Download App

Chapter 2: Diamnya Maya

WALAUPUN masih pagi, matahari bagaikan berdiri di atas kepala gadis itu. Matanya menyipit. Kedua kakinya melebar seperti laki-laki yang akan meninju lawannya. Sesekali, angin menyentuh lembut gadis itu. Membuat helaian rambutnya bertabrakan indah. 

Mobil hitam yang meninggalkannya tadi, kini mulai menghampiri Kanisa. Dia memanfaatkan momen ini untuk berhalu, bahwa lawannya sudah menyerah. 

Mobil hitam itu semakin mendekat. "Haha. Menyerahlah, Radit!" kata Kanisa yang dengan tangan yang membentang lurus ke arah langit. Seperti ingin melempar matahari diatasnya kepada kakaknya itu. 

"Neng Kanisa, ciloknya?" tawar penjual cilok dengan topi coklat miliknya. 

Kanisa masih setia dengan posisi tadi. "Masih pagi, bang," kata Kanisa merengek lucu. 

"Ah, saya pikir masih sepertiga malam. Mari," pamitnya. 

"Iya, Bang," jawabnya. 

Tit! Tit!

Kanisa menghampiri mobil kakaknya itu dengan raut marah membara. "Kakak kenapa, sih? Aku bisa telat, tahu!" bentaknya sambil menyilangkan tangannya masuk. 

"Habisnya kamu ngobrolin cireng terus, sih. Kamu tahu, 'kan? Kakak trauma sama cireng. Karena cireng itu, kakak diputusin Sinta saat itu," jawabnya dengan pura-pura sedih. 

"Ih, Sinta itu selingkuh, ya. Bukan mutusin kakak gara-gara dikasih cireng," jawabnya kesal. 

"Eh, kamu sama Kevin, baik-baik saja, 'kan?" tanya Radit. Menyetir dengan fokus. 

"Baik-baik saja, kok," jawabnya tidak panjang. 

"Kalau begitu, kenapa tidak pernah ke rumah, ya?" tanya Radit yang merasa heran. Karena tiap Radit memiliki kekasih, dia selalu mengenalkannya kepada orang tuanya. 

"Ya, memangnya kamu. Toh, kita ini masih sekolah. Hubungan kita juga baru beberapa bulan. Kenapa harus dibawa ke rumah segala, sih? Takut, ah. Nanti ayah tanya banyak hal sama Kevin," jawabnya. Kanisa membawa roti dari tasnya. 

"Kalau kamu, pernah diajak ke rumahnya?" tanya Radit. Sembari mencubit roti milik Kanisa. 

Kanisa melihatnya dengan tatapan kesal. "Tidak, sih" kata Kanisa yang menutupi roti miliknya. Agar tidak diminta lagi. "Ish, kakak tadi sudah makan nasi goreng. Jangan minta rotiku lagi," larangnya. 

"Kalau begitu, benar! Pacarmu, se-ling-kuh," bisik Radit kepada adiknya itu. 

"Hah? Ti-tidak mungkin! Kevin bukan orang seperti itu, ya," kata Kanisa yang membela pacarnya itu. 

"Hah, kalau tahu, jangan nangis, ya," ejeknya yang kemudian kabur dari mobil itu. "Dek, parkirin sendiri, ya, mobilnya," teriak Radit dan dia sudah lebih dulu masuk sekolah tersebut. 

"Ish, kalau di sekolah, bilangnya adek. Pasti anak itu biar dipuji perempuan di sekolahnya. Wah, Radit kakak yang baik, ya," kata Kanisa dengan nada mengejek. 

Setelah Kanisa memarkirkan mobilnya, dia pun berjalan bersamaan siswa lainnya. Dia masih melihat punggung kakaknya yang dikerumuni gadis-gadis cantik. 

Entah kenapa dia berbeda dengan kakaknya itu. Banyak orang yang bilang bahwa Kanisa dengan Radit bagaikan langit dan bumi. Tidak sedikit juga yang bilang bahwa Kanisa hanya anak pungut. Pernah Radit membelanya saat itu. Dia bersikeras menentang adiknya anak pungut. Radit bahkan menunjukan foto mereka berdua saat masih sangat kecil. Dan mereka terlihat mirip. Kanisa juga saat kecil sangat cantik dan menggemaskan. Dia saja bingung, kenapa saat dewasa dia tidak secantik dulu. Kakaknya bilang, kalau Kanisa kurang peduli pada penampilan. Itu benar. Kanisa terlalu sibuk dengan naskahnya sampai tidak peduli dengan penampilannya. Toh, menulis itu tidak harus berpenampilan menarik bagaikan model. 

Radit menengok ke belakang, dia memberikan isyarat dengan rotinya. Setelah sadar, ternyata itu roti milik Kanisa yang Radit curi dari tasnya. "Ah, rotiku. Dasar Radit gila!" umpatnya pelan. Dia sengaja tidak mengeraskan suaranya. Atau para penggila buaya itu akan menghabisi dirinya. 

Seseorang menarik tasnya, lalu bersembunyi. "Ah, Kevin? Eh, aku kira Kevin," kata Kanisa yang menemukan Maya-sahabatnya di belakang Kanisa sedang bersembunyi dengan berjongkok. 

"Hah, dasar gila cinta. Bisa-bisanya kamu menebak aku Kevin," kata Maya dengan sedikit kecewa. 

Kanisa menggandeng tangan sahabatnya itu. "Maaf, dong. Soalnya, Kevin yang selalu menarik tasku lalu sembunyi seperti tadi," balasnya dengan tersenyum. 

"Iya, tidak apa-apa. Ngomong-ngomong, kamu berangkat sendiri?" tanya Maya. Dia melihat-lihat sekitar, berusaha menemukan Radit. 

"Kamu suka dia, ya?" cakap sahabatnya itu. Kanisa menebaknya. Karena Kanisa selalu tahu tatapan mata Maya saat melihat kakaknya itu. "Boleh, kok. Dia baik sebenarnya. Dia juga suka kamu, deh" sambungnya. 

Wajah Maya memerah. "Ah, tidak juga. Mana mungkin kak Radit suka orang seperti aku? Aku tidak secantik orang-orang yang mengejarnya," ungkap Maya yang menundukan kepalanya lemah. 

Kanisa melihatnya dengan pandangan aneh. "Berhenti merasa tidak cantik, padahal semua orang tahu kamu anak paling cantik di angkatan kita. Kakak tingkat kita banyak, lho yang membicarakanmu. Katanya kamu cocok dengan kakakku, dengan ketua Osis, bahkan dengan pacarku juga katanya," ucap Kanisa yang langsung murung saat mengatakan kalimat yang terakhir. 

Maya menempelkan telunjuknya di bibir Kanisa. "Ssst! Jangan bicara seperti itu. Terutama, soal pacarmu denganku itu. Bagaimana mereka bisa bicara seperti itu. Aku ini sahabatmu. Mana mungkin. La-lagian, aku suka kakakmu, tuh. Tapi, kak Radit tidak pernah menjawab pesanku," ucapnya dengan pandangan lurus dan dingin. 

Kanisa tersentak kaget. "Apa? Kamu pernah mengirim pesan padanya? Kamu dapat nomornya dari mana?" tanya Kanisa yang masih terkejut dengan sahabatnya itu. Kanisa bahkan baru tahu bahwa Maya diam-diam mengirim pesan pada kakaknya.

"Kamu pernah menghubunginya saat kita kerja kelompok dulu," jawabnya, mengingatkan. 

Kanisa menepuk jidatnya. "Ah, iya, aku hampir lupa. Tapi aku tidak menyangka, lho, kamu mengirim pesan duluan," ucap Kanisa sambil menyiapkan bukunya. 

"Dia hanya dingin padaku, Kanisa," cakapnya yang tidak terdengar jelas karena Pak Hendra-Wali Kelasnya masuk dan jawaban salam dari teman-temannya itu. 

"Hm? Kamu bilang apa barusan?" tanya Kanisa. Dia mendekatkan kupingnya. 

Maya membisik. "Aku bilang, Pak Hendra sudah datang," kata Maya. Dia pun mendinginkan kembali wajahnya. 

'Hah? Aku merasa bukan itu yang dia ucapkan. Dia juga mendadak dingin. Apa karena aku tadi, bukan, ya?' gumam gadis itu. 

Maya hanya diam saat pelajaran berlangsung. Gadis itu dikenal dengan keaktifannya di kelas. Dia sering bertanya tapi lebih sering menjawab kebingungan para temannya. Kali ini, mulut dia terkunci rapi. Pembicaraan ringan dengan Kanisa pun tidak dia lakukan. 

Hal itu membuat Kanisa lebih bingung. Tapi dia yakin, Maya hanya ingin seperti itu dulu. 

Teeettt! 

Bel istirahat berbunyi nyaring. Seluruh siswa berburu keluar untuk mengisi perutnya yang sedari tadi kosong. 

"Maya, kali ini kita mau makan siomay lagi, ya? Es teh jeruk juga? Mm, terserah kamu, deh. Kamu mau makan apa?" tanya Kanisa ragu-ragu. 

Maya melihat sahabatnya datar. "Kanisa, maaf, ya," ucapnya tidak jelas. 

Kanisa mengerutkan keningnya. "Maaf kenapa? Ah, aku yang minta maaf. Seharusnya aku tidak membicarakan kakak tadi," jawabnya. 

"Maaf, aku tidak bisa makan denganmu. Kamu pergi dengan yang lain saja. Aku harus menemui seseorang," katanya yang membawa handphone miliknya. "Jangan temui kakakmu juga," sambungnya. 

Kanisa semakin bingung dengan sahabatnya itu. Apakah dia akan menghajar kakaknya? Kanisa mengenal Maya. Dia tidak suka kalah. "Jadi, mungkin saja Maya menghajar kakak. Apakah tidak apa-apa aku biarkan mereka? Ah, benar. Aku tidak perlu khawatir," gumamnya. 


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login