Download App

Chapter 6: Penolong Jutek

MASIH menahan rasa sakitnya. Kanisa bersujud lemas di aspal yang kasar. Punggungnya tidak begitu berat, karena anak kecil di sebelahnya terus panik dan mengusap punggung Kanisa tanpa henti. 

Dia yang sedari tadi pendiam, kini mulai memperlihatkan sisi kepeduliannya kepada Kanisa. Ini tidak ada di naskah. Entah mengapa, Kanisa juga  heran dengan apa yang terjadi saat ini. 

"Kakak, apakah sulit untuk berdiri? Biar aku bantu," kata Railo yang berusaha membantu Kanisa.  Tubuh kecilnya tampak kesulitan. 

Kanisa memberikan tangannya kepada Railo. Seakan bilang, 'biar aku sendiri.' 

"Kak, i-itu sakit, ya?" tanya Railo kembali yang dibalas dengan anggukan Kanisa. 

Sementara itu, pria bertubuh besar dengan jaket hitam dan topi yang menutupi wajahnya, sudah paling dulu berlari. Tidak ada yang melihatnya selain dua orang tersebut. Sehingga, pria tadi berhasil lolos dengan rasa puasnya, mungkin. Atau masih mengganjal untuk menyiksa Kanisa lebih lama. 

Saat Railo ingin menyingkap syal merah milik Kanisa yang menutupi wajahnya, Kanisa langsung berbalik arah pandangannya. Dia tampak panik. Railo tidak boleh tahu siapa dirinya. 

"Ah, maaf. Aku hanya ingin membantumu. Kamu keluar banyak darah di kepalamu," kata Railo yang merasa bersalah. Dia tampak menggigit kuku mungilnya. 

Railo yang ingin berbicara kembali, terputus oleh jejak langkah Kanisa. Benar. Dia berlari sejauh mungkin dari Railo. 

"Kak! Kenapa pergi?" panggil Railo dari kejauhan. Railo masih setia dengan posisi duduknya tadi. Kanisa jelas tidak tega dengan Railo. Namun, akan lebih bahaya jika Railo mengetahui dirinya. 

'Kakak itu ... meninggalkanku. Bahkan, saat aku mau menolongnya. Orang dewasa berakhir pergi,' gumam Railo yang tanpa sadar, sudah meneteskan air mata dengan tampang datar. 

Kanisa tetap berlari sejauh mungkin. "Hah! Hah! Jangan sampai dia mengejarku. Maafkan aku, Railo. Aku akan menemukanmu besok. Aku akan menyelamatkanmu nanti. Hah! Hah! Lelahnya," kata Kanisa yang mulai berhenti dari pelariannya itu. Dia memegang lututnya dengan nafas yang masih terombang ambing keras. 

Hingga dia mulai memegang dahinya. "Hah! Darah? Aku sudah lama tidak berdarah di pelipisku. Aw, ini sakit sekali," katanya. Kanisa mulai berjalan pelan di tengah bisingnya malam. Beberapa kendaraan umum menawarkan diri untuk mengakut gadis itu. Namun, Kanisa tetap memilih berpetualang dengan kakinya yang sudah di rasa pegal. 

"Aku ingin ke Rumah Sakit. Aku bisa-bisa pingsan di sini," kata Kanisa. Bayangan dia mulai buram. Semuanya terlihat berputar-putar. Kakinya melemas. Dan benar saja, dia pingsan di tempat. 

Seseorang menggendongnya. Orang tersebut membawanya ke Rumah Sakit terdekat. Guna memberikan perawatan kepada Kanisa. 

Kanisa yang sedari tadi terbaring lemah, kini mulai membuka matanya pelan. Hal yang pertama dia sadari adalah, bau yang tak asing baginya. 

"Di mana aku? Ini bau Rumah Sakit, 'kan? Hey, kenapa tidak ada orang di sini? Siapa yang membawaku kemari?" tanya Kanisa kepada atap ruang rawatnya yang tidak berbicara. Bahkan lampu pun enggan berkedip untuknya. 

Kanisa perlahan melihat infusan yang menancap pergelangan tangannya itu. "Hah, setelah sekian lama, aku merasakan kembali di infus seperti ini. Perawat kesulitan tidak, ya? Uratku berbelok. Haha. Hahaha. Kenapa aku tertawa? Apakah karena benturan tadi aku jadi gila?" kata Kanisa kembali. 

Seorang Dokter laki-laki menghampirinya. "Halo, nona Kanisa. Bagaimana? Apakah masih sakit?" tanya Dokter tampan tersebut. 

Sebelum Kanisa menjawabnya, dia terpukau dengan Dokter tersebut. Mulutnya tidak menutup. 'Wah, apakah dia Dokter yang pernah aku buat, bukan, ya?' batinnya. "Tapi, bagian ini tidak pernah ada," celetuknya yang dibalas alis Dokter tersebut. 

"Hah? Kenapa? Ah, masih sakit, ya? Sepertinya kamu perlu menginap selama tiga hari, untuk memulihkan diri, ya. Emm, sepertinya kamu masih syok, ya. Tidak apa-apa. Istirahat dulu, ya," kata Dokter tampan dan memiliki senyum menawan itu. 

"Hah? Oh, baiklah," jawab Kanisa. "Dok, siapa yang mengantar saya kemari?" tanya Kanisa.

Pertanyaannya itu di jawab seorang perawat yang tiba-tiba masuk untuk memberikan obat. "Bukankah dia kakakmu?" tanya Perawat sembari menyuntikan obat ke dalam infusan miliknya. 

"Hah? Kakak? La-lalu, di mana dia sekarang?" tanya Kanisa yang terkejut. 

"Kamu seperti tidak bertemu dengannya sepuluh tahun, reaksimu aneh sekali. Dia sedang membayar perawatanmu. Tunggu saja, dia akan kembali. Perawat, biarkan dia istirahat lagi. Saya pamit, ya, Kanisa," katanya dengan senyuman yang mengapung indah terhadap Kanisa. 

"Ah, i-iya, Dok," jawabnya. 

Kanisa memiringkan kepalanya. 'Ck, apa yang direncanakan kak Rangga, ya," kata Kanisa heran. 

Seseorang masuk ruangannya. Dia menutup pintunya rapat-rapat. Laki-laki itu membuka topinya pelan. Hingga membuat Kanisa dapat melihat wajahnya yang biasa saja. "Bagaimana keadaanmu? Masih sakit?" tanya Elo. 

"Si-siapa kamu? Lalu, kenapa pintunya kamu kunci?" tanya Kanisa kepada laki-laki kurus di hadapannya. 

"Aku Elo. Orang yang ditambahkan Rangga. Aku bertugas untuk mempermudahkan kebutuhanmu di naskah ini. Ah, kenapa Rangga mengirimku ke naskahmu? Kamu tahu, tidak? Isi naskahmu ini terlalu banyak yang menyakitkan. Awas saja, ya, kalau kamu tidak mengubah alurnya," kata Elo dengan tatapan tajamnya. 

"Hey, Rangga mengirimmu kesini? Oh, baiklah. Apa aku boleh meminta sesuatu padamu?" tanya Kanisa dengan wajah yang didekatkan. 

Elo mendorongnya pelan gadis itu. "Mundur, Kanisa.  Berbicara seperti orang normal saja. Baik, apa yang kamu mau?" tanya Elo kepada Kanisa yang mulai duduk dengan baik. 

"Bagaimana dengan tempat tinggalku? Jangan-jangan aku jadi gembel di sini!" kata Kanisa yang penasaran dengan jawaban pria tersebut. 

"Tempat tinggalmu, uang di rekening, pakaian, dan kebutuhan lain, sudah aku siapkan. Jadi, cepatlah sembuh. Aku masih punya urusan soalnya," kata Elo dengan geram. 

"Wah, terima kasih, ya. Apakah rumahnya besar?" tanya Kanisa kepada Elo. Elo sudah tidak mau mendengarnya lagi. 

"Jangan berbicara dan istirahatlah. Setelah tiga hari, aku akan mengantarmu ke rumah," jawabnya jutek. 

"Hm, baiklah, Elo. Terima kasih, ya. Sebenarnya, untuk kedepannya kamu tidak perlu membantu aku. Aku sudah terlanjur merasa bersalah pada Railo. Jadi, aku yang bertanggung jawab di sini. Kenapa juga kak Rangga mengirimu ke sini," kata Kanisa yang sempat melamun di jendela. 

"Ck, kalau aku tidak ke sini, kamu tidak akan punya tempat tinggal," jawabnya dengan memutar bola matanya. 

"Kehidupan di novel tidak seperti di dunia, 'kan? Jadi, waktu akan sangat cepat, bukan?" tanya Kanisa kepada Elo yang menatapnya tajam. 

"Benar," jawabnya singkat. 

"Tapi, aku ingin menghabiskan waktu dengan Railo dewasa. Aku tidak ingin dia berakhir menyedihkan seperti itu. Aku ingin menjadi bagian yang menghangatkan hidupnya," kata Kanisa yang mulai menatap Elo. 

"Tenang saja, setelah SMA, kamu akan mengalami waktu yang sama seperti di dunia. Jelas, kamu bisa menikmati waktu selama itu, Kanisa," ucapnya dengan tatapan sendu.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C6
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login