Download App

Chapter 2: Chapter 02 : Dua pilihan yang bimbang

(Sillim-Dong, Seoul, September 2019)

Bangunan bergaya kuno yang masih terlihat kokoh dengan pohon cemara nan rindang di depan teras Panti Asuhan Cahaya. Walau di sekitarnya nampak banyak pepohonan namun bagi anak-anak panti, pohon cemara adalah satu-satunya pohon yang menjadi daya tarik mereka. Selain kokoh, pohon cemara juga bisa disebut sebagai pohon keberuntungan.

Jam berangkat sekolah sudah dimulai,  anak-anak panti sedang mempersiapkan diri untuk berangkat ke sekolah. Mereka semua masih dini,  terkecuali salah satu anak panti yang kini menginjak usia remaja, saat ini ia menduduki kelas akhir di SMA.  Sebut saja Gae Ha-Ni, gadis yang hangat terhadap anak-anak panti ini sudah tumbuh besar. Sayangnya ia selalu menolak permintaan adopsi dari orang lain dengan alasan yang sama,  yakni dirinya belum melupakan orang tua kandungnya. Karena sekarang ia sudah dewasa, jadi ia tidak pernah lagi mendapat tawaran adopsi. Rambutnya yang berwarna coklat kehitaman itu kini dipotong menjadi pendek sebahu, matanya yang biru itu memancarkan aura dingin dengan balutan seragam SMA nya. Cantik, kini ia tumbuh sangat cantik. Tak hanya menjadi anak panti yang tertua, namun ia juga membantu merawat anak panti lainnya layaknya seorang pengasuh.

Saat ia hendak pergi ke sekolah ia melihat sebuah mobil sedan berwarna abu-abu memasuki area panti. Apakah ada anak yang beruntung di sini? Gae Ha-Ni begitu senang karena ada seseorang yang ingin mengadopsi anak di sini. Gae Ha-Ni memandangi sejenak lalu mengenakan sepatu hitamnya dalam hitungan detik. Langkahnya berjalan menyusuri area yang menuju pintu keluar. Cahaya matahari langsung menghangatkan tubuhnya begitu ia melewati pintu keluar. Langkah demi langkah ia menuruni tangga yang tak begitu banyak. Ia terus berjalan menuju tempat parkir sepeda, karena ia harus bersepeda jika hendak pergi ke mana pun.

Sambil menaiki sepedanya, entah kenapa perasaan yang sama di mana saat dirinya masih duduk di bangku SMP hendak diadopsi oleh beberapa orang itu tiba-tiba muncul.  Benar-benar seperti pengganggu. Ia terus mengayuh pedal sepedanya melewati gerbang utama panti sambil menikmati angin pertama di musim gugur.

***

"Jadi...anda berniat mengadopsi seorang anak yang duduk di bangku SMA?" Ekspresi heran dan kaget itu terbersit di wajah pengasuh panti.  Pikirannya tertuju pada Gae Ha-Ni.

"Begini...bukannya pihak kami tak setuju tapi ada satu anak di sini yang masih SMA, terlebih lagi akan sulit membujuknya. Sudah berkali-kali dia menolak diadopsi sejak SMP." Jelas pengasuh Panti sambil memperbaiki kacamatanya yang terlihat baik-baik saja.

"Tidak apa-apa. Kami akan berusaha membujuknya. Kami akan terus membujuknya agar bisa mengobati rasa sakit ini setelah kematian putri kami satu-satunya." Wajah pasangan yang berumur 50 tahunan itu terlihat seperti belum merelakan kematian putrinya. Bagaimanapun mereka hanya ingin anak yang sebaya dengan anak kandungnya.

Pengasuh tersebut benar-benar mengkhawatirkan bagaimana Gae Ha-Ni menanggapi hal ini. Ia meminta pasangan itu menunggunya, di saat itu pengasuh tersebut meminta pihak sekolah Gae Ha-Ni untuk mengizinkan Gae Ha-Ni pulang.

Bukan hanya sekali dua kali, namun Gae Ha-Ni menolaknya sebanyak empat kali. Mungkin saja kali Ini kelima kalinya. Pengasuh yang duduk di ruang kerja itu melepaskan kacamatanya dan memijat keningnya yang pusing.

Nuansa hangat di ruangan itu dengan latar dinding yang dilapisi cat berwarna putih itu membuat kesan bersih dan hangat.

Pasangan berumur itu terlihat menunggu di ruang tunggu sambil memandangi setiap sudut di mana ruangan itu dipenuhi dengan angin angin sejuk. Ruangan dengan bangku panjang yang memutari ruangan persegi itu serta membiarkan bagian tengahnya dibiarkan kosong dan bagian sisi lain diisi dengan pintu masuk ruangan tersebut. Pasangan tersebut tak lain adalah pemilik sekolah yang ditempati Gae Ha-Ni.

***

Saat ini ruang kelas 12 itu terlihat sangat tenang, melihat keadaan dimana seluruh siswa sibuk mempersiapkan ujian untuk kelulusan nantinya. Ada yang memutarkan kursi untuk belajar bersama, ada yang tak peduli sama sekali, ada pula yang menyendiri. Itulah Gae Ha-Ni, gadis dingin yang selalu menyendiri. Namun dialah yang terpintar di kelasnya, walau kemampuan sosialnya kurang tapi disaat mengenai urusan organisasi ialah juaranya. Dari sisi lain ia sangat dewasa, tidak banyak bercanda. Ia sangat pandai membedakan mana urusan pribadi dan bersama.

—Klotak.. Suara sepatu wanita yang terdengar menuju kelas mereka, tak lain adalah wali kelas mereka. Suara pintu yang terbuka begitu terdengar. Seluruh siswa di kelas 12 itu menghentikan aktivitasnya dan siap menyambut wali kelasnya.

"Jadwal hari ini adalah belajar mandiri di ruang belajar. Teruslah belajar dan dapatkan mimpimu menjadi kenyataan. Selain belajar,  kalian bisa menemui guru pelajaran masing-masing untuk pengetahuan tambahan. Apa ada tambahan? Kalau tidak ada saya akhiri, serta untuk Gae Ha-Ni silakan ikut saya." Wali kelas yang terlihat muda itu dengan anggunnya mengenakan setelan guru berwarna hitam, dengan riasan lipstik berwarna peach berdiri di mimbar guru dengan latar belakang papan tulis hitam putih. Jendela di samping para siswa begitu lebar sehingga bisa menghangatkan seisi ruangan yang terlihat modern. Bahkan ada televisi gantung di sana.

Mengingat Gae Ha-Ni dipanggil mungkin saja ada perintah dari wali kelasnya karena dirinya merupakan ketua kelas 12. Ia mengikuti langkah wali kelasnya menuju ruang guru, sementara siswa lain berjalan ke arah berlawanan menuju ruang belajar bersama. Sesampainya di ruang guru yang terlihat penuh itu membuat suasana menjadi sedikit panas, karena banyaknya barang-barang yang dimiliki setiap guru. Auranya berbeda dengan di luar sana. Hal itu sudah biasa bagi Gae Ha-Ni yang sering dipanggil ke ruang guru.

Melihat keadaan hanya ada beberapa guru yang menyibukkan diri dengan urusannya masing-masing sembari menunggu jam mereka dimulai. Wali kelas menduduki tempatnya lalu memandangi Gae Ha-Ni.

"Pihak panti menyuruh untuk memulangkanmu. Sebelum itu saya ingin menanyaimu tentang pendidikan selanjutnya."

"Melihat kemampuanmu yang begitu baik, bukankah kau ingin melanjutkan ke jenjang kuliah? " Tanya wali kelas dengan aura yang hangat itu sambil menyilangkan kakinya.

"I-itu...saya tidak ber..."

"Jangan menyerah pada kesempatan yang ada. Bisakah kau memikirkannya saja? Dengan kemampuanmu, kau kemungkinan besar bisa masuk ke *SNU. Pikirkan baik-baik ya, ini perintah dari ibu sebagai wali kelas." Wajah segar yang dimiliki begitu terpancar membuat hati Gae Ha-Ni tak bisa menolaknya. Daripada itu, bagaimana jika pengasuh kerepotan dengan anak panti jika ia memilih kuliah.

*Seoul National University

"Hmmm.. Kalau begitu saya akan memikirkannya."

"Benarkah? Kalau begitu ambil ini dan kau bisa mengemaskan barang-barangmu." Sambil memberikan prosedur penerimaan mahasiswa SNU.

Begitu melihatnya Gae Ha-Ni menerimanya dan menundukkan kepalanya untuk pamit keluar. Gae Ha-Ni melangkah keluar begitu membuka pintu ruang guru sambil memandangi prosedur yang diberikan wali kelasnya tadi. Pikirannya jadi kalut. Bagaimana ini? Gae Ha-Ni terus memikirkan anak-anak panti akan nasibnya jika ia memilih kuliah.

Sejak ia menduduki kelas 10, ia sudah dianggap orang tua oleh anak-anak panti karena sikapnya yang begitu pandai dalam merawat anak panti. Gae Ha-Ni terus berjalan hingga sampai di depan kelasnya. 

Mengapa pengasuh memintaku pulang lebih awal? Gumamnya sambil memasukkan prosedurnya kedalam tas. Ia bergerak membawa tasnya lalu keluar menuju tempat parkir di mana sepeda miliknya selalu terparkir di situ.

Tak memakan banyak waktu untuk turun dari ruang kelas yang letaknya di lantai 3 itu. Hanya 10 menit ia langsung menuju area parkir sambil melewati pohon-pohon yang tengah menggugurkan daunnya. Jalanan begitu dipenuhi oleh daun berwarna coklat kekuningan. Kakinya terus melangkah demi bertemu sepedanya. Tak banyak waktu terbuang, ia langsung mengambil sepedanya yang berwarna biru tua itu. Gae Ha-Ni menaikinya lalu mengayuh pedal sepedanya.

***

"Hei.. Hei Kwon Jin! Tunggu aku!" Teriak salah satu teman pria satu jurusan itu. Semalam Kwon Jin sengaja menginap di rumah kontrakan milik temannya. Kwon Jin merasa sesak dan tidak nyaman di Dika tinggal di rumah orang tuanya, lantaran ibunya sering membicarakan tentang mencarikannya calon istri untuknya. Bagaimana pernikahan seseorang harus diatur.

Pria itu terus mengejar Kwon Jin sambil berteriak memanggil namanya tanpa peduli di sekitarnya. Jam masih menunjukkan pukul 10 pagi, mereka akan menjalankan perkuliahannya di kampus. Baginya di usia 25 itu masih belum terlalu memikirkan pernikahan, jika terburu-buru bisa jadi pernikahan itu mungkin tak berjalan mulus.

Aspal di jalan gang dengan jejeran rumah warga yang tidak terlalu besar itu dilalui Kwon Jin, tiang listrik yang berjejer tiap 50 meter begitu kokohnya hingga menjulang tinggi. Ia terus berjalan kira-kira 200 meter lagi untuk sampai di kampusnya. Tak sampai disitu, temannya pun akhirnya berhasil menghampiri Kwon Jin dengan nafas yang terengah-engah. Tatapannya menyeramkan itu langsung mengucapkan kata kata mengumpat, namun Kwon Jin hanya terdiam karena hal seperti itu tak dianggap penting baginya.

***

Pengasuh utama Panti Asuhan Cahaya tengah membawa nampan yang berisi beberapa snack dan 2 gelas kopi yang mungkin bisa menyegarkan tubuh kedua pasangan tersebut. Ia terus berjalan membawanya ke area ruang tunggu dengan wajah yang berharap supaya Gae Ha-Ni menerima tawaran dari mereka.

"*Aigoo..ini silahkan nikmati kopinya sembari menunggu anak itu. Sebentar lagi mungkin saja sampai." Pengasuh itu memasuki ruang tunggu yang berdinding kaca lalu meletakkan nampannya di samping pasangan itu tepatnya di atas bangku panjang.

*Ya Tuhan

"Ah.. Terima kasih banyak. Ngomong-ngomong disini cukup nyaman juga untuk orang yang ingin sendirian." Pria yang terlihat agak keriput itu memandangi sudut langit-langit sambil memperbaiki kacamatanya yang tampak baik-baik saja.

"Sebenarnya, jika anak-anak pulang tempat ini akan benar-benar sangat ramai dan berisik."

Pengasuh yang tadinya berdiri itu menyempatkan diri duduk di dekatnya supaya bisa mengobrol dengan santai.

***

Wanita yang biasa dipanggil Yu-Ni itu terlihat menutup dirinya dengan selimut di atas ranjang. Ia terus-menerus memikirkan cara yang bisa menemukan ibu kandungnya. Dengan kamar yang luas dan arsitekturnya yang khas sudah pasti ia diadopsi. Tak mungkin jika dirinya pemilik semua ini lantaran ia dibuang oleh ibu kandungnya sendiri sejak umur 11 tahun.

—Tok..Tok.. ketukan pintu yang terdengar lembut itu sembari memanggil namanya dari luar. Hwang Yu-Ni sontak terbangun dan merespon panggilan ibu angkatnya. Ia menggeser selimutnya dan mengenakan sandal nya lalu melangkah menuju pintu kamar.

—Ceklek.. Ibu angkat Hwang Yu-Ni yang bernama Hwang Ri-Ni itu menyuruhnya turun untuk makan siang. Tradisi keluarga yang sengaja terbentuk karena marga Hwang itulah selalu membuat masyarakat berdecak kagum mulai dari suami, istri hingga anak angkatnya bermarga Hwang. Tak mengerti apa alasannya.

Walau masih jam 11 siang makan siang tetap dilakukan lebih awal. Hwang Yu-Ni adalah seorang lulusan sarjana arsitektur yang masih melajang karena terlalu sibuk dengan proyeknya serta mencari ibu kandungnya. Ia turun melewati tangga demi tangga untuk menuju meja makan. Beberapa makanan yang begitu lezat hidangkan dengan baik di atas meja. Hwang Yu-Ni duduk di kursi meja makan dengan rambutnya yang diikat kebelakang.

"Setelah ini aku akan mampir bertemu temanku. Bolehkah?" Kata-kata itu jelas ditujukan kepada kedua orang tua angkatnya. Kata 'teman' yang dimaksud adalah Hwang Yu-Na, adik kembarnya. Hwang Yu-Ni hanya menutupi kata-katanya dengan  kebohongan.

***

Andaikan saja ada bidadari yang bisa menghiburku, aku pastikan untuk tersenyum.

Andaikan saja ada peri kecil yang muncul di setiap tidurku, aku pastikan untuk terbangun dan menarikmu keluar dari mimpiku supaya aku bisa melihatmu dalam kenyataan.

Tapi,..kenapa semua itu mustahil?

***


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login