Jam sembilan malam, markas kepolisian mulai sepi, kecuali yang bertugas malam. Tristan mengetuk-ngetukkan jarinya di meja kerjanya, matanya mengamati terus tujuh benda yang dibungkus plastik klip bening berbagai ukuran. Ketujuh benda itu berhasil ditemukan di dua TKP berbeda sekaligus.
Diseberangnya, tampak Luki tak kalah keras berpikir. Hanya mereka berdua yang ada di ruangan itu. Tiga lainnya kembali ke unit masing masing setelah menyisir TKP kedua maghrib tadi. Ada tugas lain yang harus mereka lakukan. Ya, tumpang tindih tugas.
"Sejauh ini, dari tiga TKP yang kita investigasi ulang, kita sama sama menemukan ini." Tristan menunjuk dua foto disana, foto bercak dan percikan berwarna merah gelap. Satu ditemukan di De Coffee Code, satu lagi di Huntington House, sebuah studio fotografi tidak jauh dari De Coffee Code.
"Keduanya sama sama ditemukan di lantai, dan analisis forensik menunjukan hasil yang sama. Hemoglobin itu ada di kandungan keduanya," lanjutnya.
Luki mengangguk, "Jauh dari kata kebetulan. Ini pasti ada sesuatu dibaliknya."
"Ya, pasti. Seolah benda ini tercecer atau dicecerkan. Dengan sengaja," respon Tristan.
"Tapi satu benda ini agak berbeda." Tristan ganti menunjuk sebilah kayu berwarna agak terang sekitar setengah meter dengan bercak yang sama di tengah tengahnya.
"Dilihat arah bercak merah tua ini menyudut ke bawah, ini berarti ia terjatuh dari atas, baru ke lantai."
"Posisi setengah meter ..." Tristan menghadap Luki, menunjuk pinggangnya sendiri, "Setengah meter itu sekitar sepinggang."
Luki kembali mengangguk paham, "Apa mungkin seseorang membawanya, dan benda itu menetes disana?" tanyanya.
"Bisa jadi. Jika Saya ayunkan tangan seperti ini ..." Tristan kembali memberikan visualisasinya, "Akan setinggi setengah meter atau kurang, setinggi bercak merah ditengah kayu ini," terangnya.
"Benar, Kapten. Seseorang berarti memang telah mengubah TKP melalui jejak ini."
Tristan mengangguk, "Dan kursi itu ... menghilang. Saya bahkan menyisir ulang area sekitar TKP setelah Jevan, dan tidak menemukannya."
"Dua noda memudar di kursi ber cat coklat tua di lantai dua ini masih menjadi misteri. Itu terbentuk karena korosif, ditemukan juga hidrogen peroksida disana. Tapi anehnya, tak ditemukan keberadaan pelarut kimia itu." Luki menunjuk dua foto yang tersisa.
Tristan menghela nafas, mengusap wajahnya kasar, "Ya, tapi penyebab terbentuknya bercak itu saja sudah cukup membuktikan kalau hidrogen peroksida terlibat, dan memainkan peran dalam kejanggalan TKP ini," responnya.
"Lalu bagaimana selanjutnya, Kapten? Apa kita tetap akan menyisir ulang sembilan TKP lainnya?"
Tristan mengangguk kemudian, "Ya. Sebelum kita menemukan jejak pelaku, semua TKP perlu diinvestigasi ulang."
"Saya yakin, ada bukti yang akan merujuk ke pelaku dari kedua belas TKP itu. Baik langsung ke identitasnya, atau percabangan identitas itu."
****
Bella duduk di meja kerjanya, memeriksa kembali rencana kerja penelitian selama satu tahun penuh yang akan segera Ia bagikan pada kedelapan mahasiswa bimbingannya. Tidak hanya mahasiswa itu saja yang akan penelitian, Bella juga. Kerumitan penelitiannya akan jauh lebih tinggi, dan lebih dalam analisisnya.
Lembar demi lembar kertas A4 dalam satu folder Ia buka. Menandai bagian mana yang sekiranya perlu ditindaklanjuti, atau dikoreksi.
"Data base tahanan ..."
"Berarti harus ke? Mabes Polri."
Bella kemudian berpikir, bagaimana Ia mendapatkan data data itu sementara tak punya koneksi kesana.
"Tristan bisa bantu gak ya?" Bella meraih ponselnya, kali ini tidak ragu untuk mengirim pesan pada pria itu di jam sepuluh malam.
[iMess]
(Arabella El-Gauri)
Tristan, udah pulang?
Saya butuh bantuan Kamu untuk penelitian. Ada waktu gak buat diskusi minggu ini?
Pesan itu tak langsung terkirim apalagi terbaca. Bella maklum, mungkin Tristan sudah istirahat. Sengaja Ia tak ingin sekedar membicarakan kepentingannya via telepon, rasanya tidak sopan. Lebih baik bertemu langsung, Ia juga merindukan pria itu. Eh?
****
Dengan langkah yang sudah lelah, Tristan keluar dari lift nya begitu sampai di lantai 19 gedung apartemen tempat unitnya berada.
Lorong apartemennya itu sangat sepi. Wajar saja, ini jam sebelas malam.
Ponselnya yang automatis terkoneksi ke jaringan Wi-Fi kemudian bergetar beberapa kali di saku. Cepat Ia membuka pesan itu sembari berjalan. Paling juga manajer kafe atau grup kafe itu kembali ribut, membicarakan hal penting sampai random. Tristan malas sebenarnya, tapi dia juga takut kalau tertinggal informasi penting di unit bisnis yang Ia rintis sejak kuliah itu.
[WhatsApp]
(Giavelo Cafe)
Jodi: Pelanggan rame banget sore ini. Kewalahan, kayaknya perlu tambahan di kasir sama reservasi nih, Bos Tristan
Lia: Bener, bos. Asli rame banget, deket kafe tuh sekarang ada co-working space baru, dan rame juga disana. Pelanggannya kesini pas istirahat.
Tristan: Yaudah Jod, hire lagi satu orang, maksimal dua. Terserah kamu mau dibuat part time atau full time.
Tristan menaruh kembali ponsel di saku ketika sudah sampai di depan pintu unit apartemennya. Segera Ia memasukan passcode di smart door lock dan masuk.
Begitu melewati ruang tamu ...
"ASTAGFIRULLAH! MBAK GIA!" teriak Tristan begitu mendapati seorang wanita berambut panjang dan berbaju putih menelungkupkan kepalanya di meja kaca ruang tamu. Itu Gia, kakaknya yang bisa mengakses apartemen sang adik kapanpun.
Sudah diteriaki, Gia tidak juga bergerak. Tristan lantas mendekat. Sepertinya kakaknya yang merupakan arsitek itu ketiduran selagi bekerja. Tampak kertas bergambar sketsa dan pensil dengan harga fantastis itu berceceran di meja.
"Mbak! Mbak Gia! Bangun, Mbak, pindah kamar sana!" Tristan menepuk-nepuk lengan Gia dari pelan sampai bar-bar.
Gia akhirnya merespon, dengan mata memicing dan mulut menguap, "Hah? Dah balik?"
Tristan menghela nafasnya kasar, lalu mendudukan diri di sofa sembari melepas jaketnya, "Iya. Ngagetin aja sih, Mbak. Gelap gelap gini make baju putih, tak kirain kuntilanak," ujarnya.
"Yeuu, ngawur! Aku ki lagi ada proyek di sekitar sini loh, males balik ke rumah sana jauh," jawabnya.
"Halah bilang aja mau ngirit ongkos toh?"
Gia menoyor kepala Tristan keras keras, "Gini gini juga Aku modal, bawain kamu makanan. Sana tuh ambil di dapur, bakso kesukaanmu," ujarnya.
Tristan sontak berbinar, seperti anak kecil yang mendapat es krim gratis. Ia bahkan berlari kecil ke dapur.
"Mbak kok banyak sawinya sih!" Tristan protes, membuat Gia geleng-geleng kepala. Adiknya itu masih saja tidak suka sayuran.
Hening kemudian, sepertinya Tristan sedang asik dengan racikan baksonya.
Tiba tiba ponsel Tristan di saku jaket itu bergetar beberapa kali, mengusik Gia yang tengah fokus kembali pada gambar-gambar bangunannya.
"Apa sih ah!" Gia menggeledah jaket Tristan, lanjut membuka ponsel adiknya yang tak pernah diberi passcode.
Detik berikutnya, matanya membulat seketika.
"Tristan? Kamu udah pulang?" Gia berteriak. Membacakan pesan dari Bella yang sepertinya baru saja masuk.
"Saya butuh bantuan kamu untuk penelitian. Apa ada waktu ..." Gia berlari membawa kabur ponsel Tristan karena adiknya itu kembali dari dapur dengan langkah supercepat untuk merebut ponselnya kembali.
"Siniin Mbak!"
"Ada waktu gak minggu ini buat diskusi?" Lanjut Gia tak menyerah, bahkan berjinjit agar Tristan tak bisa meraih ponselnya. Mampus, sudah pasti Ia akan habis diroasting malam ini.
"Heh! Kamu ada apa ini sama si Bella hah? Gak cerita cerita dih parah!"
Tristan akhirnya mendapat ponselnya kembali, "Diem, berisik!"
"Jawab dulu bocah!"
Tristan memejamkan matanya, menghela nafas, lantas mengangguk, "Iya. Aku sama Bella mau tunangan. Puas?"
Gia syok berat, dengan dramatis menutup mulutnya. Sementara Tristan? Ia kembali dengan baksonya di ruang tamu.
"Aaaaaaahhh! Adekku mau rabi? Astaga Tristan! Koe bukan gay toh selama ini?"
"Astagfirullahaladzim, Mbak. Aku iki normal lho!"
"Uuuw mumumumu Adekku sing paling ganteng akhirnya laku, terharu!" Gia ganti mengunyel-unyel pipi Tristan layaknya anak kecil dengan gemas. Tristan pasrah.