Setelah menyelesaikan putaran terakhirku dengan napas tersengal, aku langsung diarahkan menuju latihan kedua. Kali ini, fokusnya adalah kuda-kuda—latihan dasar yang terlihat sederhana, tapi menguras tenaga jika dilakukan dalam waktu lama. Dan ya, itu mulai terasa di kakiku yang sudah seperti jelly.
Kakiku gemetar. Otot-otot terasa terbakar. Tapi aku bertahan. Aku tahu rasa sakit ini bukan hal yang baru. Lucian... tubuh ini, seolah-olah memang sudah ditempa sejak lama. Dalam ingatan samar yang entah dari mana datangnya, aku bisa melihat Lucian kecil yang terus berlatih tanpa henti, tubuhnya diliputi keringat dan luka. Semuanya demi satu hal—balas dendam.
Mungkin karena itu aku masih sanggup berdiri, meski tubuhku protes. Aku hanya merasa lapar. Bukan lemas. Dan jujur saja, kalau ini adalah tubuh manusia biasa... pasti sudah pingsan sejak tadi.
Di sekelilingku, para bangsawan mulai menunjukkan kelemahan mereka. Beberapa dari mereka mulai goyah, bahkan terdengar mengeluh.
"Aku gak bisa lagi..."
"Ini menyiksa... ini bukan pelatihan, ini penyiksaan!"
Yah, wajar. Mereka hidup dalam kemewahan, dilayani sejak lahir, tidak pernah merasakan kerasnya dunia. Tapi aku? dengan tubuh yang diciptakan untuk bertahan hidup.
Pandangan mataku beralih ke Erick. Dia masih dalam posisi sempurna. Tegak, stabil, dan tidak bergerak sedikit pun meski waktu terus berjalan. Lihat saja tubuh itu... apa dia manusia? Itu udah kayak chiter dalam game.
Lalu mataku tertuju pada Sophia. Wajahnya menegang, keringat mengalir deras di pelipisnya. Tak lama kemudian, dia mengangkat tangan, mencoba bicara dengan suara lemah.
"Instruktur... bisakah aku... istirahat sebentar?"
Namun, instruktur hanya menatapnya tajam, lalu menggeleng pelan.
"Jika ini dunia nyata dan kau menghadapi musuh, kau sudah pasti mati karena kuda-kudamu yang goyah itu," jawabnya dengan dingin.
Seketika, suasana menjadi hening. Tak ada yang berani mengeluh lagi setelah itu.
Aku menarik napas dalam, mencoba menahan rasa sakit di paha dan betisku. Tapi di tengah semua itu, entah kenapa... aku tersenyum kecil.
Ini baru permulaan. Jika aku ingin bertahan di dunia ini—aku harus terus maju.
Setelah latihan kedua berakhir—dengan kaki yang hampir tak bisa digerakkan dan napas yang masih berat—kami semua diperintahkan untuk berbaris. Instruktur berdiri di depan kami, masih dengan wajah datarnya yang penuh wibawa.
"Mulai minggu ini," katanya lantang, "latihan fisik akan dilaksanakan setiap hari Senin, Rabu, dan Jumat. Jangan kira ini hanya sekali saja. Ini akan terus berulang... sampai kalian layak menjadi seseorang di dunia ini."
Suara gemuruh lelah dan desahan frustrasi terdengar dari barisan. Beberapa kadet menunduk putus asa. Apa kami akan terus melakukan ini setiap minggu? Tatapan mereka kosong seolah baru saja dihantam kenyataan pahit. Tidak ada yang berani melawan. Tidak ada yang mengeluh. Hanya kepasrahan.
Begitu pelajaran berakhir, aku menyeret kakiku menuju kafetaria. Perutku sudah menuntut haknya sejak latihan pertama, dan sekarang rasanya seperti neraka kelaparan. Aku mengambil nampan, mengantri bersama para kadet lain, lalu menerima sepiring makanan standar akademi: roti gandum kasar, daging kering, dan semangkuk sup yang entah isinya apa.
Aku duduk di meja panjang yang bisa menampung enam orang. Tapi... tak ada satu pun yang duduk di sana bersamaku. Meja itu kosong, kecuali aku. Aku makan dalam diam, memandangi makanan seperti seorang tahanan.
Di tengah kunyahan, aku tak sengaja menangkap tatapan dari arah meja seberang. Sophia. Ia duduk bersama beberapa teman perempuan. Saat mata kami bertemu, dia tersenyum kecil. Sebuah senyum singkat,
Aku berpaling sebentar, lalu mengintip kembali.
Di sebelahnya duduk dua orang yang tampak tidak asing. Absen 1—Olivia Lemonia, gadis dengan rambut biru dan mata seperti berlian dan aura bangsawan kerajaan yang memancar bahkan saat ia hanya meminum sup. Dan satu lagi...
Ah... aku tahu dia.
Luna Werland. Absen 2
Salah satu pewaris keluarga bangsawan terkaya. Namanya sering muncul dalam sejarah perdagangan. Keluarganya adalah penguasa pasar, memiliki pengaruh besar di dunia bisnis, bahkan di luar wilayah kerajaan. Dingin, cerdas, dan tak pernah terlihat ceroboh. Orang-orang bilang, sekali Luna menatapmu seperti barang yang tak bernilai, kau akan merasa lebih rendah dari debu.
Aku melanjutkan makan dalam diam. Suapan demi suapan terasa hambar, tapi tubuhku butuh energi. Di tengah kesunyian ini, tiba-tiba sebuah pikiran muncul di kepalaku—tentang sistem.
Selama ini, sistem itu sering terbuka sendiri, seperti terbuka secara acak. Tapi... bagaimana sebenarnya cara membukanya secara sadar?
“Apa aku harus mengucapkannya seperti di komik-komik?” pikirku sambil menahan tawa kecil. “Aduh, konyol banget... Tapi, ya sudahlah. Siapa tahu berhasil.”
Aku menoleh ke kiri dan kanan, memastikan tidak ada yang memperhatikan. Lalu aku berbisik pelan.
“Open status.”
Ding!
Sebuah panel transparan muncul tepat di depan mataku. Aku langsung membeku.
Berhasil...? Seriusan?
Aku menatap layar itu dengan serius. Tampilan biru transparan itu menampilkan sederet informasi:
---
Nama: Lucian Dreist
Level: 1
Stamina: Lv. 2
Mana: Lv. 1
Kecepatan: Lv. 1
Ketahanan: Lv. 1
Skill yang di punya.
High-Level Camouflage (Tingkat Tinggi)
Keterangan:Skill High-Level Camouflage adalah kemampuan tingkat tinggi yang memungkinkan penggunanya untuk menyamar sepenuhnya menjadi manusia lain, baik dari segi bentuk fisik, suara, hingga aura sihir. Penyamarannya begitu sempurna hingga bisa mengelabui alat pendeteksi sihir dan mata para penyihir berpengalaman. Namun, kemampuan ini menguras mana dalam jumlah besar dan memiliki batas waktu. setelah pemakaian ,Waktu untuk menggunakan skil nya 12jam dan hanya bisa bertahan 5 jam saat menggunakan nya Pengguna juga harus memahami dengan baik sosok yang ingin ia tiru—jika tidak, penyamaran bisa gagal atau retak saat emosi terguncang. Skill ini sangat cocok digunakan untuk misi infiltrasi, penyelidikan, atau menghindari musuh kuat.
Aku mengerutkan kening. “Camouflage tingkat tinggi. Aku bahkan belum mencoba skill itu. Entah efeknya sebagus apa, tapi... ini bisa berguna suatu saat nanti.
Tapi ada satu hal lagi yang membuatku bingung. Di bawah kolom status, ada fitur-fitur yang belum terbuka. Tidak ada nama, hanya ikon abu-abu terkunci.
“Fitur apa ini...?” batinku. Mungkin baru akan terbuka kalau aku naik level atau menyelesaikan kondisi tertentu.
Aku menutup status itu dan kembali makan. Nanti saja kuperiksa lebih dalam... setelah kembali ke asrama.