Download App

Chapter 2: Chapter 2: Crush?

Setelah memohon-mohon pada supirku agar pulang duluan meninggalkanku, akhirnya ia mau melakukannya.

Pak Min tadinya sangat kekeuh ingin menemaniku di taman kota. Mungkin itu perintah ayahku. Tapi toh aku tak peduli. Aku ingin hidup normal, dan salah satu caranya adalah dengan bertemu dengan remaja yang sebaya denganku.

“Jangan lama lama ya,” pinta Pak Min dari balik kaca mobil sebelum melaju pergi.

Di sinilah aku sekarang. Di taman kota yang terletak tak jauh dari rumahku. Tempat ini adalah tempat yang sedari kecil selalu ku datangi. Di taman ini terdapat arena khusus untuk bermain anak-anak, jogging track, tempat khusus untuk olahraga lansia, bicycle track, dan beberapa fasilitas lainnya. Beberapa pepohonan yang cukup rindang pun menambah suasana nyaman di sekitar sini. Rerumputan hijau yang luas dengan beberapa bunga yang bermekaran seakan menambah semarak taman ini.

Di beberapa sudut terdapat ayunan berwarna warni yang sudah cukup usang. Memang sedari dulu ayunan ini tak pernah diganti. Hanya warna catnya saja yang berubah-ubah. Ayunan itu sedikit berbunyi jika di duduki dan beberapa sisinya sudah berkarat.

“Minka!” panggil seseorang. Aku mengedarkan pandanganku dan mendapati sosok laki-laki berbadan tegap dengan alis mata tebal dan bola mata hitamnya berdiri di depanku. Kak Evan.

“Hey,” sahutku seraya tersenyum.

Astaga, Kak Evan sudah jauh berbeda di banding terakhir kali aku melihatnya. Dadanya bidang, lengannya berotot pula. Itu menandakan bahwa laki-laki ini selalu pergi ke tempat kebugaran tubuh. Belum lagi rambut halusnya yang dahulu berwarna hitam kini diganti dengan warna abu-abu. Mengejutkan. Ia terlihat jauh lebih dewasa. Namun ada satu yang tak pernah tergantikan di dirinya yaitu senyumnya yang tak pernah hilang dari bibirnya. Seolah-olah ia adalah dewa pembawa kebahagiaan di muka bumi ini.

“Kau masih sama seperti dulu, ya?”

“Maksudmu masih sama-sama manis?”

Kak Evan tertawa. “Kalau itu sih tak usah dibilang lagi.”

“Lalu maksudmu masih sama seperti dulu itu apa?” tanyaku. Ia tersenyum lagi. Rasanya anak ini menghabiskan sebagian besar hidupnya dengan tersenyum. Tak ada puasnya.

“Masih sama-sama terlihat seperti bayi.”

Aku memukul pundaknya dengan cukup keras, sampai-sampai ia mengaduh sambil memeganginya.

“Sakit, Ka,” rintihnya.

Aku membalasnya. “Makannya jangan goda aku!”

Perbincangan kami berjalan lancar. Kami saling menceritakan pengalaman satu sama lain setelah beberapa tahun berpisah. Kak Evan sekarang tengah menyelesaikan tahun terakhir kuliahnya di salah satu universitas ternama di Singapura. Ia mengambil jurusan IT. Aku tak heran lagi. Bisa kubilang Kak Evan adalah titisan dari Albert Einstein. Otaknya sedari dulu sangat encer. Buktinya ia bilang bahwa ia sudah beberapa kali mengikuti perlombaan dari internasional. Bahkan ia sudah bolak-balik keluar negeri seperti Jepang, Belanda, dan Finlandia untuk melombakan hasil ciptaannya.

Saking asyiknya berbincang-bincang, tanpa sadar 6 jam telah berlalu begitu saja. Hanya bercakap-cakap saja menghabiskan waktu 6 jam! Itu pun rasanya masih kurang. Masih banyak yang ingin ku ceritakan padanya. Aku masih ingin menceritakan tentang hobiku, hobinya, atau pun hal-hal menarik lainnya. Tapi klakson mobil Pak Min sudah memekakkan telinga kami berdua.

Lihat? Bahkan untuk bertemu dengan temanku pun masih dibatasi.

“Masih ada lain waktu. Tak apa,” ucap Kak Evan menenangkan kekecewaanku.

“Telepon saja kalau kau sedang galau.” Ia mengedipkan sebelah matanya padaku. Dasar cowok ini.

“Baiklah,” jawabku bitter bitter. “Bye, kak.”

Ia melambaikan kedua jarinya sembari tersenyum menenangkan. Aku pun masuk kedalam mobil dan kaget mendapati ayahku berada di kursi belakang.

“Ayah?”

Ayah masih melihat lurus kearah Kak Evan.

Oh tidak, ini akan jadi buruk.

“Teman kecilmu, ‘kan?” tanyanya. Aku hanya mengangguk. Ayahku juga mengangguk perlahan sembari mengelus-elus dagunya.

“Siapa orang tuanya?”

Mulai lagi. Selalu harus ku jelaskan asal usul orang yang dekat denganku.

“Ayahnya bernama David Chou. Dia orang Singapura dan arsitek yang bekerja di luar negeri. Ibunya namanya Mary Delia, pemilik rumah sakit swasta,” jelasku.

Mobil berjalan meninggalkan taman dan ayahku masih bungkam. Apakah ia marah denganku atau dengan Kak Evan? Semoga ia tak marah padanya.

“Kau jangan terlalu dekat dengan anak itu,” ucap ayahku tiba-tiba.

“Memangnya kenapa, Yah?”

“Pokoknya jangan.”

Ini yang kubenci dari ayahku.

“Aku mau tahu alasannya,” ucapku berani. Dia tak bisa selalu mengekangku.

“Kalau kau mau dekat dengan seseorang, ayah bisa mencarikan yang lebih baik.”

Aku terkesiap. Astaga. Rupanya sampai sebegitunya ia memandang pertemananku? Ini tandanya aku harus berdebat lagi dengan ayahku.

Aku menatap ayahku dengan tak percaya. “Kenapa ayah selalu seperti itu denganku?” tuntutku.

“Aku harus bilang berapa kali pada Ayah? Minka sudah besar, Yah. Sudah dewasa!” ucapku berapi-api. “Ayah jangan mengekangku terus. Aku tak suka!”

Ayahku menatapku dengan raut wajah tegang. “Ayah tak mau berdebat tentang masa depanmu Minka.”

“Tapi itu harus kalau Ayah selalu mengatur kehidupanku!” semburku. Aku sudah tak tahan lagi.

Ayahku mengalihkan pandangannya dariku ke Pak Min. Oh, aku hampir lupa bahwa ada orang lain selain Ayahku di mobil ini. Tapi biarlah. Toh ini bukan kali pertamanya aku bertengkar dengan Ayahku dihadapan Pak Min. Pasti dia sudah bisa memakluminya.

“Jangan membantah Ayah, Minka.”

Aku tak ingin membantahnya. Sungguh. Namun bagaimana mungkin aku membiarkan Ayahku bertindak semau hatinya?

“Aku hanya berteman dengan Kak Evan. Tak lebih. Apa itu suatu kejahatan?” tanyaku lelah.

“Sekali Ayah bilang tidak, ya tidak!”

Aku benci situasi ini.

“Ayah keterlaluan.” Hanya itu yang dapat kuucapkan. Lalu kami sama-sama diam selama sisa waktu menuju ke rumah.

Malamnya ketika sedang menikmati makan malam, Ayah datang bergabung.

Aku masih kesal dengannya. Aku harap Ayah berhenti menganggapku seperti anak kecil yang perlu di jaga. Aku juga berharap Kak Evan tak mendapat masalah gara-gara aku.

Ketika beranjak ke kamar, ayah menahanku tanganku. “Duduk sebentar, Ka.”

Dari cara bicara Ayah terkadang aku merasa ia memperlakukanku seperti seorang koleganya saja.

Aku membanting pantatku pada kursi makan. Menunggu Ayah mengatakan sesuatu.

“Kau masih marah pada ayah?”

Pertanyaan konyol. Tentu saja iya.

“Iya,” jawabku singkat.

“Minka, Ayah melakukan semua ini untuk kebaikanmu,” ucapnya.

“Kebaikan? Dengan membatasi pergaulanku?” potongku. “Apa Ayah sadar kalau selama ini aku tak pernah punya sahabat? Teman dekat? Tak ada, Yah,” imbuhku.

Ayahku memperhatikan dengan saksama. “Ayah tahu. Tapi bukan maksud ayah untuk membatasi pergaulanmu.”

“Tapi itu kenyataannya!” Aku memandang ayah dengan tajam. “Itu yang terjadi padaku.”

Ayahku mengusap dahinya lagi. Ia terlihat sangat letih. Sedetik setelahnya aku merasakan sedikit rasa sesal karena sudah membentaknya beberapa jam yang lalu.

“Maafkan aku, Yah. Aku tak bermaksud membantah. Aku hanya ingin berteman dengan orang yang ku pilih,” akuku. “Cuma berteman.”

“Ayah yang harus minta maaf denganmu Minka,” ucap ayah perlahan. Kemudian ayah menambahkan. “Baiklah. Kamu boleh berteman dengan anak tadi. Hanya... berhati hatilah.”

Aku tersenyum perlahan. Nyaris tak percaya dengan apa yang keluar dari bibir Ayahku. “Ayah serius?”

Pria yang menjadi single parent untukku itu mengulas senyum simpul.

Aku nyaris menyenggol gelas saking antusiasnya. “Terima kasih, Yah,” aku menuju ke arah ayah dan memeluknya dengan seyum terkembang.

“Ayah sayang kau, Minka. Cuma kau yang ayah punya,” ucapnya sembari mengelus rambutku.

Sial, aku tak ingin menangis di depan ayahku.

Jadi yang kulakukan adalah berdiri dan mengecup pipinya. “Aku juga sayang sekali dengan Ayah.”


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C2
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login