, Zara tambah membencinya. Lelaki bejat yang sayangnya adalah cinta pertamanya.
Dan bodohnya tadi, Zara masih bisa berpikir jika Zayn akan membantunya.