Download App
5.97% TABUR TUAI

Chapter 8: Eliza Adalah Segalanya

Waktu begitu cepat berlalu, Eliza sudah menjalani masa internship selama 10 bulan. Doktes senior tempat Eliza bekerja juga sangat kooperatif, tidak ada masalah yang berarti. Semua perjalanan karirnya lancar. Teman Eliza, Karin juga sama. Mereka sama-sama hampir menyelesaikan masa intership dengan baik.

"El, gak terasa 2 bulan lagi kita selesai ya?"

"Iya, kita pasti merindukan saat-saat magang ini."

"Pasti, aku gak sangka masa internship itu menyenangkan. Oh ya El, rencana kamu ke depannya apa?"

"Aku sih ada rencana mau lanjut lagi ambil spesialis paru."

"Wow, keren. Di mana? Luar negri?"

"Enggak, Indonesia saja. Mungkin mau di Jakarta nanti. Kalau kamu?"

"Aduh aku belum ada kepikiran untuk lanjut, aku mau nikmati dulu prosesnya. Aku mau cari kerja di Magelang saja, sekalian buka praktek nanti."

"Bagus juga tuh Rin, langsung terjun ke lapangan."

Tiba-tiba telepon genggam Karin berbunyi, obrolan mereka terputus. Karin bicara sangat santai dengan orang yang menghubunginya. Sepertinya orang yang sangat dekat dengan dia.

"Siapa Rin?" tanya Eliza ketika Karin sudah menutup teleponnya.

"Sepupu aku, baru datang dari Jakarta. Dia cariin aku ke rumah, suruh aku pulang sekarang."

"Terus mau pulang sekarang?"

"Gak apa-apa kan El? Soalnya dia sudah ribut suruh aku pulang sekarang. Katanya sepi gak ada aku di rumah."

"Ya sudah gak apa-apa, mau aku antar gak? Kamu lagi gak bawa kendaraan kan?"

"Iya sih, tapi kita kan beda arah."

"Kebetulan aku mau ke Artos. Sekalian saja."

"Oh ya sudah, yuk."

Karin akhirnya diantar Eliza ke rumahnya, sampai di rumah Karin suasana rumah Karin cukup ramai.

"Gak mampir dulu El?"

"Enggak deh Rin, lain kali saja. Kamu juga kedatangan tamu kan? Gak enak ah…"

"Gak apa-apa sih El, itu cuma sepupuku yang baru pindah tugas ke Magelang. Bukan tamu spesial kok," bujuk Karin.

"Gak deh Rin, lain kali saja deh."

"Ya sudah deh kalau gitu, aku turun dulu ya. Sampai ketemu besok El…"

"Iya Rin…"

Eliza lansung mengemudikan mobilnya menuju Artos, mall yang ada di kota Magelang. Dia ingin membeli sesuatu di sana, sekalian ingin mencuci mata. Saat melewati koridor mall, Eliza meliha bioskop. Seketika dia mengingat Eric, mengingat masa-masa mereka pacaran ketika SMA dan kuliah. Tempat kencan favorit mereka adalah bioskop. Timbul niat Eliza menghubungi Eric.

"Halo El…" sapa Eric dari seberang.

"Lagi sibuk gak Ric?"

"Ehmm, gak terlalu sih. Kenapa El?"

"Kamu lagi dimana?"

"Di kantor, kenapa sih El?"

"Aku kangen kita nonton Ric," rengek Eliza.

"Astaga El, kamu telepon aku cuma mau bilang ini?"

"Iiihhh, kamu gak mau dikangenin?"

"Ya mau dong Sayang…"

"Ya sudah…"

"Ya sudah apa?"

"Jogja Magelang itu kan gak jauh Ric, kenapa sih harus Sabtu doang datangnya?"

"Kamu kalau kangen, susah ya ngomongnya. Bilang saja kalau kamu kangen aku, dan minta aku datang ke sana sekarang, iya kan?"

"Nah, itu kamu tahu…"

"Dasar kamu ya, dibilangin pasti saja ada jawabannya."

"Aku tunggu ya…"

"Gak apa-apa kamu tunggu 1 jam?"

"Gak apa-apa Ric, aku tunggu di Artos. Oke?"

"Oke deh, ya sudah tunggu aku ya Sayang…"

Eliza menutup panggilannya dengan senyum sumringah. Eric memang tidak akan mampu menolak permintaan Eliza, apapun itu. Bagi Eric, Eliza adalah hidupnya. Dia akan mendahulukan Eliza dibanding yang lain.

Sekitar satu setengah jam, akhirnya Eric tiba di Artos, dia langsung buru-buru menuju bioskop. Eric menghampiri Eliza yang sedang duduk di sofa dengan nafas terengah-engah.

"El... huft…" Eric masih terengah-engah.

"Ya ampun Ric, duduk dulu sini. Kamu sampai keringatan gitu…"

"Iya, aku gak mau kamu kelamaan menunggu. A-aku gak enak…"

"Iya tapi gak gini juga dong caranya Ric. Aku yang gak enak jadinya…"

"Gak apa-apa, sudah santai saja."

Eliza menatap Eric, ada rasa bersalah di hatinya.

"Sudah gak apa-apa El, kamu sudha beli tiketnya belum?"

Eliza menggeleng pelan.

Eric merogoh sakunya, mengeluarkan dompet dan memberikannya pada Eliza, "Kamu beli tiketnya gih, mau nonton apa terserah, aku ikut saja."

Eliza menerima dompet Eric, tapi wajahnya tidak berpaling sama sekali dari Eric.

"Kok malah diam saja, jadi nonton gak?"

"Aku gak enak sama kamu Ric…"

"Kan aku sudah bilang, aku baik-baik saja."

"Benar?"

"Iya dong Sayang, sudah ah beli tiketnya sana."

Eliza mengangguk dan pergi membeli tiket, walau hatinya tetap masih merasa bersalah. Kalau sampai Eric jatuh sakit lagi, dia tidak akan sanggup memaafkan dirinya sendiri.

Selama menonton, Eric beberapa kali memegangi dadanya. Keringatnya juga tidak berhenti mengucur. Eric juga merasa dadanya sesak, tapi dia menahan itu semua. Dia tidak ingin Eliza mengkhawatirkannya. Tapi melihat kegelisahan Eric, Eliza paham Eric tidak baik-baik saja.

"Ric, dada kamu gak enak ya?"

"Hah? Enggak, biasa saja kok."

"Wajah kamu pucat loh."

"Pucat gimana? Gimana kamu bisa lihat wajahku pucat El, tempat gelap gini kok…" ujar Eric.

"Ric, tangan kamu saja dingin loh."

"Kan kita di ruangan ber-AC."

"Ric, aku tuh dokter loh…"

Eric diam, dia tidak bisa membantah lagi.

"Kita ke luar yuk," ajak Eliza.

"Loh, filmnya kan belum selesai Sayang…"

"Sudah, ayo…"

Eric mengikuti Eliza ke luar ruangan, Eliza menggandeng tangan Eric. Kemudian mereka duduk di sofa bioskop.

"Ric, dada kamu masih sesak gak?"

"Enggak El, aku…"

"Ric kamu jawab saja pertanyaan ku sekarang, kamu jangan pikir yang lain-lain," tegas Eliza.

"Oke, iya aku jawab deh. Iya, dadaku sedikit sesak. Tapi ini sudah membaik, gak seperti tadi lagi."

"Sekarang kamu tarik nafas pelan-pelan, terus hembuskan. Coba beberapa kali."

Eliza mencoba memberikan pertolongan untuk Eric, dan untungnya kondisinya mulai membaik. Keringatnya sudah berhenti, wajahnya juga tidak terlalu pucat lagi.

"Lain kali, jangan seperti ini ya Ric…"

"Seperti ini apa?"

"Ya maksud aku, gimana ya ngomongnya. Salah aku juga sih, kenapa harus suruh kamu sekarang ke sini…"

"Heiii bicara apa kamu? Aku kan sudah membaik."

"Iya, tapi gara-gara aku kamu jadi memaksakan diri, maafin aku ya Ric," ucap Eliza lirih.

"Sudah, bukan salah kamu. Aku saja yang staminanya payah," ucap Eric tidak kalah lirihnya.

"Ric, jangan gitu ah."

"Memang iya kok, baru lari-lari sebentar saja sudah sesak. Payah."

"Ric, aku gak mau kamu bicara seperti itu. Yang penting kita sudah tahu, sekarang kamu belum bisa terlalu capek jadi kita jangan memaksakan lagi. Ya?"

Eric mengangguk dan tersenyum, "Eh, El aku sepertinya sesak lagi nih…" ucap Eric dengan panik.

"Hah? Sesak lagi?" Eliza langsung ikut panik.

"Iya, aku butuh nafas buatan. Tolong berikan aku nafas buatan sekarang…" Eric mengerucutkan bibirnya dan mengarahkan pada Eliza.

"Aaahhh… nyebelin. Gak suka ah…"

"Bercanda Sayang, kamu lucu kalau lagi senewen gitu…"

"Gak tahu ah…" gerutu Eliza kesal.

Setelah kejadian saat itu, Eliza tidak pernah lagi memaksakan Eric datang untuk mengunjunginya. Eliza lebih memilih dia yang akan menemui Eric ke Jogja.


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C8
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login