Download App

Chapter 2: Bab 2-Kuliah

Zoya menguap lebar. Mata Kuliah Mikrobiologi berlalu begitu saja di telinganya. Semalaman dia sibuk menyelesaikan laporan praktikum yang audzubillah banyaknya. Lewat pukul 2 dinihari dia baru memejamkan mata. Ajaibnya, Mata Kuliah Mikrobiologi yang jadwalnya jam 9.00 dimajukan ke jam 7.00 dengan seenaknya oleh dosen muda yang sekarang sedang berbicara berapi-api di depan kelas.

"Zoya! Tolong ulang apa yang telah Bapak jelaskan tentang jenis bakteri yang sanggup bertahan hidup di suhu lebih dari 250 derajat Celcius tadi?!"

Gadis cantik itu tentu saja gelagapan setengah mati sambil berusaha keras membuka matanya lebar-lebar. Disambut gelak tawa teman-temannya karena raut muka mengantuk Zoya jadi lucu sekali. Mirip dengan anak kucing yang tertidur lalu diam-diam didekatkan udang goreng ke hidungnya.

"Eh, ehm, bakteri termofilik, Pak?" dengan gagap Zoya menjawab. Matanya benar-benar melotot 100% sekarang. Gelegar ketawa teman-temannya tadi menggugah penuh kesadarannya. 

Sang Dosen muda yang sudah bergelar Doktor itu mengangguk-angguk sambil tersenyum puas.

"Kalian dengarkan itu semua. Zoya yang sudah dalam posisi tertidur saja bisa menjawab pertanyaan. Nah, belajarlah dari Zoya bagaimana cara dia memahami kuliah sembari tertidur."

Kembali terdengar suara riuh ketawa. Zoya meringis. Sementara Sang Dosen yang bernama Dr. dr. Abdullah Perwira itu melemparkan pandangan simpatik kepada Zoya. Dia tahu Zoya adalah mahasiswi paling cerdas yang pernah diajarnya. Gadis itu rajin belajar dan gemar membaca buku. Doktor Wira sering sekali melihat Zoya duduk dengan tekun di perpustakaan kampus. Berjam-jam lamanya. 

Secara tidak sengaja Doktor Wira sering menjumpai Zoya di perpustakaan. Dia juga suka membaca. Diam-diam dosen muda yang tampan itu mengamati Zoya dalam beberapa kesempatan. Gadis muda yang sangat menarik. Cantik, pintar, lucu, dan aktif dalam kegiatan organisasi Islam di kampus. Belum lagi Zoya juga sangat menyukai olahraga terutama Badminton. Zoya adalah andalan Fakultas Kedokteran IPB dari cabang olah raga Badminton jika ada turnamen tingkat universitas. Tidak selalu juara tapi setidaknya Zoya selalu naik podium. Karena memang seringkali hanya 3 fakultas yang mengirimkan wakilnya ke turnamen.

Kuliah Mikrobiologi selesai. Zoya membereskan tas. Telah mendekati waktu Dhuhur. Dia sudah janjian dengan Fatimah dan Anisa untuk ketemu di Masjid Al-Hurriyah. Mereka akan sholat bareng di sana sekaligus menyambut tantangan berapi-api Zoya apakah berani berhadapan dengan cecunguk majnun dari Teknologi Kelautan di sana.

Mata Zoya bertemu dengan mata Doktor Wira saat hendak keluar ruangan. Doktor muda itu melambaikan tangan memberi isyarat untuk mendekat. Zoya melangkah ragu. Ada apakah dosen favorit para mahasiswi ini memanggilnya? Apakah karena dia tertidur tadi? Perut Zoya tiba-tiba agak mules.

"Zoya, apakah kamu berniat melanjutkan kuliah S2 nanti?" Mata Zoya membelalak. Wah, dia salah duga!

"Iya Pak Abdul. Saya ingin sekali mengambil spesialisasi."

Ganti mata Doktor Wira yang terbelalak. Pak Abdul? 

Zoya menyadari kekeliruannya. Dosen ini biasa dipanggil dengan sebutan Doktor Wira atau Pak Wira. Tapi Zoya diam saja dan tidak mengkoreksi. Kan betul namanya Abdullah Perwira.

"Kalau begitu sebaiknya kamu mulai aktif mencari tahu spesialisasi apa yang tepat untukmu kelak." Doktor Wira memberikan saran lanjutan. Zoya mengangguk pasti. Seandainya ada, dia ingin mengambil dokter spesialis isi hati. Supaya dia tahu isi hati orang dan tidak pernah terkena pasal suudzon.

"Ada lagi Pak?" Zoya bertanya sopan. Menunggu. Doktor Wira menggeleng. Zoya mengangguk. Adegan yang jika dilihat dari jauh seolah fragmen drama percintaan yang paradoks di mana yang satu menolak dan satunya mengiyakan.

Zoya melangkah keluar kelas dengan terburu-buru. Dia bisa terlambat memergoki pemuda majnun itu kalau tidak segera tiba di masjid. Apalagi Fatimah dan Anisa terkenal galak kalau segala sesuatu tidak on time. Bisa-bisa dia keluar uang ekstra untuk mentraktir mereka mie ayam Dramaga yang enak itu.

Setengah berlari Zoya tiba di Masjid Al-Hurriyah. Belum nampak motor RX King di parkiran. Aman. Tapi dua orang penjaga kuburan itu sudah duduk di serambi masjid sambil menghitung satu dua tiga. Ahh, Zoya merogoh saku bajunya. Masih ada selembar seratus ribuan. Cukup untuk membayari mereka mie ayam. Harga seporsi mie ayam Dramaga 25 ribuan.

"Kau tahu apa hukumannya jika terlambat, Nona si Paling Telat?" Fatimah memonyongkan mulutnya. Anisa mendecakkan lidah. Sudah terbayang semangkok mie ayam panas yang asapnya mengepul di pelupuk matanya.

Zoya hanya menunduk lesu. Tapi mendadak mengangkat kepalanya penuh semangat. Dia mengangkat telunjuknya ke atas sambil memiringkan kepala. Isyarat bagi Fatimah dan Anisa agar mendengarkan dengan seksama. Kedua gadis itu ikut memiringkan kepala. Jika dilihat dari samping, posisi ketiga gadis itu persis tiga replika Patung Pancoran. 

Suara RX King menggema keras di kejauhan. Fatimah dan Anisa mengepalkan tangan. Mengikat jilbab mereka ke belakang dan bersiap. Zoya bergidik ngeri. Fatimah dan Anisa mirip emak-emak yang sedang hendak berebut minyak goreng subsidi yang stoknya terbatas.

Namun suara cempreng keras itu perlahan menghilang. Semakin menjauh. Zoya ganti yang mengepalkan tangan. Sepertinya si Majnun tidak jadi ke masjid. Rencananya bisa berantakan. Sudah susah-susah pula dia membawa dua pendekar wanita ini. Hhhhh!

Akhirnya ketiga gadis itu meredam emosi dengan makan masing-masing seporsi mie ayam setelah menunaikan sholat. Warung mie itu memang tidak terlalu jauh dengan Masjid Al-Hurriyah dan kampus Fakultas Kedokteran. 

"Namanya Faris Aji Samudra. Panggilannya Faris atau Aris. Anak Teknologi Kelautan Fakultas Perikanan. Ganteng, populer, aktifis, begajulan, suka berantem, suka musik metal, suka naik gunung, suka menyelam, perokok tapi tidak pemabuk. Olahraga yang disukainya pencak silat dan sepakbola. Olahraga yang tidak disukainya badminton dan tenis meja. Tipe gadis yang disukainya; belum diketahui. Masih dalam penyelidikan. Sekian!"

Anisa membaca selembar kertas di tangannya seperti dukun tua yang sedang membaca mantra panjang. Zoya ternganga. Apa-apaan nih?

"Kegemarannya membaca novel action thriller. Pintar mengaji. Pernah jadi juara lomba qiroah tingkat kabupaten di daerah asalnya. Tapi info yang ini masih dicek kebenarannya karena tidak ada saksi mata yang pernah mendengarnya mengaji di asrama."

Fatimah melanjutkan sambil juga membaca sehelai kertas yang terbuka di tangannya. Zoya untuk kedua kalinya ternganga. Bahkan kali ini dalam waktu yang cukup lama karena begitu takjub mendengar info intelijen dari dua sahabatnya tersebut.

Jelas sekali bahwa informasi tersebut didapat melalui riset yang cukup panjang. 

"Aku harus memberikan upeti 5 bungkus Silverqueen ukuran jumbo untuk para informan." Anisa melambaikan kertas tersebut.

"Aku tidak. Aku hanya mesti membayari informanku tiket bioskop." Fatimah meredam kecemasan Zoya yang mulai memuncak. Astaga. Bisa-bisa aku merengek minta kiriman lagi ke Abangnya.

Zoya bernafas lega. Silverqueen 5 bungkus tidak masalah. Matanya menatap Fatimah setengah curiga.

"Habis berapa membayari tiket bioskop?"

Fatimah nyengir; "Lima ratus ribu." 

Zoya terbelalak. Sebanyak itu?

"Iya. Soalnya informanku anak kos di sebelah asrama Faris."

"Kok mahal?" Zoya mendelik.

Fatimah nyengir lagi.

"Anak kosnya berjumlah 10 orang."

Hah?! Zoya menepuk jidatnya.

**


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login