Download App

Chapter 2: Chapter 01

Erangan mulut telah dibekam oleh segerombolan orang tidak dikenal. Kedua kaki dan tangan berusaha melepaskan diri dari cengkraman pria berotot besar. Kedua matanya ditutup pakai kain tebal. Tidak bisa melihat apapun. Derapan langkah kaki disertai jejak sepatu berserakan di belakang, membuat Issac bertanya-tanya soal dirinya akan dibawa ke suatu tempat. Mengenakan baju kotor dari karung, rambut perak dan memiliki mata yang indah seperti batu safir. Tetapi bagi orang-orang seperti Desa Mogena, wajah Issac merupakan orang yang paling berbahaya dan dapat menghipnotis siapapun yang patuh terhadapnya. Seolah-olah, mereka menyalahkan Issac atas lahirnya dia di Desa tersebut. Semakin lama, dia mendengar suara orang-orang membisikkan sesuatu. Berbisik mengenai iblis yang menjelma jadi dirinya.

Anak tangga dipijak oleh pria berbadan besar. Sampingnya membuka ikatan. Membiarkan pria yang menggendongnya membuang ke dalam sebuah ruangan yang gelap dan tanpa oksigen sama sekali. Bersamaan dengan kain tebalnya dilepaskan. Dengan langkah tergontai-gontai, Issac menggedor pintunya sekeras mungkin. Tetapi, tidak ada seorang pun yang merespon jawabannya.

"Brengsek kalian semuanya! Berani-beraninya meninggalkanku di tempat seperti ini!" umpat Issac pada orang yang tega melakukan hal itu kepadanya.

Tidak tahu secara pasti Issac berada di tempat ini. Apakah sudah satu tahun, dua tahun. Ataukah bertahun-tahun. Hingga saat ini, dia tidak ingin berada di desa yang ditinggalinya. Serasa hidupnya seperti neraka sungguhan. Dia menatap aktivitas para warga yang dirundung resah akibat salju yang tidak kunjung berhenti. Dalam lubuk hatinya, Issac mengumpat dalam bahasa Epuni.

Gelap. Tertutupi oleh kain tebal hitam. Napasnya semakin berat. Keringat bercucuran di sekitar wajahnya. Penglihatannya semakin mengabur kecuali celah di sebelah kiri. Issac berjongkok sembari memperhatikan orang-orang berlalu lalang. Meniupkan terompet menandakan sesuatu. Suara langkah kaki tiap orang datang menuju kemari. Issac menyipitkan kedua bola matanya. Memperhatikan setiap apa yang hendak diperbuat oleh mereka. Beberapa dari mereka menjauh, berbisik di pojok dekat pohon yang dipenuhi salju. Membisikkan sesuatu tanpa ada menyadarinya. Setelah itu, wanita berpakaian seperti pelayan, bergegas menuju sebuah gubuk tua. Tempat tinggal seorang pria bernama Nigel.

Wajahnya menoleh ke arah berlawanan. Mendekatkan mata kanan ke celah itu. Sayangnya, tertutup oleh segerombolan warga Desa Mogena yang berdiri tegap, bersepatu boot tebal. Untuk saat ini, tidak ada yang menyadari kehadiran Issac di dalam sebuah ruangan yang gelap dan tanpa suara. Mana mungkin mereka menyadarinya. Toh mereka menganggapku sebagai anak terkutuk, ucap Issac dalam hati. Senyum-senyum sendiri, merasa dirinya tidak diberkahi oleh Ihdos, God Of Freedom.

Desa Mogena. Sebuah desa yang memiliki iklim salju paling tebal di antara desa lainnya. Berlokasi di wilayah utara, merupakan bagian dari kekuasaan Kerajaan Oritus. Beberapa penjaga terus menempatkan penjaga sekitar lima atau enam prajurit. Sudah termasuk pembawa pesan dan sebagainya. Berpatroli dan berbaur dengan orang-orang sekitarnya. Mereka tidak mempedulikan siapapun selama diberikan uang yang mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari. Dan kelima prajurit itu akan terus tinggal di desa untuk selamanya. Tidak berminat untuk kembali ke ibukota Oritus.

Penghasilan mereka berupa ikan mentah dan buah-buahan semacam apel atau anggur. Dijual dengan harga murah, mereka hanya bisa makan dua kali per minggu. Sisanya, mereka rebutan untuk mengambil jatah makanan orang lain atau mengambil makanan yang ada. Entah jasad manusia. Maupun bangkai hewan. Dipotong, dicacah, dikuliti hingga dimasak dengan menggunakan peralatan masak seadanya. Mereka berprinsip bagaimana caranya untuk bisa bertahan hidup kala cuaca dingin, susah menyinari dari terik panas matahari.

Tanaman untuk buah apel dan anggur ditanam dengan menggunakan metode sihir kuno. Serta bereksperimen dengan bantuan tabib dan ilmuwan tua. Sayangnya, mereka sudah berusia uzur. Tidak memiliki kekuatan seperti dulu lagi. Pohon yang menjulang tinggi, rentan mengalami keretakan pada bagian dalamnya. Tabib dan ilmuwan tua mengecek kadar air, sinar matahari, pupuk tanah hingga sihir elemen api dan udara. Mengombinasikan serta memastikan sihir dan alat bantuan bekerja dengan baik.

Ilmuwan tua memutar ke kanan pada persendian roda gerigi. Suara gerigi saling bergesekan. Tidak menimbulkan bisingan yang tidak perlu. Tabib menaburkan setiap pohon yang terancam punah. Berharap tidak terjadinya layu di depan mata.

Tiba-tiba, dua pria membawa seorang wanita dalam keadaan lusuh dan terluka cukup parah. Rambutnya putih memanjang. Wajahnya babak belur. Darah bercucuran dari keningnya. Indera penglihatannya mengabur lantaran terkena di bagian kedua bola matanya. Serta di sekujur tubuhnya dipenuhi luka hasil cambukan oleh seseorang. Mulutnya dibuka lebar oleh seorang penjagal. Dia hanya mengenakan celana karung berwarna coklat. Menutupi wajahnya kecuali mata. Menggenggam kapak besar disertai menjambak rambutnya. Erangan kesakitan kembali bersuara. Tidak ada seorang pun yang menolongnya atau mendekati wanita tersebut.

Muncullah seorang pria yang berasal dari salah satu petinggi agama terkemuka. Wajah tua dengan penuh keriput. Hidung dan matanya mengalami kerutan maupun komedo. Tiap jarinya, terdapat cincin berukuran besar dari batu mineral yang ada. Rambut beruban, tertutupi oleh topi runcing dengan simbol menandakan pemuka agama terkenal dari ibukota. Telapak tangan kiri menggenggam sebuah tongkat berlambang agama. Jubah berwarna hitam dominan dan emas keputih-putihan. Telapak tangan kanan menggenggam sebuah kitab suci berjudul The Worship Of Ila. Sampul bukunya berwarna hijau kecoklatan. Dengan lambang segi empat disertai tarikan dua garis berlawanan. Garis pertama berupa garis lurus tebal. Sedangkan garis kedua berupa melengkung ke samping kiri. Di dalam segi empat, terdapat simbol mata yang melotot tajam.

"Tuan-tuan dan nyonya-nyonya!" teriaknya. "Dewa Ila selaku pencipta alam semesta, telah memberkati kita berupa panjang umur dan sehat secara jasmani dan rohani. Bahkan memberikan kehidupan yang layak ditinggali untuk kita semua. Kebaikan yang Dewa Ila berikan, tidak boleh disia-siakan begitu saja! Sayangnya, orang-orang terkutuk telah memanfaatkan pemberian Dewa untuk berbuat kejahatan! Seakan-akan Dewa lah yang salah atas dilahirkan di muka bumi ini! Apalagi telah menghancurkan apa yang kita sayangi seperti yang dilakukan oleh wanita biadab ini!"

Penjagal tersebut menjambak rambutnya. Mendorongnya ke depan. Dua penjagal lainnya membuka kayu yang sudah dikunci rapat. Di sampingnya, terdapat dua rantai dari sisi berlawanan. Wanita itu diseret dan dipukul oleh pemuka agama. Tongkat yang dibawanya, diberikan kepada tabib. Wajahnya mengeras, tidak berkeinginan untuk menyaksikan adegan mengerikan tersebut. Tetapi, beliau tidak memiliki pilihan kecuali mengikuti prosedur yang ada. Kedua bola matanya terpejam sejenak. Kedua lengannya menggenggam erat hasil temuannya. Berniat untuk tidak memberikannya kepada Pemuka agama.

"Kumohon lepaskan saya! Aku bukanlah jelmaan iblis! Namaku Jenna! Dan aku tidak ingin mati!"

"Pembohong!" teriak salah satu warga paling belakang.

Sebuah lemparan batu mengarah pada wajah Jenna. Disusul oleh para warga yang melakukannya. Setiap kali dilemparkan, wajah dia berlumuran darah lagi. Pemuka agama menyunggingkan senyuman bibir miring. Membiarkan orang-orang bodoh menyerukan penghinaan terhadap Jenna. Wanita itu meronta-ronta. Memohon ampunan karena dituduh melakukan yang sepatutnya tidak dilakukan oleh manusia lainnya.

"Apa kalian tahu? Ratusan orang di Desa Megona telah mengalami wabah kematian yang disebut Famine selama berbulan-bulan! Apa kalian tega, keluarga kalian mengalami kelaparan yang berkepanjangan hanya karena kemunculan wanita berwajah iblis itu?" sembur pemuka agama.

Semakin dia bersuara, semakin orang-orang tidak bisa menyembunyikan rasa frustasi dan ketakutan mendalam pada Jenna. Berharap wabah iblis segera pergi dari Desa Megona.

Issac yang mendengarnya meski tidak mampu melihat secara jelas, hanya bisa pasrah. Menghela napas setiap kali mendengar suara pria menuduh wanita yang tidak tahu apapun tentang iblis. Issac yang dipenuhi darah di sekelilingnya, tidak mampu menahan rasa frustasi yang dia alami. Berharap dirinya akan mengalami perlakuan yang serupa. Kepalan kedua tangannya. Begitu lemah. Tidak berdaya menghadapi takdir yang kejam dan menyakitkan. Dalam lubuk hatinya, Issac menginginkan kebebasan. Terbebas dari tuduhan orang-orang yang mengaku dirinya iblis. Termasuk wanita yang bernama Jenna.

"Iblis! Kuperintahkan kau! Untuk menghentikan salju segera! Jika tidak, kami sebagai pengikut setia Dewa Ila akan mengirimkanmu ke neraka paling terdalam! Dan jiwamu akan membusuk sampai abadi!" bentak pemuka agama mengacungkan jari telunjuk ke arah wanita yang malang.

"Kumohon! Jangan lakukan ini kepadaku! Aku punya keluarga! Dan mereka sangat membutuhkanku!"

Tiba-tiba, sebuah lemparan yang keras mengenai kening samping kanan. Jenna terkejut dengan lemparan semacam itu. Melirik ke asal lemparan tersebut. Betapa kagetnya, yang ternyata lempari itu adalah kedua anak Jenna beserta suami tercinta. Kedua anak mereka berusia delapan dan enam tahun. Suaminya, terus melemparinya tanpa henti. Menangis terisak-isak penuh sesal. Serta tangisan pecah dari anak-anaknya. Jenna pun terkhianati. Tidak percaya bahwa dia mengasuhnya dan inilah balasan yang didapat. Deraian air mata membasahi pipinya. Tertunduk lemas serta pasrah terhadap nasib yang menimpanya.

Sementara itu, Issac menarik napas dalam-dalam. Hembusan napasnya begitu berat. Kedua kakinya sulit untuk berjalan. Apalagi berdiri sebentar. Tangan kanan mengusap keringat. Tidak mendengarkan sisa ceramah mengenai eksekusi terhadap Jenna. Dia sudah menebak selanjutnya. Beberapa detik berselang, suara para warga menarik napas. Issac tidak bisa menyalahkan warga sekitarnya.

~o0o~

Issac mengecek jam tangan yang dikenakan. Waktu sudah menunjukkan pukul 12 siang. Menandakan makan siang. Akan tetapi, dia tidak berkeinginan untuk makan kala itu. Entah apa yang merasukinya, tetapi makanan yang dibawakan adalah buatan dia sendiri. Kotak bekal berbentuk segi empat ukuran mini. Kentang dengan mayones yang sudah dioleskan. Di atas piring, satu porsi roti berisikan sayuran dan daging sapi turut menggugah selera bagi orang seperti dia. Tomat, seledri dicampur jadi satu. Mengabaikan orang-orang sekitar kantin. Mengunyahnya mencapai delapan kali sebelum ditelan ke dalam kerongkongan.

Selembar demi selembar Issac baca. Setelah itu, dia mengambil sebuah buku berjudul Master of the Five Magics karya Lyndon Hardy. Seorang penulis terkemuka di era itu. Mengisahkan quest yang dilakukan oleh Alodar secara paksa, untuk sebagian besar buku ini adalah untuk menikahi Ratu Vendora, yang nantinya akan mengembalikan kehormatan keluarga mereka. Tulisan bahasa Epuni terus dia raba. Mendayung-dayung sembari merasakan sensasi petualangan yang dilakukan Alodar. Hingga jantung Issac berdegup kencang. Lalu mengunyah kembali makanan yang dia santap tanpa ada sisa sedikit pun.

Seragam pakaian berwarna merah dengan dominan hitam-putih. Jubah kecil di punggungnya, membawa buku berisikan ilmu pengetahuan berupa sejarah dan matematika. Akan tetapi, semua yang dia bawa hanya sekedar pelengkap.

Tidak ada seorang pun yang mau duduk dengan Issac hingga saat ini. Dimulai dari teman sekelasnya, teman masa kecilnya hingga guru dan orang lain enggan bersebelahan dengan Issac. Dan pria berambut perak tidak mempermasalahkan hal itu. Memfokuskan diri untuk baca, baca dan membaca. Konsentrasi tingkat tinggi. Mengabaikan suara orang kasak-kusuk atau sekedar bergosip. Sampai seorang laki-laki bertubuh besar datang dengan membawakan ember berisikan air comberan. Lalu menyiramkannya ke Issac hingga basah kuyub. Laki-laki bertubuh besar bersama dengan keempat kacungnya dan teman masa kecil Issac, Maisie Warghman. Ekspresinya jutek saat bertatap wajah dengan dia.

Berambut merah dengan bando putih. Wajahnya cantik seperti seorang putri yang tinggal di istana megah. Ke mana-mana selalu bersama tiga sahabat pembuli. Tongkat kayu dari pohon Clus. Cabang ranting terbelah jadi dua bagian. Entah bagaimana, dia memiliki tongkat itu kala tinggal di Desa Megona.

Di sisi lain, Issac mendapatkan perlakuan buruk di hari pertama sekolah di Sekolah Akademi Daponia. Selama berkenalan di dalam kelas, Maisie selalu mem-boo setiap kali Issac berkenalan. Bahkan, sampai duduk di atas pun kena senggolan kaki oleh teman sekelasnya. Akan tetapi, Issac tidak membalas sama sekali perbuatannya. Menurut dia, tindakan minoritas akan mudah ditindas oleh orang-orang mayoritas. Dan netral pun juga berubah mayoritas selama dia berkenalan dengan mereka.

Semasa kecil saat Issac berusia 10 tahun, Maisie menolak ungkapan perasaan yang dilontarkan Issac. Dan dia pun berteriak ketakutan dan menatap wajahnya penuh jijik.

"Kau, mau pacaran denganku? Itu menjijikkan. Sana pergi kau, kutu air!"

Anak berambut perak dilempari batu bertubi-tubi. Selain karena raut wajahnya menjijikkan, kedua matanya memerah seperti iblis yang mengamuk. Parahnya, orang tua mereka akan menyalahkan Issac begitu menawarkan bantuan. Akhirnya, dia dihukum cambuk sampai ratusan kali. Terasa menyakitkan olehnya. Akhirnya, Issac memutuskan untuk diam tanpa perlawanan. Berpikir bahwa dirinya enggan terlibat masalah dengan mereka lagi. Sampai Issac bertemu dengan Maisie lagi. Belum termasuk Desa Mogena mengusir anak itu begitu mengungkapkan perasaannya terhadap Maisie.

"Bocah! Kau beruntung kami mengusirmu. Kalau kau sekali lagi dekati putriku, awas saja! Kau akan kami pasung dan memanggil pemuka agama untuk menghukummu! Menjauhlah dari kami, kau paham?"

Semenjak itulah, Issac memilih menjauh. Enggan terlibat dengan Desa Mogena lagi. Suatu ketika, pemuda berambut perak mendapatkan rekomendasi dari seorang profesor bernama Tristan Carr. Beliau baru-baru ini menyandang gelar profesor sejak mengajar selama kurang lebih 20 tahun. Mempertimbangkan untuk pensiun mengajar lantaran usia sudah mencapai 55 tahun. Issac berjanji tidak akan melibatkan diri dalam pertarungan yang sia-sia. Walau pada kenyataan berkata sebaliknya.

Telapak tangan kanan mengusapnya. Menggaruk-garuknya lantaran gatal di sekujur tubuhnya. Maisie menggandeng tangan seorang pemuda tampan dan berkilauan. Menggoda Issac dengan cincin berlian di ibu jari kanan. Menandakan bahwa dia sudah bertunangan dengan seorang pria berbadan besar. Rambut cepak disisir rapi, bersama dengan 4 kacungnya. Masing-masing dari mereka mendekati Issac. Mengerumuni pemuda berambut perak dengan tatapan sinis.

"Jadi ini teman masa kecilmu? Kok payah sekali penampilannya! Oops. Sepertinya, aku tidak sengaja membuang air ke wajahmu," cibir laki-laki berbadan besar.

"Sudahlah Antonku sayang! Tidak ada gunanya juga berurusan dengan pemudaterkutuk itu bukan?"

"Benar juga!" cibir pria berbadan besar bernama Anton.

Satu persatu, mereka menyenggol bahu Issac dengan keras. Sampai suara retakan tulang terdengar. Tetapi, dia tidak membalas sama sekali perbuatannya. Kepalanya tertunduk pelan. Merasakan gejolak batin yang meronta-ronta dalam tubuh Issac. Kepalan tangan yang barusan digenggam, diturunkan sembari lidahnya berdarah. Telapak tangan kanan mengusap bibirnya. Duduk sambil merapikan bukunya. Hembusan napas pelan dari mulut dan rongga hidung. Tidak berselera makan siang. Dia mengecek jam tangan menunjukkan pukul 12.30 siang. Sudah waktunya menemui guru pendukung satu-satunya, Tristan Carr.

Issac berjalan ke depan. Melewati para siswa yang menutup hidungnya karena bau. Dia mengeluarkan tongkatnya, menghisap seluruh air comberan ke dalam tongkat dari kayu pohon Anore. Lalu dibuanglah sisanya ke jendela. Memerasnya hingga partikel kotoran sudah tidak ada. Kemudian, Issac menurunkan tongkatnya. Membasahi kebun tanaman yang ada di luar sekolah. Dengan santai dia membungkukkan badan beserta lengan kanan ke depan. Mengungkapkan rasa hormat terhadap guru yang melewatinya. Akan tetapi, mereka mengabaikan eksistensi Issac. Bahkan terkesan cuek terhadapnya. Helaan napas keluar dari mulutnya. Belok kiri dengan tulisan bahasa Epuni yang tertulis nama Tristan Carr. Telapak tangan kiri diketuk sejumlah tiga kali.

"Masuklah," kata Tristan dari dalam.

Laki-laki berambut perak membuka knop pintunya. Melihat ruangannya banyak sekali bulu-bulu ayam beterbangan. Serta sekumpulan peri sedang membersihkan debu di sekelilingnya. Issac mendongak ke langit. Memperhatikan aktivitas yang dilakukan oleh mereka. Salah satu peri bergaun biru mengepakkan sayap dengan cepat. Membelakangi Tristan Carr sibuk menuliskan sesuatu.

Ke mana-mana, dia selalu membawa sebuah botol berisikan makanan untuk para peri. Isi makanannya berupa buah-buahan dan madu. Makanan tersebut sudah dalam bentuk kemasan dan dipotong jadi beberapa bagian. Tinggal mereka nantinya akan diberikan setiap kali istirahat. Mengenakan syal hasil rajutan dari sang istri tercinta. Baju setelan abu-abu dan berkacamata yang lensa dua pada bagian mata kanan. Jari telunjuknya menyentuh pinggir kacamata. Semakin dia menekannya, semakin banyak jarak pandang dan lensa yang dihasilkan. Selain itu, aura dalam tubuh Tristan memancarkan energi positif di sekelilingnya. Berupa secercah harapan atas penemuan yang mendatang, berasal dari hasil temuan buku-buku hasil temuan dari para guru dan peneliti terdahulu. Senyuman lebar dari wajah beliau terpancar. Sampai Issac kebingungan menatapnya. Lirikan kedua bola mata mendongak pada laki-laki berambut perak. Mendengus dari lubang hidungnya. Menikmati setiap tulisan yang dia rangkai kata-katanya.

"Kau sudah datang rupanya, Issac. Bagaimana hari pertama di sekolahmu?" tanya Tristan.

"Baik-baik saja," ucapnya bohong.

"Tidak perlu berbohong begitu. Aku memanggilmu kemari karena mengkhawatirkan keadaanmu. Hanya itu saja."

"Benarkah? Apakah anda menanyakan kemari perihal perlakuan mereka terhadap saya?"

"Tidak tahu. Tapi yang pasti, aku tidak ingin kau bernasib dengan para siswa yang ada di luar sana. Mengejek orang demi mengejar status kehormatan keluarga. Melakukan segala cara demi mendapatkan juara kelas hingga mendapatkan predikat lulusan terbaik dengan cara menjual diri. Terutama kalau kau perempuan."

Issac memilih diam sejenak. Menunggu Tristan selesai berbicara. Dari segi penampilan, beliau tidak mempedulikan dari segi rambut. Jika diperhatikan baik-baik, rambut gimbal dan kumisnya mulai memanjang seiring berjalannya waktu. Kulit sudah mulai mengalami keriput. Terutama di bagian wajah hingga kedua lengannya. Selain itu, Tristan tidak menyukai bersepatu. Dan memilih sandal bakiak sebagai penunjang alas kaki.

"Bagaimanapun juga, aku tidak akan memperlakukan orang lain secara khusus. Termasuk dirimu."

"Tanpa anda mengatakan, saya sudah paham pesan bapak."

"Baguslah …"

Bulu hewan ditaruh di atas meja. Tristan menyuruh peri bergaun biru untuk mengambil berkas mengenai Issac Garretwards. Jemarinya dijilatinya. Membuka satu persatu halaman yang ditulis dan dilaporkan. Saat itulah, bimbingan konseling antara Tristan dan Issac telah dimulai. Sampai waktu lonceng bel berbunyi.


CREATORS' THOUGHTS
Dimas_Pratama Dimas_Pratama

Arc ini bernama Aeckland Stronghold. Silakan mampir untuk baca ya.

Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login