Download App
Simon morin Simon morin original

Simon morin

Author: Mansar_kamasan

© WebNovel

Chapter 1: HUMOR DARI TANAH PAPUA

1. Kapan Papeda jadi tuan di negeri sendiri?

KLM Hotel Biak di era kolonial, sangat bernuansa Belanda dan berfungsi sebagai hotel transit untuk penerbangan KLM dari dan ke Belanda, Australia dan Jepang.

Sejak Papua kembali ke Indonesia pada tahun 1963, hotel tersebut dirubah namanya menjadi Hotel Irian dan terbuka untuk umum.

Suatu hari, Mozes Rumainum, seorang tokoh pemerintahan senior di zaman kolonial yang juga berasal dari Biak, menginap di hotel tersebut dan pada saat makan siang, Mozes memesan makanan khas daerah yang terbuat dari sago atau dikenal dengan nama "papeda." Mozes memanggil salah seorang pelayan hotel yang pada zaman itu sebagian besar terdiri dari putera-putera Biak dan berkata, "Saudara, saya memesan papeda dengan ikan asar pakai kuah santan."

Maaf Tuan Mozes, hotel ini belum pernah menghidangkan papeda kepada para tamunya. Tidak pernah ada tamu yang memesan papeda. Kalau tuan mau sabar, kami akan minta dibuatkan di kampung Ambroben." "Apa?" bentak Mozes. "Mengapa Belanda sudah pergi tetapi papeda masih dilarang masuk Hotel Irian? Saya minta saudara segera siapkan papeda untuk makan siang saya titik. Soal dipesan dari kampung Ambroben atau disediakan oleh hotel, itu tidak penting. Hari ini juga papeda harus masuk hotel ini dan menjadi tuan di negeri sendiri."

Hari itu juga papeda untuk pertama dan terakhir kalinya dihidangkan di Hotel Irian. (Sumber: Morin's collection)

***

2. Harap jemput JAGUNG Muda

Di era Frans Kaisiepo menjadi gubernur di provinsi Irian Barat (Provinsi Papua sekarang -penulis) datang sebuah radiogram dari Jakarta. Isinya:"JAGUNG Muda tiba di Sukarnopura tanggal 15-08-1966 dengan pesawat Garuda titik Harap jemput titikhbs."

Radiogram tersebut langsung diarsipkan oleh staf pribadi gubernur karena menganggapnya sebagai suatu pelecehan terhadap atasannya. "Apakah Jakarta sudah tidak menghormati atasanku lagi sehingga menyuruhnya menjemput jagung muda?"pikirnya.

Sehari sebelum kunjungan sang Jaksa Agung Muda, pihak KEJAGUNG menelepon gubernur menanyakan tindak lanjut radiogram tersebut. Gubernur memanggil stafnya dan menanyakan apakah pernah ada radiogram dari Kejaksaan Agung. Staf gubernur dengan ringan menjawab,"Radiogram tersebut sudah saya arsipkan karena Bapak Gubernur diminta menjemput jagung muda. Memangnya mereka pikir tidak ada jagung muda di Irian Barat?"

Sambil tersenyum gubernur Frans Kaisiepo menjawab:" Siapkan penjemputan untuk Bapak Jaksa Agung Muda yang sering disingkat Jagung Muda. (Sumber: Otniel Kapisa)

***

3. Ini bukan urusan gubernur!

Pada dekade 80-an, terjadi peristiwa eksodus/keluarnya sebagian penduduk asli Papua dari Jayapura ke Papua New Guinea. Gubernur Izaac Hindom ditelepon oleh Menteri Dalam Negeri untuk segera menangani masalah tersebut.

Izaac Hindom secara diplomatis menjawab,"Maaf, Bapak Menteri, saya punya wewenang yang terbatas untuk menangani masalah ini. Walaupun Papua New Guinea dan Irian Jaya berada di satu pulau, tetapi tetangga kami sudah jadi negara merdeka, sedangkan Irian Jaya hanya sebuah provinsi Indonesia. Kalau seandainya rakyat kami eksodus ke Provinsi Maluku, tanpa bapak mengeluarkan perintah pun, Izaac Hindom akan langsung menyelesaikannya karena menyangkut urusan dalam negeri. Tetapi kalau Bapak Menteri menugaskan Izaac Hindom menangani urusan yang berkaitan dengan negara lain, jangan-jangan Menteri Luar Negeri kita menganggap Izaac Hindom sudah bertindak di luar batas kewenangannya sebagai gubernur." (Sumber: Mendiang Izaac Hindom, mantan gubernur Irian Jaya, periode 1983 - 1988 )

***

4. Saling mempedulikan sebagai satu bangsa

Di era Izaac Hindom menjadi gubernur Provinsi Irian Jaya (sekarang Provinsi Papua dan Papua Barat), mahasiswa asal Irian Jaya di Semarang Jawa-Tengah terlibat perkelahian dengan masyarakat setempat sehingga melibatkan Pemda Provinsi Jawa Tengah untuk menyelesaikannya.

Gubernur Jawa-Tengah menelepon Gubernur Izaac Hindom dan meminta agar Pemda Irian Jaya memberi perhatian dan pembinaan kepada mahasiswa-mahasiswanya sehingga tidak lagi membuat keributan di provinsi Jawa Tengah.

Gubernur Izaac Hindom menjawab, "Maaf Pak Gubernur, ini betul-betul kelalaian kami. Akhir-akhir ini kami begitu sibuk mengurus ratusan keluarga transmigran yang di pindahkan dari Jawa Tengah ke provinsi kami sehingga kami kurang memberi perhatian kepada anak-anak ini. Maukah Saudara gubernur memandang mereka sebagai anak-anakmu sendiri sebagaimana Izaac Hindom memandang transmigran dari Jawa-Tengah sebagai saudara sendiri?" (Sumber: Mendiang Izaac Hindom, mantan gubernur Irian Jaya periode 1983 - 1988)

***

5. Anggarkar-isme dan Karaurau-isme bisa diusir?

Seorang pejabat penting dari Jakarta datang ke Irian Barat ( Papua ) untuk memberi ceramah tentang keberhasilan bangsa Indonesia mengusir imperialisme dan kolonialisme dari bumi Nusantara termasuk Irian Barat sehingga bangsa Indonesia sudah menjadi tuan di negeri sendiri.

Selesai ceramah, salah seorang tokoh masyarakat bertanya:"Bapak yang terhormat dari Jakarta, tadi bapak katakan bahwa bangsa Indonesia telah berhasil mengusir imperialisme dan kolonialisme dari bumi Indonesia. Ini suatu prestasi nasional yang luar biasa. Pertanyaan saya, sanggupkah bangsa Indonesia juga mengusir anggarkarisme dan karaurauisme yang sekarang merajalela di Irian Barat? Tentang dua isme yang saya maksudkan ini, nanti bapak tanyakan artinya kepada bapak Wakil Gubernur.

Ketika pejabat dari Jakarta itu menanyakan arti dua isme yang disampaikan tokoh masyarakat dari Biak itu kepada Jan Mamoribo, (Wakil Gubernur pada waktu itu - penulis), beliau secara diplomatis menjawab: "Isme yang pertama berkaitan dengan janji-janji pejabat pemerintah yang jarang dipenuhi dan isme kedua berkaitan dengan banyaknya barang-barang peninggalan kolonial yang diangkut begitu saja dengan kapal ke Jakarta oleh para petugas tanpa penjelasan apa pun kepada masyarakat setempat." (Sumber: Aleks Hesegem)

***

6. Sumpah Pemuda versi Kepala Suku

Sewaktu marak-maraknya operasi militer di Tanah Papua di masa Orde Baru, sejumlah Kepala Suku dihimpun oleh seorang komandan operasi untuk menguji kesetiaan mereka kepada NKRI.

Dengan nada mengancam, ia memerintahkan salah seorang kepala suku untuk maju ke depan mengucapkan Sumpah Pemuda. Kepala suku yang ditunjuk maju dan dengan suara agak gementar mengucapkan Sumpah Pemuda :"Kami Kepala-kepala suku di Irian Jaya mengaku ber-air satu, air Indonesia; Kami Kepala-kepala suku di Irian Jaya mengaku....."berhenti!", teriak sang komandan. "Mengapa anda tidak sebut bertanah air satu!"

Kepala suku dengan gugup menjawab, "Sebab tanah-tanah adat dan hak-hak ulayat kami sudah pindah tangan kepada pemerintah dan pengusaha. Yang masih kami miliki hanyalah sungai-sungai dan laut sepanjang pantai dan laut yang mengitari pulau-pulau kami." (Sumber: Yan Arwam)

***

7. Pagar goblok! Tidak pakai matakah?

Seorang warga kampung ikut perlombaan membuat pagar dalam rangka perayaan 17 Agustus. Pagar yang dibuatnya sangat bagus, pakai ukiran lokal dan dicat dengan warna merah-putih. Semua warga yakin, pasti laki-laki ini akan merebut juara pertama.

Suatu sore sebuah truk melewati kampung itu dan tanpa disengaja menabrak pagarnya. Laki-laki mengamuk dan menuntut sopirnya bertanggung-jawab. "Kurang ajar! Tidak pakai matakah?"teriaknya.

Tiba-tiba seorang laki-laki bersepatu lars, berjacket loreng, dengan pistol di pinggangnya, turun dari truk dan berkata, "Minta maaf Pak, kami tidak sengaja. Saya akan menyuruh anak buah datang memperbaikinya."

Laki-laki itu sekejap saja turun suaranya dan keluar kata-kata, "Maaf Pak Komandan, yang saya maksudkan tadi dengan tidak pakai mata itu pagarnya. Kenapa pagar goblok ini sudah lihat ada truk yang datang tetapi tidak segera menyingkir. Bapak tidak usah kirim anak buah kesini, nanti kami perbaiki sendiri." (Sumber: Koleksi rekan-rekan LPMAK, Timika)

***

8. Bolehkah Burung Garuda dimakan?

Suatu hari seorang Kepala Suku penduduk asli Papua diundang ke Jakarta untuk menemui seorang pejabat pemerintah pusat yang akan ditugaskan ke Papua. Pejabat ini ingin mengetahui secara langsung berbagai hal tentang adat-istiadat dan kebiasaan penduduk setempat termasuk hal-hal yang merisaukan hatinya.

"Bung, katanya di Papua masih ditemui kebiasaan orang Papua makan daging manusia sebagai lauk pauk," tanya pejabat itu.

Kepala Suku agak terkejut dengan tudingan tersebut, namun dengan suara penuh percaya diri menjawab, "Betul Pak, tetapi itu jaman dahulu. Sejak nenek moyang kami menganut agama Kristen yang dibawa oleh para missionaris, kebiasaan tersebut sudah lama kami tinggalkan!"

"Kalau begitu daging apa saja yang kamu jadikan lauk pauk pengganti daging manusia?," tanya pejabat lebih lanjut. "Sekarang ini kami makan daging binatang, baik binatang berkaki empat, maupun burung-burung dan ikan-ikan sebagai lauk-pauk,"jawab Kepala Suku.

"Apakah babi dan anjing juga dimakan?" tanya pejabat itu."Ya babi dan anjing juga kami makan! Tetapi hanya dimakan oleh kami yang beragama Kristen. Saudara-saudara kami yang beragama Islam tidak makan daging babi dan daging anjing karena agama melarangnya. Khusus anjing, orang Papua baru belajar memakan dagingnya setelah diperkenalkan oleh saudara-saudara kami orang Batak dan orang Manado."

"Kalau burung-burung? Jenis-jenis burung apa saja yang dimakan?", tanya pejabat itu lagi. "Semua jenis burung, Pak! Termasuk burung cenderawasih!", jawab Kepala Suku. "Masa, burung cenderawasih yang bulu-bulunya indah dan dilindungi itu juga kamu makan?"

"Betul Pak, dagingnya kami makan sedangkan bulu-bulunya yang indah dijadikan perhiasan kepala pada pesta adat atau pada hidangan burung cenderawasih goreng pakai mentega," jawab Kepala Suku dengan tegas. Pejabat itu merenung-renung sejenak kemudian bertanya lagi, "Kalau semua jenis burung bisa dimakan berarti burung "garuda" juga pasti kamu makan!"

Kepala Suku agak terpojok dengan tudingan tersebut. Sambil melirik ke arah ukiran burung Garuda yang tergantung di dinding kantor pejabat pemerintah itu, ia menjawab, "Pak, jangan jebak saya masuk perangkap "SEPARATIS". Burung garuda tidak boleh dimakan oleh orang Papua maupun suku manapun juga di Indonesia, termasuk bapak sendiri. Itu burung milik Negara Kesatuan Republik Indonesia!"

"Mengapa tidak boleh dimakan? Itu 'kan burung juga!" pancing sang pejabat."Pak, jangan paksa-paksa kami orang Papua makan burung garuda. Kita Bangsa Indonesia sangat berkepentingan untuk menjaga tetap tegaknya semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" yang selama ini terus digenggam oleh burung garuda. Kalau bapak paksa kami makan burung garuda, lalu binatang apa lagi yang akan menggenggam "Bhinneka Tunggal Ika?"Saya ingatkan bapak agar tidak menyampuri urusan makanan dengan politik!" tegas Kepala Suku. (Sumber: Yan Arwam)

***

9. Ujian P4 di Era Orde Baru

Sewaktu marak-maraknya Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau dikenal dengan P4 di era Orde Baru, dua orang tokoh masyarakat di uji setelah seminggu mengikuti penataran.

Penatar :"Saudara Markus, silahkan sebutkan Pancasila."

Markus :"Satu: Pancasila, Dua: Ketuhanan Yang Maha Esa, Tiga: Kemanusiaan Yang Adil dan beradab, Empat: Persatuan Indonesia, Lima: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat permusyawaratan/perwakilan, Enam: Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia."

Penatar :"Pak Markus! Anda tidak lulus. Silanya kebanyakan. Peserta berikut."

Penatar :"Saudara Gehasi, silahkan sebutkan Pancasila."

Gehasi :"Satu: Ketuhanan Yang Maha Esa, Dua; Kemanusiaan Yang Adil dan beradab, Tiga: Persatuan Indonesia, Empat: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat permusyawaratan/perwakilan, Lima: Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia."

Penatar :"Baik. Saudara dinyatakan lulus."

Setelah meninggalkan ruang penataran, Gehasi ditanyai Markus tentang hasil ujiannya."Saya dinyatakan lulus setelah menyebutkan lima sila dari Pancasila di luar kepala," jawab Gehasi."Tidak mungkin Saudara lulus," bantah Markus, "Saya yang sebutkan enam sila saja, dinyatakan tidak lulus. Apalagi kamu yang cuma lima." "Memangnya, yang banyak itu yang selalu benarkah?" balas Gehasi.

***

10. Apa singkatan GBHN?

Penatar : "Saudara Eliza, apa singkatan GBHN."

Eliza : "Itu gampang bapak. GBHN adalah singkatan dari Gempa Bumi Hantam Nabire."

Nikanor : "Bapa penatar, Eliza salah. Jawaban yang betul adalah Gara-gara Bini Hancur Negara (GBHN)."

Esau : "Bapa penatar, kedua-duanya salah. Jawaban yang betul adalah Gelombang Besar Hantam Nabire."

***

11. Kapan Pancasila mengalami perobahan?

Beberapa warga masyarakat yang dituduh terlibat Organisasi Papua Merdeka menyerahkan diri kepada aparat militer dan diberi Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).

Para peserta kemudian diuji apakah sudah menghafal Pancasila di luar kepala. Seorang peserta bernama Faimani diminta maju untuk menyebutkan Pancasila.

Penatar :"Saudara Faimani, coba sebutkan Pancasila di luar kepala."

Faimani:"Pancasila. Satu: Ke-Tuhanan Yang Maha Esa; dua: Kemanusiaan yang adil dan beradab; tiga, empat dan lima tidak ada perubahan."

Penatar :"Saudara dinyatakan tidak lulus."

Faimani :"Maaf Pak, apakah Pancasila sudah mengalami perubahan sewaktu kami masih di hutan? Saya berpendapat, kalau sekiranya di Papua ini sila pertama dan sila kedua dilaksanakan dengan benar saja, pasti sila ketiga, keempat dan kelima walaupun tidak dihafal akan terwujud dengan sendirinya."

Penatar :"Cukup! Jangan berargumen lagi."

Faimani :"Baik bapak, saya cuma bilang saja!"

***

12. Versi baru lagu "Hari Kemerdekaan"

Pada waktu perayaan 17 Agustus, seorang pemuda kampung memenangkan lomba panjat pinang. Sebelum diserahkan hadiahnya, Panitia memintanya menyanyikan lagu "Hari Kemerdekaan." Karena gugup, pemuda itu lupa bagaimana memulai lagunya. Dia pikir hari panjat pinang yang jatuh pada tanggal 16 Agustus itulah yang dirayakan.

Karena iringan musik sudah mulai, laki-laki langsung mengangkat lagunya "Enam belas Agustus Tahun Empat Lima......" "Pace, salaaah...bukan enam belas.....tujuh belas!" teriak para hadirin. Karena menyadari kesalahan fatal tersebut, laki-laki langsung sambung dengan bait baru...."Esoknya Hari Kemerdekaan kita..." (Sumber: Koleksi rekan-rekan LPMAK, Timika)

***

13. Saya orang kecil saya lihat dari bawah

Seorang Camat di era Orde Baru merencanakan perayaan 17 Agustus secara meriah dan besar-besaran di kecamatannya. Dalam Rapat koordinasi, beliau meminta agar rakyat setempat sebanyak mungkin dilibatkan. Komandan upacara yang selama itu ditangani komandan Koramil, diserahkan kepada Komandan Hansip setempat. Komandan Koramil diberi tanggungjawab melatih Komandan Hansip agar menguasai aba-aba yang diperlukan pada upacara bendera.

Semua persiapan dan latihan berjalan mulus dan pada tanggal 17 Agustus pagi, tempat perayaan dipadati rakyat se kecamatan itu. Ketika tiba giliran pengibaran bendera dan petugas pengerek bendera menyatakan "bendera siap", sang Komandan Hansip karena saking gugupnya dengan suara agak gementar memberi aba-aba, "Kepada Sang Saka Putih Meraaah, beri hormat, gerak!"

Selesai upacara, Camat dan Komandan Koramil memanggil Komandan Hansip itu untuk mempertanggungjawabkan kesalahan tersebut."Mengapa anda memberikan aba-aba yang salah. Dengan kesalahan itu, anda mempermalukan saya dan Dan Ramil di muka umum. Jangan-jangan ada unsur separatis dalam otakmu!," tegur Pak Camat.

Di luar dugaan Komandan Hansip menjawab, "Siap Pak, pertama saya orang Indonesia tulen dan bukan separatis. Dalam hal memberi aba-aba, bapak orang besar, bapak lihat bendera kita dari atas, saya orang kecil, saya lihat bendera kita dari bawah. Jadi saya melihat putih dulu baru merah, sedangkan bapak melihat merah dulu baru putih! Kalau bapa-bapa anggap saya salah, saya siap diberhentikan."

Seminggu kemudian Komandan Hansip ditugaskan ke ibu kota kabupaten untuk mengikuti Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila agar kesadaran nasionalnya lebih meningkat.

(Sumber: Morin's collections)

***

14. Saya orang kecil saya ketok dari bawah

Di era kolonial Belanda, seorang kepala kampung di Biak yang bernama Yamun Kma, dipanggil pejabat pemerintah setempat atau dikenal dengan nama Hoofd Plaatselijk Bestuur (HPB) untuk menghadap karena penataan rumah di kampungnya kurang tertib.

Sambil mengetok meja kerjanya, HPB berkata dengan tegas,"Saudara Yamun Kma, ini peringatan terakhir. Kalau sampai kampungmu tidak segera di tertibkan, kamu dan rakyatmu akan saya hukum dengan membabat kiri kanan jalan kota Biak selama satu minggu."

Yamun Kma langsung merespons dengan mengetok pada bagian bawah meja sambil berkata, "Tuan HPB, tiga bulan lagi tuan boleh datang periksa kampung kami! Yamun Kma jamin pasti semua beres."

"Kenapa Yamun Kma ikut-ikutan ketok dari bawah meja!" tegor HPB keheranan. "Tuan orang besar, tuan ketok di atas meja untuk menegaskan perintah tuan. Saya orang kecil, saya ketok di bawah meja untuk menegaskan bahwa perintah tuan pasti akan saya laksanakan." (Sumber: Mendiang ayahku Herman Morin)

***

15. Rahasia juara lari Marathon

Seorang pemuda Papua berhasil meraih juara lari Marathon dengan prestasi mendekati prestasi Abebe Bikila, pemenang marathon Olimpiade dari Ethiopia."Saudara Manggundi, bagaimana cara latihan anda sehingga berhasil meraih prestasi gemilang ini," tanya wartawan.

"Saya sudah latihan berlari selama bertahun-tahun demi menghindar dari kejaran pasukan yang melakukan operasi militer di daerah kami. Agar selamat dari kejaran pasukan, saya terus menerus melatih diri untuk berlari lebih cepat dari mereka. Ini namanya lari demi nyawa. Itulah rahasia keberhasilan saya di PON ini," jawab pemuda itu.

***

16. Kejujuran yang membahayakan

Pada waktu Papua digabungkan secara de facto dengan Republik Indonesia pada tahun 1962, aparat keamanan melakukan sweeping besar-besaran terhadap bendera Bintang Kejora yang masih disimpan penduduk.

Suatu pagi, seorang anak kecil bersama ayahnya melewati tempat sweeping sedang dilakukan. Dari kantong seorang pemuda, aparat keamanan menyita selembar bendera Bintang Kejora berukuran kecil. Anak itu rupanya mengenal bendera itu.

Sambil berhenti sejenak, ia menunjuk kearah bendera yang dipegang aparat dan memanggil bapaknya, "Bapa, bapa, bendera itu sama dengan yang bapa simp...." (kalimat lengkapnya: Bapa, bapa, bendera itu sama dengan yang bapa simpan di rumah kita). Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, ayahnya langsung menutup mulut anak itu dengan telapak tangan kirinya sambil menyeretnya menjauhi tempat berbahaya itu.

Setelah mencapai jarak yang aman, barulah ayahnya melepaskannya. Dengan nafas terengah-engah anak itu bertanya, "Kenapa ayah menutup mulut saya? Apa yang salah dengan bendera itu? Ayahnya menjawab, "Sebab kalau kalimat kamu tadi sempat diselesaikan dan didengar aparat keamanan, ayahmu juga akan babak belur seperti pemuda itu!"

(Sumber: Decky Iwanggin)

***

17. Teknologi yang belum masuk kampung

Seorang bupati di Tanah Papua mengunjungi sebuah kampung terpencil di kabupatennya. Pada kunjungan tersebut, bupati menyerahkan sejumlah bantuan kepada penduduk di kampung itu, termasuk sebuah bola kaki.

Kepala kampung mengundang para pemuda di kampungnya untuk membangun sebuah lapangan bola agar dapat menikmati permainan bola seperti yang dinikmati orang kota. Dalam waktu satu minggu, para pemuda berhasil membangun sebuah lapangan bola dan suatu sore Kepala Kampung diundang untuk meresmikan pemakaian lapangan bola tersebut, yang akan ditandai dengan menendang bola pertama.

Ketika acara peresmian akan dimulai, ternyata bola kakinya masih kempis alias belum diisi angin. Kepala kampung meminta beberapa pemuda untuk beramai-ramai meniupkan angin ke dalamnya melalui lobang pentil. Para pemuda bergantian meniupkan angin ke dalam bola, tetapi usaha mereka sia-sia.Tidak ada angin yang berhasil dimasukkan dan bola tetap kempis. Guru di kampung memberi nasehat, "Angin hanya dapat dimasukkan ke dalam bola dengan menggunakan sebuah alat yang namanya pompa angin."

Ternyata di kampung itu belum ada pompa angin. Kepala kampung menugaskan pak guru mendampingi dua orang pemuda pergi ke kota untuk memompa bolanya dan sekaligus membeli pompa angin. Perjalanan ke kota dan kembali memakan waktu sepuluh hari.

Para pemuda di kampung terpaksa menunggu dengan sabar selama sepuluh hari sebelum menikmati permainan bola di kampungnya yang terpencil. (Sumber: Mendiang Bas Youwe, mantan Bupati Kabupaten Jayapura – Morin's collections)

***

18. Sapi yang bermasalah

Seorang penduduk kampung mendapat bantuan seekor sapi dari Dinas Peternakan kabupaten untuk dipelihara di kampungnya.

Sejak adanya sapi itu, laki-laki ini dan sapinya dijadikan musuh bersama oleh seluruh penduduk kampungnya. Setiap hari dia menerima makian dan bahkan tuntutan ganti rugi dari orang-orang sekampung. Selalu ada saja kebun yang dirusak atau tanaman di halaman rumah yang digunduli daunnya oleh binatang raksasa ini. Belum lagi berbicara tentang tumpukan kotoran sapi (tai sapi) yang bertebaran di mana-mana.

Tanpa disadari, laki-laki ini dijadikan "tawanan" oleh sapi itu untuk mengurus masalah-masalah yang ditimbulkannya. Ia bahkan tidak lagi bebas untuk pergi berburu atau mengunjungi saudara-saudaranya yang hidup di kampung lain.

Akhirnya dia memutuskan untuk mengikat sapi pembawa malapetaka itu di belakang rumahnya. "Sapi inilah yang harus menjadi tawanan dan bukan saya. Binatang ini telah merusak hubungan baikku dengan saudara-saudara sekampungku. Sebaiknya binatang ini diikat saja dibelakang rumah supaya tidak lagi mengganggu siapa pun." pikirnya. "Dengan cara demikian, saya akan memperoleh kembali kebebasanku untuk pergi kemana saja saya kehendaki tanpa mengkhawatirkan adanya masalah-masalah baru yang di timbulkan binatang ini."

Suatu hari Petugas Dinas Peternakan datang mengecek perkembangan sapi bantuannya dan menemukan bahwa sapi itu sudah kurus kering walaupun disekitar kampung itu tersedia banyak rerumputan hijau. Dengan nada kecewa dan marah petugas itu berkata, "Mengapa anda tidak membiarkan sapi ini bebas merumput supaya cukup makan dan tubuhnya menjadi gemuk? Kalau anda tidak mau bertanggung-jawab atas sapi ini, akan kami ambil kembali dan berikan kepada orang lain yang sanggup mengurusnya." "Silahkan saja," jawab orang kampung itu. "Tetapi ingat! Anda tidak akan menemukan seorang pun di kampung ini yang mau mengulangi kesalahan yang sama, yaitu mengorbankan kebebasan dan rasa nyamannya untuk mengurus seekor binatang yang banyak menimbulkan masalah."

"Kalau begitu, apa saran anda untuk mengatasi hal ini?" tanya Petugas Dinas Peternakan. "Cara termudah adalah dengan membagikan kepada setiap keluarga seekor sapi. Dengan demikian akan ada keperdulian bersama untuk menjaga sapi masing-masing, dan akan ada tenggang-rasa, sehingga tidak ada lagi orang yang menjadikan saya dan sapi satu-satunya ini musuh bersama." (Sumber: Morin's collections)

***

19. Domba sudah ada tetapi mana gembalanya?

Di era Soeharto, pernah ada bantuan domba untuk masyarakat Papua. Jenis ternak yang satu ini sebelumnya hanya diketahui dari cerita-cerita di dalam Injil/Alkitab.

Ketika domba-domba itu akan disebar secara simbolis oleh gubernur, seorang tokoh masyarakat minta bicara, "Bapak gubernur, masyarakat kami senang sekali menerima ternak yang selama ini namanya cuma kami tahu dari Alkitab. Oleh karena itu, sampaikan ucapan terimakasih kami kepada Bapak Presiden Suharto. Hal lain yang masyarakat kami ingin tanyakan adalah: domba sudah ada tetapi mana gembalanya? Apakah akan didatangkan juga gembalanya?"

Gubernur menjawab, "Gembala tidak perlu didatangkan karena penerima bantuan ternak domba adalah gembala bagi dombanya sendiri." (Sumber: Morin's collection)

***

20. Kendaraan yang mengorbankan penumpangnya.

Pada waktu becak untuk pertama kalinya didatangkan ke Wamena, ada tokoh masyarakat yang memrotes keamanan dan kenyamanan jenis kendaraan tersebut bagi masyarakatnya kepada Bupati Wenas.

"Bapak bupati," katanya, "jenis kendaraan yang bapak datangkan ini sangat berbahaya bagi keselamatan penumpang. Masa, pengemudinya duduk dengan aman di belakang sementara penumpangnya ditaruh di depan sehingga gampang ditabrak mobil. Pokoknya kami tidak mau masyarakat kami menjadi korban kecelakaan akibat jenis kendaraan yang tidak mengutamakan keselamatan penumpang seperti ini yang bapak datang ke daerah kami."

Bupati menjelaskan bahwa becak sudah lama dikenal di daerah-daerah lain di Indonesia, dan tidak ada masalah. Namun tokoh masyarakat itu tetap ngotot mempertanyakan masalah keselamatan penumpang.

Akhirnya, salah seorang staf bupati menjawab, "Bapak-bapak, sebenarnya konstruksi becak yang pertama di Jawa sama seperti yang diinginkan saudara kita tadi. Tetapi kemudian, karena penumpang selalu dikentutin tukang becak, sehingga akhirnya penumpang sendirilah yang meminta agar dirobah konstruksinya dan penumpang ditaruh di depan. Seperti saudara-saudara ketahui, pekerjaan menarik becak adalah pekerjaan pakai tenaga manusia, bukan mesin. Apabila beban yang diangkut berat, selalu ada kemungkinan sopirnya kentutin kita."

Tokoh masyarakat yang tadinya memrotes, setelah mendengar penjelasan tersebut, akhirnya menerima logika konstruksi becak seperti itu. Dan siapa yang mau dikentuti oleh pengemudi becak? (Sumber: Morin's collection)

***

21. Berikan kepada kami "biji bukti"

Seorang bupati di Kabupaten Biak Numfor melakukan kunjungan kerja ke sejumlah kampung untuk mengetahui perkembangan pembangunan di kampung-kampung tersebut.

Di salah satu kampung yang dikunjungi, bupati bertatap muka dengan penduduk dan menjelaskan tentang berbagai program pembangunan yang sudah, sedang dan yang akan dilaksanakan oleh pemerintah untuk menyejahterakan rakyat.

Selesai memberi penjelasan, bupati memberi kesempatan kepada salah seorang tokoh masyarakat yang dianggap tertua di kampung itu untuk memberikan tanggapannya.

"Bapak bupati yang terhormat, pertama-tama saya ucapkan terimakasih atas kunjungan bapak ke kampung kami. Kalau seandainya pembangunan yang bapak jelaskan tadi kita ibaratkan biji tanaman, rakyatmu di kampung-kampung sesungguhnya sudah lama menerima berbagai jenis biji pembangunan. Kami sudah menerima biji pendidikan, biji kesehatan, biji pertanian, biji air bersih, dan berbagai biji pembangunan lainnya. Sayangnya, semua biji ini belum ada yang menghasilkan karena masih ada satu jenis biji lagi yang belum dibagikan kepada kami. Kalau sekiranya jenis biji yang satu ini sudah kami terima, pasti rakyatmu di kampung-kampung akan maju dan sejahtera!"

Bupati langsung bertanya, "Biji apa yang belum dibagikan?" Kakek itu langsung menjawab, "Biji bukti, Pak bupati. Kami masih menunggu pembagian biji bukti dari pemerintah!" (Sumber: Morin's collections)

***

22. "Minuman palsu" dalam kemasan berlabel "Aqua"

Pada suatu hari seorang warga kampung datang ke kota untuk berbelanja. Karena perjalanan pulangnya jauh dan hari panas, dia membeli minuman untuk penyegar badan di perjalanan. Setelah memerhatikan minuman yang dipajangkan, dia tertarik dengan sejenis minuman baru dengan label "Aqua" yang dipajangkan bersama-sama dengan coca-cola, sprite, fanta, dll.

Minuman baru tersebut selain harganya murah, isinya juga lebih banyak bila dibandingkan dengan coca-cola dan minuman lainnya. Tanpa bertanya, laki-laki membeli dua botol Aqua ukuran satu liter.

Di tengah perjalanan, karena kehausan, ia membuka satu botol aqua untuk diminum. Setelah meminum beberapa teguk, ia langsung membuang botolnya sambil memaki-maki,"Kurang ajar! Mengapa berani-beraninya toko itu menjual minuman palsu seperti ini. Mereka pikir tidak ada air di Papuakah, sampai-sampai air yang diberikan Tuhan secara gratis pun mereka jual untuk cari uang!"

Dengan penuh kecewa laki-laki itu meneruskan perjalanannya. Setibanya di kampung, ia langsung mendatangi guru dan melapor,"Pak guru, kalau nanti ke kota dan ingin membeli minuman, pak guru harus berhati-hati. Para pedagang di kota tanpa malu-malu, sekarang ini menjual minuman palsu bermerek "Aqua." Minuman tersebut tidak ada rasa manisnya seperti coca-cola, sprite atau fanta. Ternyata mereka menjual air, sesuatu yang di Tanah Papua ini tinggal ambil saja dari sungai tanpa bayar!"

Pak guru berpikir sejenak kemudian menjawab, "Pak Jakob, air memang dibotolkan untuk dijual di kota-kota besar karena sungai-sungainya sudah tercemar. Mungkin saja yang bapak Jakob bayar itu botolnya. Bukan airnya." (Sumber:Morin's collections)

***

23. Manfaat sepatu tumit tinggi untuk nenek

Seorang gadis kampung bernama Fransina, akan pindah ke kota mengikuti pamannya yang sudah menjadi pejabat tinggi pemerintah kolonial di Hollandia (Jayapura sekarang). Kepada keluarganya di kampung, Paman Fransina berjanji akan menyekolahkan keponakannya dan mempekerjakannya di kota.

Seluruh keluarga berkumpul di rumah orang tua Fransina untuk menasehati dan melepas anak gadis mereka yang sangat disayanginya. Sebab pindah ke kota atau pindah ke Sup Amberi pada jaman itu, merupakan suatu perpisahan antara dua dunia yang berbeda. Dan belum tentu anak gadis kesayangan mereka akan cepat kembali untuk bertemu dengan sanak keluarga.

Selain memberi nasehat agar berhati-hati, sesuai kebiasaan, para mebin atau bibi-bibi Fransina mengharapkan agar manakala keponakan atau inai fno mereka sudah punya pekerjaan, jangan lupa kirimi mereka kain sarung untuk dipakai pada perayaan pesta Pohon Terang. Di kota besar pasti kain sarungnya bagus-bagus karena langsung didatangkan dari Singapore atau Hongkong. Kiriman dari seorang keponakan akan selalu merupakan bukti bahwa dia tidak melupakan mereka yang pernah menggendongnya semasa kecil.

Di antara anggota keluarga yang hadir, neneknya Fransina pun tidak ketinggalan. Ketika tiba giliran nenek berbicara, selain memberi nasehat, diluar dugaan nenek pun menyampaikan pesanannya:"Cucuku, kalau nanti anda sudah berhasil di kota, jangan lupa kirimi nenek sepasang sepatu haak tinggi!"

Seluruh hadirin spontan menertawakan permintaan nenek yang sangat lucu itu. Cucunya pun balik bertanya:"Nenek perlu sepatu tumit tinggi untuk apa?"Tanpa ragu-ragu nenek menjawab,"Cucu seperti tidak tahu saja. Nenekmu ini setiap hari, sejak pagi sampai sore, selalu berada di kebun untuk menanam kacang ijo dan jagung. Nenek butuh sepatu hak tinggi untuk membuat lobang di bantalan tanah di kebun. Cukup dengan jalan bolak balik pakai sepatu hak tinggi di atas bantalan tanah, lobang-lobang dengan cepat dapat dibuat untuk menanam biji jagung dan biji kacang ijo. Dengan demikian nenek tidak perlu lagi tunduk terlalu lama untuk membuat lobang karena punggung nenek sudah tua."

Setelah mendengar penjelasan nenek, barulah anggota-anggota keluarga yang tadinya menertawakan nenek mengangguk-angguk pertanda kagum atas pikiran cerdas nenek. (Sumber: Morin's collections)

***

24. Pandita bayar dulu pekerjaan anak saya

Sekolah pertama di Tanah Papua didirikan oleh Missionaris Kristen di pulau Mansinam, Manokwari, pada akhir abad ke-19. Beberapa anak Papua dari kampung-kampung terdekat dikumpul untuk diajarkan membaca dan menulis.

Setiap hari, mulai dari pagi hingga siang hari, anak-anak itu diajarkan membaca dan menulis. Dari kejauhan terdengar suara mereka mengeja huruf demi huruf, suku kata demi suku kata dan akhirnya kalimat demi kalimat. Sedangkan pada jam pelajaran menulis, mereka dilatih cara memegang kalam batu (alat tulis untuk menulis diatas batu tulis) dan cara menulis huruf, suku kata dan kalimat, suatu pekerjaan yang tidak selalu mudah bagi anak-anak.

Suatu hari salah seorang anak absen. Sang missionaris mendatangi orang tuanya untuk mencari tahu keberadaan anak itu. Di luar dugaan ayahnya berkata kepada sang missionaris. "Pandita (panggilan untuk missionaris), Manyouri tidak saya izinkan bekerja lagi sebelum Pandita membayar hasil pekerjaannya selama seminggu yang lalu."

Missionaris menjawab, "Dia tidak bekerja, dia sekolah." Mengapa pandita menyuruh dia berteriak (sambil menirukan a, e, u, o, k, pa,pi,po, ma,mi) sepanjang hari sampai mulut anakku menjadi keram? Itu bukan pekerjaan? Mengapa Pandita menyuruh anakku mencoret-coret di atas batu (maksudnya menulis di batu tulis) sampai tangannya keram? Apa itu bukan pekerjaan? Untuk dua macam pekerjaan ini, Pandita harus bayar dengan satu buah kapak." (Sumber: Morin's collections)

***

25. Ilmu membagi tidak dikuasai

Kantor bupati membuka peluang bagi orang asli Papua untuk mengajukan proposal guna memeroleh modal usaha dari dana Otonomi Khusus. Seorang pemuda dari kampung mengajukan proposal untuk beternak babi. Setelah proposal masuk, setiap minggu ia datang mengecek, namun hasilnya tetap tidak ada jawaban.

Setelah tiga bulan menunggu tanpa hasil, pemuda itu memutuskan untuk pulang kampung dengan kecewa berat. Kakeknya menanyakan hasil proposalnya. Pemuda itu menjawab," Kakek, aku tidak mengerti mengapa siaran radio hampir pecah dengan bunyi triliunan rupiah yang katanya dikirim dari Jakarta untuk menyejahterahkan orang Papua, tetapi proposal kecil yang nilainya cuma Rp 20 juta saja susah sekali dijawab para pejabat di kantor bupati."

"Cucu, jangan dengan gampang persalahkan mereka. Kesulitan utama mereka terletak di soal membagi. Kakek pernah dengar, kebanyakan staf kantor bupati tidak lulus ujian dalam ilmu membagi," komentar sang kakek. (Sumber: Morin's collections)

***

26. Transmigran itu jenis ternak apa?

Seorang pejabat pemerintah dari Kantor Transmigrasi, mengunjungi kampung-kampung yang wilayahnya akan menerima transmigran untuk menjelaskan tentang manfaat program transmigrasi.

Di sebuah kampung ia menjelaskan,"Saudara-saudaraku, dalam waktu dekat pemerintah akan mendatangkan transmigran ke daerah ini. Mereka akan diangkut dengan kapal laut. Perlu saudara-saudara ketahui, bahwa manfaat transmigrasi adalah membuat ekonomi di kampung-kampung terpencil menjadi lebih baik. Jalan-jalan akan dibuka untuk menghubungkan kampung dengan kota setelah ada transmigran."

Selesai memberikan penjelasan, salah seorang tokoh masyarakat setempat bertanya, "Pak, apakah transmigran itu jenis ternak besar atau ternak kecil? Kalau jenis ternak kecil saya usulkan agar dibagikan langsung saja kepada tiap keluarga." "Bukan ternak Pak, itu manusia", jawab pejabat kantor transmigrasi."Kalau manusia, mengapa mereka dipindahkan ke sana ke mari! Manusia menurut pemahaman kami, harus tinggal di tempat tertentu saja. Tidak boleh diangkut ke sana ke mari seperti mengangkut ternak. Tentang pembangunan jalan, mengapa harus menunggu datangnya transmigran baru dibangun? Apakah mereka lebih penting dari kami?" (Sumber: Morin's collections)

***

27. Apa hubungan BANGDES, IDT, JPS, BLT dan WTS?

Seorang bupati menghimpun para kepala kampung (Kepala desa) di kabupatennya dan menjelaskan tentang bahaya HIV/AIDS dikaitkan dengan menjamurnya lokalisasi WTS di kota-kota di Papua. "Saudara-saudara perlu mewaspadai kehadiran WTS ini," katanya, "karena dapat menimbulkan masalah serius bagi masyarakat kita."

Salah seeorang kepala kampung langsung memotong pembicaraan. "Interupsi Pak Bupati. Bukan WTS saja yang menimbulkan masalah serius. BANGDES, IDT (Inpres Desa Tertinggal), JPS (Jaring Pengaman Sosial), sekarang ada BLT (Bantuan Langsung Tunai) dan RASKIN (beras untuk orang miskin) pun, banyak menimbulkan masalah. Batuan-bantuan tersebut sering tidak sampai ke tangan rakyat yang berhak menerimanya. Oleh karena itu, khusus bantuan WTS yang bapak maksudkan tadi, kami minta supaya langsung dibagikan kepada setiap keluarga yang berhak menerimanya. Jangan lagi melalui Kepala distrik (Camat). Sebab hal itu akan menimbulkan masalah baru lagi," tegas kepala kampung itu.

"Saudaraku, WTS itu bukan bantuan tetapi perempuan penjaja seks yang bisa menyebarkan penyakit kelamin dan HIV/AIDS kepada orang-orang yang melakukan hubungan seks sembarangan. Pemerintah tidak mungkin membagi-bagikan WTS kepada setiap keluarga, " jelas bupati.

"Kalau begitu saya minta maaf, Pak Bupati, atas pemahaman yang keliru ini. Selama ini saya pikir, semua yang disingkat berkaitan dengan bantuan kepada orang kampung atau orang miskin." (Sumber: Morin's collections)

***

28. Ayam minta perlindungan

Sewaktu menjadi Pimpinan Komisi Ekonomi DPRD Provinsi Irian Jaya (sekarang Provinsi Papua) antara tahun 1982 -1992 saya dan rombongan mengunjungi sebuah kampung terpencil dalam rangka tugas Dewan.

Sewaktu rombongan kami sedang melakukan pertemuan dengan tokoh-tokoh masyarakat di kampung tersebut, terdengar suara kokok ayam yang sedang dikejar beberapa anak. Tiba-tiba ayam itu memasuki tempat pertemuan dan langsung berlindung di bawah kursi tempat duduk saya.

Anak-anak yang tadinya hiruk-pikuk tiba-tiba tenang dan berdiri mengelilingi tempat rapat kami. Saya bertanya, "Ada urusan apa anak-anak?" Salah satu anak menjawab, "Ayam yang kami kejar sedang berlindung di bawah kursi tempat duduk bapak. Kalau boleh bapak pindah supaya kami menangkapnya." Saya menjawab, "Mungkin ayam ini cari perlindungan kepada anggota DPRD. Saya wajib melindunginya dan sebaiknya kamu cari ayam lain saja."

Salah seorang anak menjawab, "Pak Morin, tidak ada lagi ayam lain yang sebesar ayam itu di kampung kami untuk dihidangkan sebagai lauk pauk bagi rombongan. Kalau bapak tidak izinkan kami menangkapnya, rombongan bapak akan makan tanpa lauk siang ini." (Sumber: Morin's collections)


Load failed, please RETRY

New chapter is coming soon Write a review

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C1
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login