Download App

Chapter 15: Lamaran 1

Hari ini Bima dan keluarganya bersiap – siap untuk melamar Sefia, segala persiapan telah di lakukan, bahkan kini mereka telah berada di Jogjakarta karena nanti malam mereka akan langsung ke rumah Sefia untuk melamar gadisitu.

Bima dan keluarganya menginap di Jogjakarta sehari sebelum acara lamaran di lakukan, bukan tanpa alasan mereka ingin beristirahat terlebih dahulu sebelum melakukan prosesi lamaran lagipula telah lama mereka tak menikmati kota Jogja dengan seribu kenangan di dalamnya, dari mulai kuliner dan tempat wisata disana adalah saksi bisu pertemuan antara Brasena dan Sandra, yang tak lain kedua orang tua Bima dan Camelia.

Setelah berkeliling kota Jogja, Bima merebahkan tubuhnya di kamar hotel tempat keluarganya menginap sebelum ke rumah Sefia.

Terbayang wajah Sefia yang pasti akan shok setelah mengetahui siapa calon suaminya nanti. Entah reaksi seperti apa yang akan diperlihatkan oleh gadis itu yang jelas, Bima sudah senyum – senyum sendiri membayangkan seperti apa wajah Sefia nanti malam.

Bima merogoh saku celananya lalu mencari kontak Sefia, menekan huruf – huruf yang tercetak disana dengan senyumnya yang mengembang.

[Cie yang mau di lamar…] Send.

Sefia yang juga sedang rebahan di dalam kamarnya dengan seorang pegawai salon yang sengaja di datangkan oleh ibunya untuk merawat tubuh Sefia sebelum acara lamaran di langsungkan.

Sefia melihat isi pesan Bima dan langsung membuat Ia memutar bola matanya.

[Apaan sih Mas bos.] Send.

Bima tersenyum melihat balasan dari Sefia.

[Kalau lagi ga di kantor ga usah panggil Bos dong, cukup Mas aja.]

Sefia mencibir [Helah! Dasar manusia setengah bule, emang pingin banget ya aku panggil 'Mas' Gitu, yang ada itu mister,lha ini wajah bule minta di panggil 'Mas'] Send Sefia.

[Ga ada aturannya juga kan, kalau wajah bule ga boleh di panggil 'Mas' aku juga ada keturunan jawanya kalau kamu lupa, Eyangku asli Jogja] Bela Bima.

[Serah deh, yang mau nglamar anak orang] Send Sefia.

"Kamu yang akan aku lamar, Sef…" Gumam Bima sambil tersenyum melihat foto Sefia.

Tanpa sadar keduanya tertidur di tempat berbeda setelah saling meledek melalui pesan singkat.

*******

Hari telah beranjak malam, kini kedua keluarga sedang sibuk mempersiapkan diri mereka sebaik mungkin untuk melakukan prosesi lamaran.

"Ma, Mel udah cantik belum?" Tanya Melmel sambil berlenggok di depan sang mama.

"Anak mama selalu cantik." Ujar Sandra.

"Siapa yang cantik?" Tanya Bima sambil menatap mama dan Camel.

"Ya melmel lah kak."

"Kirain mamah." Sahut Bima sambil memeluk mamanya dari belakang.

"Sudah siap semua?" Tanya Papa Bratasena saat melihat semua persiapan telah selesai justru sepertinya hanya tinggal menunggu dirinya yang sedang sibuk menerima telepon dari rekan kerjanya.

"Sudah Pah, ayo berangkat." Ajak sang mama lalu mengandeng Melmel, sedangkan Bima dan Papa Brata membawa perlengkapan seserahan lamaran di bantu petugas hotel.

"Ma, melmel beneran udah cantik kan?" Tanya mel mel saat mereka sudah dalam perjalanan menuju ke rumah Sefia menggunakan mobil yang telah di siapkan oleh sopir mendiang eyang mereka.

Mereka memang tidak menginap di rumah Eyang karena masih di renovasi di beberapa bagian.

"Sekalinya jelek ya pasti tetap jelek lah." Goda Bima pada adiknya.

"Jelek – jelek gini aku ini adik kakak. WEkkkk!"

"Pantes Jomblo."

"Shombong Amaaat baru aja Cuma mau lamaran aja, udah shombong!" Melmel tak kalah membalas ucapan sang kakak.

"Sudah – sudah, mau sampai kapan kalian berantem terus! Heran mama.

Kalau bareng selalu saja berantem, tapi kalau jauhan katanya kangen." Gerutu sang mama menengahi.

Kedua kakak beradik itu terdiam namun masih saling menjulurkan lidah satu sama lain, yah! Begitulah mereka, Bima dan Camel sama – sama saling menyayangi saudaranya itu hanya saja memang caranya yang kurang lazim saja. Bertengkar adalah salah satu cara mereka mengutarakan kasih sayang dan perhatian.

Satu jam kemudian, mereka telah sampai di rumah Sefia.

Rumah Khas Jawa yang nampak asri karena banyak pohon besar bertengger di rumahnya, begitu juga dengan tanaman bunga dan buah – buahan yang berjejer rapi di halaman. Pagar rumah besar itu telah terbuka dan siap menerima kedatangan dari keluarga Bratasena.

Begitupula dengan pemilik rumah yang telah berdiri di depan rumah bergaya klasik itu dengan berjajar rapi, mulai dari pemilik rumah hingga Ajudan dan ketua RT setempat, serta beberapa tamu undangan yang masih ada hubungan kekeluargaan dengan Keluarga Sefia.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam warahmatullah."

"Apa kabar Mas Bratasena?" Sapa Pak Wiryo Atmojo ayah dari Sefia.

"Alhamdulilah baik, Mas Wiryo."

"Syukurlah kalau begitu."

Selanjutnya seluruh keluarga saling bersalaman dengan keluarga Bratasena, kemudian bersama – sama mereka masuk ke ruang tamu rumah Keluarga Wiryo Atmojo yang berbentuk pendopo.

"Wah, sudah lama sekali kita tidak berkumpul keluarga besar ya Mas." Ucap Bratasena karena memang mereka sangatlah dekat walau tidak ada hubungan persaudaraan.

"Iya, maklumlah sampean sekarang sudah sibuk dengan bisnis yang meraja lela." Timpal Wiryo Atmojo.

"Kamu bisa saja."

Berbeda dengan keluarga besar yang lain, Bima masih sibuk memindai seluruh pendopo dan sekelilingnya. Ia mencoba untuk mengingat sesuatu.

Hingga Ia melihat sebuah pendopo kecil di kiri rumah Sefia.

"Ma, apa kita pernah tinggal disini sebelumnya?" Tanya Bima dengan suara berbisik di telingga sang mama.

"menurutmu?" Mama Sandra sengaja memancing memori Bima yang sebagian masih hilang karena kecelakaan yang di alaminya saat Ia masih kecil.

Bima terdiam, tak menjawab pertanyaan sang mama karena acara lamaran telah di mulai, Sefia yang tadi masih berada di dalam kamarnya, perlahan berjalan bersama Ibu dan juga kakaknya untuk ikut berada di pendopo.

Bima menatap Sefia tanpa berkedip, sedangkan Sefia sama sekali tidak ada niatan untuk mendongakkan wajahnya sekedar mencari tahu siapa calon suaminya nanti.

Sefia benar – benar pasrah kali ini. Satu hal yang Ia yakini jika laki – laki itu jodohnya maka tak akan bisa Ia tolak walau ia sembunyi di kolong semut seklaipun.

"Masya Allah, sungguh indah ciptaan mu Ya Allah." Batin Bima.

Setelah semua telah berkumpul Papa Bratasena membuka pembicaraan untuk melamar Sefia.

"Kedatangan kami dari jauh, dengan niat tulus karena ijin Allah, ingin meminta Anak Mas Wiryo Atmojo dan Mbak Sri Rahayu menjadi menantu saya.Jika keluarga Mas Wiryo berkenan, mala mini Bima akan melamar langsung dan sekaligus membicarakan tanggal pernikahan."

Jedderrrrr!!!!

Mendengar nama Bima disebut, sontak membuat kepala Sefia yang tadi menunduk kini mendongak tegap menatap laki – laki yang duduk bersila dengan menampilkan senyuman termanisnya.

Disela keterkejutan Sefia, Bapak Sefia pun memberi jawaban atas niat baik keluarga Bratasena.

"Alhamdulilah kami sekeluarga sangat senang dengan kedatangan keluarga sampean, apa lagi ditambah niat baik yang baru saja sampean utarakan. Kami sekeluarga sih setuju saja, tapi semua terserah pada Sefia, karena Ia yang akan menjalaninya kelak."

Selepas bapak dari Sefia berbicara, kini Bima pun ikut berbicara.

"Bismillahirahmanirrahim, Saya Jhonatan Bima Aksara, ingin menyampaikan pada mu Sefia Wiryo Atmojo. Apa kamu bersedia menjadi istriku? Menjadi ibu dari anak – anak kita kelak?"

Sefia menatap Bima tanpa berkedip, entah apa yang harus dia ucapkan sekarang, antara terkejut, bahagia dan rasa kecewa karena merasa di bohongi oleh bosnya sendiri.

"Sefia, apa kamu menerima lamaran nak Bima?" Tanya Pak Wiryo pada anaknya karena sedari tadi Sefia hanya diam taka da reaksi apapun.

"Bismillahirahmanirahim…


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C15
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login