Download App

Chapter 10: 10. Bertemu

Andini setengah berlari, saat dilihatnya pria tampan berwajah teduh berdiri cukup jauh Dihadapannya. Hati Andini begitu berbunga-bunga, mungkin ini lah yang dinamakan jatuh cinta. Pria itu tersenyum manis ke arahnya, seolah-olah dirinya juga menyambut kedatangan Andini yang berlari menghampirinya. Namun ditengah derap langkah kakinya, bayangan seorang wanita berambut sebahu dengan warna rambut kecoklatan membuatnya terpaksa menghentikan langkahnya, wanita itu memeluk pria tampan itu dengan mesra, bahkan sebuah pagutan panas membara terjadi diantara keduanya. Andini tersentak, rasa mual tiba-tiba menghampirinya. Sesak dan sakit menjalari hatinya.

Saat ini ia melihat Dimas suaminya tengah bercumbu dengan wanita itu, saat kemudian pagutan penuh gairah itu terhenti, wanita itu berbalik dan menatap dingin ke arah Andini. Wajah teduh Dimas berubah dingin dan datar, seolah tidak ada lagi cinta dimata itu untuk Andini.

"Dimas itu milikku, jangan coba-coba untuk kembali." ucap wanita itu dengan sorot mata dingin.

"Tapi dia suamiku." Andini mencoba mengatakan yang sejujurnya.

"Sekarang tidak lagi." Wanita itu terus berkeras, ia bahkan kembali berbalik dan hendak meraih bibir Dimas.

Menyadari hal itu Andini sontak berlari dan hendak mencegah wanita itu mencium Dimas.

"Tidak, kenapa? Kenapa kau diam saja Dimas?" teriak Andini dengan suara terisak. Dimas seolah tidak mendengarnya, ia bahkan membalas pagutan itu dengan penuh nafsu. Perlahan ia merangkul pinggul wanita itu.

"Tidak! Dimaaaassss berhentiiii!" teriak Andini, saat perlahan Dimas mulai membuka pakaian wanita itu.

"Tidak, tidak. Kau suamiku, kau tidak boleh melakukan itu dengan wanita lain. Tidak dimaaaasssss!!" Andini menangis, rasa sakit menjalari hatinya ia menangis terisak melihat suami yang di cintainya bercumbu dengan wanita lain, mereka bahkan seolah mengabaikan keberadaan Andini disana.

"Dasar pengkhianaaaaaaatttt.." Teriak Andini dengan sekuat tenaga.

Andini membuka matanya dengan raut wajah panik, mimpi buruk itu seolah membuat hatinya kembali merasakan rasa sakit yang sudah lama di kuburnya dalam ingatan. Saat itulah Andini melihat sekeliling, tirai putih terlihat menutupi kanan dan kirinya, ia bisa melihat jelas bahwa tempat ini adalah rumah sakit. Dengan cepat ia berusaha untuk bangkit, dilihatnya kaki dan sikunya yang luka tergores aspal. Kepalanya bahkan terasa berat dan pusing. Ia ingat, terakhir kali ia terbaring diatas aspal sebelum akhirnya kehilangan kesadarannya.

"Aahhhh,, kenapa sekujur tubuhku terasa sesakit ini. Kakiku kenapa sesakit ini?" gumam Andini pelan. Tiba-tiba tirai itu terbuka, mata Andini terbelalak saat melihat sosok yang ada Dihadapannya.

"Andini, aku sudah menyuruh mereka membersihkan lukamu, sebentar lagi mereka akan menutupnya dengan perban." ucap Dimas dengan wajah yang terlihat khawatir. Tapi Andini seolah tidak bisa berkata apa-apa.

"Apa ini mimpi?" batin Andini, ia bahkan sengaja mencubit pipinya sendiri untuk memastikan bahwa ini bukanlah mimpi.

"Aahh, sakit." Pekik Andini.

"Ini bukan mimpi, jadi berhenti mencubit wajahmu sendiri." kata Dimas pelan, ia terlihat memeriksa bagian tubuh Andini yang lain. Saat Dimas hendak memeriksa bagian kepala Andini, Andini sontak menepis tangannya.

"Aku baik-baik saja." ucapnya dengan suara yang datar. Dimas terhenyak, ia tidak percaya Andini menepis tangannya dengan begitu kasar.

"Kau baru saja mengalami kecelakaan, cedera mungkin saja tidak terlihat diluar, tapi didalam? Biarkan aku melakukan tugasku." pinta Dimas dengan tatapan penuh kesedihan. Andini terlihat memalingkan wajahnya, ia tidak ingin melihat wajah yang sangat dibencinya itu.

Saat Andini mulai tenang, Dimas kembali melakukan pekerjaannya.

"Tidak ada luka dikepala, tapi aku akan menyuruh mereka melakukan pindai CT Scan karena helmmu sempat terlepas saat kau jatuh, ini untuk mencegah kalau-kalau ada luka dibagian dalam. Aku harap kau akan dirawat untuk sementara waktu." kata Dimas pelan.

"Tidak, aku akan pulang hari ini juga."

Dimas tau Andini akan berkeras seperti ini, tapi ia tidak akan membiarkan Andini pergi sebelum menjalankan pemeriksaan lengkap, ditambah luka lecet yang cukup banyak, ditambah kaki kanannya yang terlihat bengkak membuat Dimas harus memeriksanya.

"Coba saja untuk pergi jika kau bisa berjalan dengan kaki yang seperti ini." Dimas meremas kaki kanan Andini yang bengkak.

"Aaagggghhhh. Apa yang kau lakukan, sakit tau." bentak Andini karena merasa kesakitan.

"Kalau begitu, diamlah dan terima semua perawatan ini." kata Dimas. Andini kini hanya bisa terdiam pasrah.

"Kenapa kau lari seperti itu, lalu kembali dengan keadaan seperti ini. Apa kau sebegitu takutnya bertemu denganku?" tanya Dimas.

"Apa? Takut? Memang untuk apa aku takut bertemu denganmu? Aku hanya sedang ada panggilan darurat saja. Kau lihatkan aku baru saja menerima telepon tadi." jawab Andini berbohong, padahal ia berlari karena tidak ingin bertemu dengan Dimas, walau akhirnya ia justru berakhir dengan dirawat oleh Dimas langsung.

"Sudahlah, sebaiknya kau istirahat sebelum pemeriksaan yang lain dilakukan." ucap Dimas dan berlalu pergi.

Andini terdiam, ia tidak percaya bisa bertemu dengan Dimas disini. Diantara banyaknya rumah sakit ia justru bertemu disini.

"Aaahhh, kenap hari ini hidupku sial sekali sih?" Gerutu Andini pelan. Tiba-tiba ia teringat sesuatu,

"Ya ampun, Gibran. Aku meninggalkan dia disini." pekik Andini panik.

"Aaaahhh, dia pasti marah besar." Dengan tubuh yang masih terasa sakit, ia mencoba mencari tasnya. Andini ingin menghubungi Gibran, tapi kemudian dia ingat bahwa dirinya tidak memiliki nomor ponsel Gibran.

"Ohh tidak, aku bahkan tidak memiliki nomornya." Andini terkulai lemas, padahal ia berniat membawa Gibran kesini untuk memeriksakan kepala Gibran yang mungkin cedera, tapi ia dengan bodohnya justru meninggalkannya sendiri disini.

"Ada apa dengan wajah lemas mu itu?" tanya Dimas yang datang bersama dengan perawat yang hendak memasang perban di lukanya.

"Ohh, apa kau ingat pasien yang mengenakan pakaian SMA? Dia pasien yang datang bersamaku tadi." Andini mencoba menanyakan Gibran kepada Dimas.

"Maksudmu pasien yang bernama Gibran itu?"

Andini mengangguk pelan.

"Ahh, sepertinya dia sudah pulang saat kau berlari pergi meninggalkannya, untungnya hasil pemeriksaannya bagus. Kepalanya baik-baik saja." Jelas Dimas, itu adalah hasil pemeriksaan yang seharusnya Dimas sampaikan kepada Andini selaku wali dari pasien tersebut.

"Benarkah? Syukurlah jika dia baik-baik saja." ucap Andini dengan raut wajah lega. Dimas terlihat menatap wajah Andini.

"Apa dia siswamu?" tanya Dimas kemudian.

"Yah, bisa dibilang begitu." jawab Andini, ia terlihat senang mendengar kabar kalau Gibran benar baik-baik saja. Disisi lain, Dimas tampak memperhatikan Andini dengan banyaknya pertanyaan mengantung didalam benaknya.

Di tempat yang berbeda, Gibran tampak menghempaskan tubuhnya dikasur, sebelumnya ia bahkan melempar tasnya dengan keras ke lantai karena merasa kesal. Ia teringat dengan Andini yang pergi meninggalkannya begitu saja. Gibran bahkan semakin kesal karena harus pulang dengan naik taksi, padahal ia sudah sengaja meninggalkan mobilnya di sekolah dan ikut bersama Andini dengan menggunakan sepeda motor.

"Sialan! Apa dia bermaksud mengerjai ku?" gumam Gibran dengan penuh kemarahan.

"Dia bilang dia khawatir makanya membawaku kerumah sakit, tapi dia justru lari begitu saja dan membuatku pulang dengan naik taksi." Gibran terus berceloteh, mencoba meluapkan semua emosi didalam dirinya. Tiba-tiba Gibran teringat dengan dokter yang memeriksanya, Ia ingat dokter itu sempat menyebut nama Andini.

"Apa mereka saling kenal? Tapi jika benar saling kenal, kenapa dia tidak menyapa temannya?" Gibran mulai bertanya-tanya mengenai apa yang terjadi pada Andini.

"Aaarrrgggghh, sudahlah, kenapa aku harus pusing karena wanita itu? Awas saja besok, aku akan balas semua perbuatannya hari ini." ucap Gibran dengan tatapan penuh dendam.

***

Pagi ini Gibran sengaja datang lebih awal, ia berniat mencegat Andini didepan sekolah. Gibran ingin tau apa yang membuatnya berlari seperti orang gila kemarin. Namun setelah menunggu cukup lama, Andini tidak kunjung datang.

"Apa dia sudah ada didalam sekolah? Tapi Seingatku aku datang lebih cepat dari siapapun." gumam Gibran bertanya-tanya. Ia akhirnya memutuskan untuk mencari Andini di dalam ruang guru, saat ia masuk ke dalam ruang guru, beberapa guru menatap bingung ke arahnya.

"Mejanya juga kosong, apa mungkin dia terlambat?" batin Gibran.

"Bu, hari ini sepertinya bu Gisel yang harus masuk mengajar di kelas 11, karena bu Andini tidak masuk hari ini." kata seorang guru yang baru saja masuk bersamaan dengan Gibran.

"Loh, memang bu Andini kemana?" tanya bu Gisel.

"Katanya beliau kecelakaan kemarin dan saat ini masih dirawat dirumah sakit." ucap guru tersebut. Gibran tersentak mendengar kabar tersebut dengan cepat ia menghampiri guru tersebut.

"Dimana? Dimana bu Andini di rawat bu?" tanya Gibran dengan wajah panik. Kedua guru tersebut seketika kaget melihat Gibran bertanya hal itu kepada mereka.

"Eeeh, Gibran.. bu Andini dirawat di rumah sakit Permata Hati." jawabnya dengan raut wajah ketakutan, sepertinya ia tidak pernah berurusan dengan siswa bermasalah seperti Gibran.

Dengan cepat Gibran berlari keluar, ia tak sengaja bertemu dengan Miko di pintu gerbang.

"Gibraaaann.." Panggil Miko, tapi Gibran seolah tidak menghiraukan keberadaan Miko, dengan cepat ia berlari menuju ke mobilnya.

"Aahhh, wanita bodoh itu. Setelah lari seperti itu, dia justru kecelakaan. Apa dia sebodoh itu?" gerutu Gibran dan langsung melajukan mobilnya menuju kerumah sakit.

Setibanya dirumah sakit, ia bergegas mencari keberadaan Andini, untungnya Andini masih berada di Igd rumah sakit, Andini hanya menunggu hasil pemeriksaan yang akan dilakukan hari ini. Saat melihat Andini terbaring disana, Gibran dengan cepat langsung menghampirinya.

"Pelakor, apa kau sudah gila?" teriak Gibran yang membuat seisi Igd menatap ke arahnya. Andini sontak memelototinya karena mendengar Gibran lagi-lagi meneriakinya dengan sebutan pelakor.

"Kau ini." Andini menatapnya geram, ingin rasanya ia berlari dan memukul kepala Gibran tapi kakinya terlalu sakit untuk melakukan itu.

Gibran berjalan dengan tatapan penuh amarah, dia begitu kesal karena Andini meninggalkannya begitu saja kemarin dan hari ini Andini justru terbaring tak berdaya dirumah sakit. Hal itu membuat Gibran tidak bisa membalas perbuatannya Kemaren.

Saat Gibran akan mendekatinya, tiba-tiba Dimas berdiri menghadang langkah Gibran. Ia menatap Gibran dengan tajam, tentu saja Dimas merasa heran ketika seorang siswa memanggil gurunya dengan sebutan seperti itu. Ditambah wajah Gibran yang sepertinya membuat orang bisa saja salah paham mengira ia hendak berbuat jahat pada Andini.

"Sepertinya kau tidak bisa seenaknya membuat keributan di IGD rumah sakit." kata Dimas dengan tatapan tajamnya. Gibran menatap Dimas dengan tatapan yang tak kalah tajamnya.

"Aku tidak punya urusan dengan kau." Sanggah Gibran sembari berlalu meninggalkan Dimas, tapi dengan cepat Dimas menahan pundak Gibran.

"Aku berhak menahan mu mendekati pasienku." ucap Dimas tetap berkeras.

"Eh Dimas dia..." Andini mencoba menjelaskan siapa Gibran kepada Dimas, tapi Gibran sudah lebih dulu memotong ucapan Andini.

"Oh ya? Kita lihat seberapa bisa kau menahanku untuk menemui wanita disana." Gibran menunjuk ke arah Andini dengan tatapan yang masih beradu tajam dengan tatapan Dimas. Andini kini hanya menatap penuh kebingungan kearah mereka, ingin rasanya dia berteriak kearah mereka berdua, tapi sepertinya suara keras Andini hanya akan membuat suasana IGD ini semakin tidak kondusif.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C10
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login