Download App

Chapter 200: ●Prajurit Malang

Tak ada yang pernah memperkirakan datangnya kepedihan, sebab tak seorangpun sudi membayangkannya. Kesengsaraan seperti semburan meteor yang mengejutkan, meninggalkan jejak panjang di belakang jalan kehidupan.

Nami memeluk Aji dan Usha di atas pepohonan.

Mereka telah tiba di Girimba, wilayah hijau dengan gerbang dua pohon kapuk randu raksasa yang menandai. Panglima Kavra dan Hulubalang Sin memerintahkannya berlindung di Wanawa, tanpa pernah menoleh kembali ke Gangika. Giriya menyebut mereka budak pengkhianat, Gangika menyebut mereka perusak hubungan antar wangsa, entah apa yang akan disematkan Wanawa pada Nistalit.

"Nami? Mereka siapa?" bisik Aji, terpukau.

Barisan ribuan prajurit berbaju hijau bergerak bagai melayang. Rambut panjang nan halus di belakang punggung, tersemat daun di tali pengikat. Wajah mereka tegak, memandang tajam ke depan dengan kesungguhan. Dentingan musik pengiring dinyanyikan, bukan suara syahdu, lebih menyerupai alunan genderang perang. Pasukan terbagi dalam kelompok-kelompok sesuai keahlian dan persenjataan.

"Apakah mereka pangeran dan putri?" tanya Usha, matanya berbinar ingin tahu.

"Bukan," bisik Nami. "Ssst, kita jangan banyak cakap."

Bayangan Janur tampak memimpin di depan. Nami mengenali sulaman jubah terluarnya, gaya rambut dan raut mukanya. Wajahnya tampak tegang dan tak ramah. Gadis itu menghela napas panjang. Bagaimana ia bisa meminta tolong pada Janur saat seluruh penghuni wangsa Akasha tampak sangat sibuk menyambut sesuatu?

"Nami," bisik Usha,"…aku lapar."

Nami menoleh ke arahnya. Merasa jengkel dan juga lucu. Apa yang ada dalam benak Usha saat seperti ini?

"Aku akan mencari makanan, tapi tunggu sampai keadaan tenang," Nami berjanji.

❄️💫❄️

Bagi Wanawa, inilah pertempuran pertama mereka menghadapi Mandhakarma. Dalam pertempuran yang sebelumnya; Aswa, Jaladhi dan Gangika yang lebih banyak berhadap-hadapan. Janur, mendapatkan berita dari Milind bahwa mereka sebaiknya tak melempar senjata-senjata secara membabi buta yang akan dilemparkan kembali oleh Mandhakarma.

Akasha hampir tak pernah berhadapan dengan kematian dan penderitaan. Umur panjang, kemewahan, kesejahteraan adalah kehidupan penuh mawar yang senantiasa dihirup aroma wanginya. Tak sekalipun pernah bermimpi, apalagi berhasrat akan menghadapi hari-hari seperti ini. Namun di sinilah sekarang.

Bagi prajurit muda yang baru berusia ratusan tahun, luka berat dan derita menjelang kematian dapat ditukar dengan umur yang terpangkas lebih cepat. Usia limaribu tahun dapat diperpendek menjadi tigaribu tahun. Apakah Akasha yang berusia empatribu tahun bersiap menghadapi Mandhakarma?

Milind menghadapi gelombang permintaan prajurit yang tetiba memohon padanya menjadi pandhita demi menghindari peperangan.

"Betapa pengecutnya!" Janur mengejek, namun tak punya daya memaksa.

"Kau akan tahu siapa yang lebih pengecut ketika tiba di medan laga," Milind mengingatkan. Jauh di lubuk hati, ia merasakan kesedihan yang dalam. Hanya sejauh inikah kehebatan dan keberanian prajurit Wanawa yang selama ini dibanggakan? Pergantian pasukan penjaga wangsa tiap empat purnama sekali, sekedar pagelaran kemegahan prajurit dalam pakaian kebesaran. Sama sekali tak menggali semangat kepahlawanan, apalagi jiwa berani mati!

Milind merasakan kekhawatiran yang menukik, bagaimana jika Wanawa bernasib sama seperti Aswa? Panglima dan raja harus kalah dalam pertarungan kali ini, apakah wangsa Akasha Wanawa harus terhapus dari muka bumi?

❄️💫❄️

Mandhakarma tampak diam di angkasa.

Menelan benteng utama Aswa, terhenti antara langit dan bumi. Tampak tak hendak melahap Jaladhi ataupun Gangika.

"Mereka berdiam diri," bisik Jagra.

"Ya!"

"Apakah kita akan menyerang?"

"Tunggu aba-aba dari para telik sandi yang tengah terbang mendekati Mandhakarma."

Cengkraman ketegangan. Pasukan Wanawa dan Aswa Turangga berjaga-jaga di daratan, menatap gulungan hitam di angkasa, serupa awan-awan yang berwarna pekat. Bagai hujan badai bersiap melibas apapun yang bernama kehidupan di bumi.

Angin tenang.

Burung tak tampak.

Cuaca bisu dalam rahasia.

"Kita akan menunggu berapa lama?" Jagra bergumam.

"Tenangkan diri Paduka, Panglima Jagra," bisik Janur.

Kesabaran adalah separuh kemenangan, pesan Milind. Jangan pernah gegabah dan ceroboh, namun bila telah memutuskan, hapus semua keraguan yang akan menahan langkah.

Jagra menarik napas panjang, bersemedi dalam sikap kuda-kuda. Ialah panglima Aswa sekarang. Tak boleh sembarangan mengambil kesimpulan. Harus belajar banyak dari Gosha, sekaligus berguru pada Milind yang lebih berpengalaman.

"Kemanakah Panglima Milind?" Jagra bertanya lagi.

Janur menoleh ke arahnya, berbisik pelan sembari tersenyum, "Panglima Jagra? Panglima Milind tak akan berada jauh dari kita."

Jagra diam-diam mengeluh, mengapa ia tak dapat setenang Janur padahal ia hanya berkedudukan sebagai hulubalang. Bagaimana mungkin seorang panglima muda sepertinya, yang sekarang menjadi seorang panglima, didera perasaan cemas tak menentu? Jagra bersemedi. Memusatkan perhatian dan kekuatan jiwa untuk mendengar suara batinnya sendiri. Mendengar suara alam. Mendengar suara-suara paling halus yang berada di sekitarnya, dan yang memiliki jarak beberapa ratus hasta dari tempatnya berdiri.

Ia terkesiap.

"Janur?"

"Ya, Panglima Jagra."

"Telik sandi Wanawa, mereka serupa apakah?"

Janur tentu tak dapat memberitahukan. Telik sandi adalah tugas rahasia! Jagra bergerak maju beberapa langkah, mengendarai Turangga, menatap tajam ke arah langit. Mata Janur, yang tak sama dengan mata Jagra, melihat isyarat telik sandi.

"Pasukan Wanawaaa! Naik ke atas!"

Barisan pertama, pasukan pemanah yang menunggangi angin, bergerak cepat lapis demi lapis. Jagra ingin menghalangi, tapi tak dapat mengeluarkan suara. Ini adalah pengalaman pertamanya sebagai panglima yang harus memberi perintah. Namun, ia adalah panglima Aswa! Tak ada hak baginya untuk menahan laju gerakan pasukan Wanawa.

Jagra menajamkan mata dan telinga.

Ia merasakan tubuhnya tegang, terpasak, terbakar oleh ketakutan sekaligus keraguan. Betapa berharap Gosha ada di sini bersamanya! Ia mengenal suara-suara yang samar berada di balik buih Gelombang Hitam.

Denting.

Bergesek.

Gemerincing halus.

Sepertinya ia mengenali suara-suara itu!

Suara cerdik pandai di Aswa tengah memotong. Mengasah. Menajamkan kristal sebagai senjata. Suara prajurit Aswa beradu senjata ketika berlatih. Suara itu…

"Awaaaassss!" Jagra berteriak lantang, memperingatkan Janur dan pasukannya yang bergerak cepat menuju gerbang Mandhakarma.

Suara Jagra belum sampai ke telinga para prajurit Wanawa, ketika senjata-senjata kristal pasukan Aswa berlumur racun meluncur ke arah pasukan berbaju hijau!

Teriakan.

Jeritan.

Umpatan.

Keterkejutan.

Kemarahan.

Janur merasakan dadanya terbelah oleh amarah dan kebencian. Kematian bagai buah kering kapuk randu terlepas dari ranting. Jumlah pasukan gugur tak dapat dihitung, sejauh mata memandang mayat berserakan seolah dedaunan rontok di musim kemarau.

"Pasukaaan! Hindari arah depaaan!"

Mengapa telik sandi memberikan aba-aba bahwa semua aman untuk bergerak mendekat? Apakah ia salah melihat, ataukah telik sandi mereka…berbohong? Mengapa pula, Mandhakarma menggunakan kristal-kristal Aswa? Dari mana mereka mendapatkannya? Kepalang tanggung. Pasukan Wanawa telah bergerak mendekat.

"Pemanah! Lemparkan anak panah! Penombak, lemparkan tombak-tombak kalian! Seraaaang!"

Walau banyak yang bergelimpangan, tak mungkin mundur. Janur memerintahkan anak buahnya menyerang menggunakan senjata milik sendiri, sesuatu yang sebetulnya sejak awal dilarang oleh Milind. Tapi Janur tak melihat cara lain selain menyerang balik bila tak ingin pasukan mereka habis.

Di atas tunggangan angin, pasukan berbaju hijau tampak gagah mendekat dari arah selain gerbang depan Mandhakarma. Mantra angin membantu senjata-senjata terlempar lebih kuat dan jauh ke dalam buih gelombang hitam.

Srrrttt. Srrttt. Srrt.

Clrrrrp. Clllrrrp. Clllrrrrp.

Hujan senjata melesat menuju gulungan Mandhakarma yang sekarang mulai bergerak mendekati Wanawa, terusik oleh gangguan pasukan hijau.

"Jangan biarkan mereka mendekati Giriwana dan Girimba!" teriak Janur.

Ribuan senjata berlapis-lapis menyerang angkasa hitam. Mandhakarma menggeliat. Tampak terhenti sesaat, seolah merintih atau meregang nyawa.

"Waspada!" teriak Janur.

Di bawah, Jagra memerintahkan Turangga untuk bersiap ketika Mandhakarma mencapai jarak yang memungkinkan serangan daratan. Janur memerintahkan perisai-perisai bermantra dihamparkan untuk menghadang serangan balik. Pertahanan pasukan hijau di udara demikian mengesankan.

Clarrrp. Clarrrp. Clarrrp.

Senjata-senjata Wanawa menyerang balik …Turangga!

Walau telah mencoba hati-hati dan waspada, tak urung Jagra dan Turangga terkejut. Kuda-kuda meringkik dahsyat, tertembus panah dan tombak yang menyebabkan lapisan demi lapisan pasukan Jagra tumbang mengenaskan

"Januuuur!" teriak Jagra panik, berusaha menghindar. "Mereka menukar senjata kita untuk menyerang balik!"

❄️💫❄️


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C200
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login