Download App

Chapter 2: Rumah Taksa

Hari ini, Taksa sudah tidak tahan lagi untuk menutupi semua pengorbanan Citra pada Saka. Sengaja Ia membeli rumah sederhana di komplek dimana Citra tinggal. Taksa ingin tahu reaksi Saka setelah melihat kondisi Citra.

"Bangun, woy!" seru Taksa membangunkan paksa Saka dari alam sadarnya.

"Cepat bangun…!" Masih tidak mendapat respon, Taksa berlalu ke kamar mandi dan mengambil satu air gayung penuh.

Saka terkejut kala percikan air mengenai wajahnya. "Bibi! Apa-apaan ini?" Seketika pria yang tengah tertidur langsung terperanjak duduk.

"Makanya bangun. Kerjaanmu tiduuurr mulu, emangnya gak takut rejeki di patok ayam?" Taksa membuang gayung ke sembarang tempat, tidak peduli air pun berceceran ke lantai.

"Ngapain sih, pagi-pagi udah bikin rusuh kamar orang? Gak ada kerjaan ya, kamu?"

Taksa berjalan angkuh, mengambil duduk di samping Saka. "Aku mau mengajak kamu melihat rumah baruku. Cepetan mandi dan siap-siap. Aku tidak mau ada penolakan. Kamu kan pintar dalam bidang furniture, oleh sebab itu aku mengajakmu agar bisa memberiku pendapat nantinya."

Saka membuang wajah malas, tapi tak kuasa untuk menolak ajakan sahabatnya. "Ya sudah, sono keluar dulu. Aku mau mandi dan siap-siap," usir Saka.

"Cepetan, sudah siang nih. Aku janjian jam sepuluh pagi ini," desak Taksa.

"Iya bawel." Taksa tersenyum puas, lalu meninggalkan Saka yang masih cemberut menahan kesal.

Saka keluar dari kamar setelah menyelesaikan ritualnya membersihkan badan. "Aku sudah siap, ayo berangkat!" Ajak Saka.

"Tunggu, aku belum sempat sarapan di Apartemen tadi. Aku ingin makan dulu sebelum kita pergi ke sana." Saka memutar bola matanya. Temannya ini memang paling pandai mengaduk-aduk emosinya.

"Lalu ngapain aja kamu dari tadi? Aku kenyang, sebaiknya kita cari makan nanti saja setelah pulang dari tempat yang kamu tuju. Sekalian makan siang." Saka tersenyum menyeringai, dia tahu betul jika temannya itu paling tidak bisa menahan lapar. Anggap saja itu sebagai bentuk balas dendam darinya karena telah mengusik tidur nyamannya barusan.

"Tega sekali kamu memperlakukan aku seperti ini. Apa kamu tidak tahu kalau aku punya asam lambung?"protes Taksa memelas.

"Bukan urusanku." Jelas Saka sangat tahu kalau saat ini Taksa hanya mencari simpati darinya. Taksa sama sekali tidak memiliki riwayat asam lambung, semua hanya akal-akalan dari pria rese agar dikasihani. Tapi sayang sekali, Saka tidak terpengaruh sedikit pun. Apa lagi wajah memelasnya itu, yang ada ingin sekali Saka memukul kepala sang sahabat sampai pingsan dan dia bisa kembali melanjutkan mimpi yang tertunda.

"Hei, bagaimana kalau sampai aku pingsan di jalan?" Sungguh pertanyaan yang mengada-ngada. Saka pun cukup menggelengkan kepala dan meninggalkan Taksa de ngan wajah cemberutnya.

Membutuhkan waktu tiga puluh lima menit, akhirnya keduanya pun sampai di komplek perumahan yang cukup dikenal oleh Saka. "Bukannya ini daerah rumahnya Citra?"

"Yups, benar sekali."

"Kamu sengaja mencari rumah daerah sini?" selidik Saka.

"Tentu saja. Kamu tahu sendiri masalah keuangan, aku tidak seberuntung dirimu. Levelku jauh di bawahmu," Ujar Taksa tenang, namun dia tidak menyadari dengan raut perubahan wajah sahabatnya.

"Sudah berulang kali aku bilang padamu, jangan pernah membandingkan materi di depanku. Aku benci itu."

"Ya ya ya, sorry. Aku keceplosan." Perasaan bersalah menyelimuti hati Taksa. Ya, Saka memang sesensitif itu bila menyangkut masalah ekonomi. Taksa tahu betul bagaimana kehidupan Saka semasa kecil hingga remaja, yang pada akhirnya membuat Saka masuk ke dalam dunia hitam sampai berhasil membuka usaha sendiri dan hidupnya pun terjamin.

Tidak jauh berbeda dengan Dino, hanya saja, Dino masih setia bekerja dengan Ansel. Sedangkan Saka memang sedari dulu dia hanya menjadi pemain belakang saja bila di butuhkan temannya. Dirinya melalui masa yang berat setelah berita dimana sang Ayah pernah berselingkuh dengan seorang wanita yang anaknya pernah dia tolak ketika pernyataan cinta tertuju ke dirinya.

Bukan karena Saka tidak menyukai Citra, namun hubungan masa lalu memang kerap menghantui masa depannya. Maka dari itu, seberapa keras perjuangan Citra demi mendapatkan cintanya, Saka tidak akan pernah mau meresponnya.

"Tunggu, bagaimana kamu tahu jika daerah sini juga daerah rumahnya Citra? Apa kamu pernah mengantar Citra sebelumnya?" pertanyaan ambigu yang tidak perlu dijawab oleh Saka.

Segera lelaki itu keluar dari mobil diikuti oleh sahabatnya. Netranya menelisik bangunan bercat putih dengan seksama. Rumah yang asri karena di kelilingi beberapa tanaman yang membuat rumah tersebut nampak nyaman dihuni.

"Bagaimana menurutmu? Bagus tidak?" Taksa bertanya tanpa mengalihkan pandangan matanya dari rumah minimalis berlantai satu itu.

"Bagus, ternyata kamu memiliki selera lumayan dalam memilih hunian. Cukuplah saat nanti kamu menikah dan memiliki dua anak. Aku rasa rumah ini akan membawa kebahagiaan terhadap keluarga kecilmu di masa depan," ungkap Saka jujur.

"Terima kasih. Kamu memang selalu tahu apa yang aku inginkan. Ini manfaatnya mengajak kamu melihat calon tempat tinggalku. Dengan begitu, tidak ada keraguan lagi dalam hatikuuntuk melakukan transaksi."

Tak berapa lama, keduanya menghentikan percakapan saat terlihat dua orang beda jenis menghampirinya. "Selamat pagi Mas Taksa, ya?" Tanya sosok pria yang diperkirakan berumur tiga puluh tahun.

"Selamat pagi, tuan Deren." Keduanya bersalaman begitu pun dengan Saka. Sepasang muda itu pun mempersilahkan Saka dan Taksa masuk untuk melihat lebih jelas setiap detail dekorasi rumah yang hendak dibeli oleh Taksa.

Perbincangan cukup hangat hingga menghabiskan waktu satu jam. Mereka pun menemui kesepakatan harga dan pembayaran terlaksana dengan disaksikan oleh notaris yang dipanggil oleh Taksa serta Rt setempat. "Terima kasih atas semuanya, Mas Taksa. Semoga betah dan rumahnya membawa keberkahan dalam hidup Mas Taksa."

"Amin, terima kasih banyak Tuan Deren. Semoga rumah tangga Tuan Deren dan istri selalu langgeng dan samawa hingga ajal menjemput." Deren juga istrinya tersenyum.

"Kalau begitu, kami pamit permisi dahulu. Selamat siang."

"Siang," ucap Saka juga Taksa.

"Kamu pintar juga menawar harga. Bisa nih nanti kalau aku mau beli rumah mengajak kamu, biar dapat harga murah," puji Saka bangga pada sahabatnya.

"Bisa bisa, asal ada udang dibalik batu." Tanpa tahu malu, Taksa mengutarakan keinginannya meskipun sebenarnya itu bercanda. Tetapi, tidak ada salahnya bukan bila Saka lebih sensitive dan mengerti maksud Taksa. Bukankah suatu keberuntungan kalau benar Saka mengeluarkan uang meskipun itu hanya traktiran makan sehari?

Saka langsung menoyor kepala Taksa. "Pasti aku hargai kamu dengan cilok lima ribu," ujar Saka melenggang pergi menuju mobilnya. Seketika langkah kakinya terhenti, "Citra," cicit Saka masih bisa di dengar oleh Taksa.

Taksa pun mengikuti arah mata pandang Saka, seketika senyum Taksa mengembang. Dia berharap dengan melihat kondisi Citra, bisa membuat Saka banyak tanya padanya hingga mengharuskan dia mengatakan segala kebenaran yang selama ini ditutupi.


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C2
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login