Download App

Chapter 7: First Sight

Satu malam, dimana Anastasia masih terjaga, menahan rasa sakit yang semakin malam semakin merasuk. Layaknya beberapa pisau yang menyayat-nyayat punggungnya.

Ia memeluk erat gulingnya, menutup matanya rapat-rapat merasakan sakit yang luar biasa, hingga pagi menjelang.

Saat Jonathan menjemputnya, Anastasia berusaha keras menyembunyikan kepedihan itu. Ia segera masuk ke mobilnya.

"Aku kemari hanya untuk mengantarnya ke sekolah," ujar Jonathan pada Christine.

Christine hanya diam, membuang pandangannya ke arah lain.

"Maafkan aku atas perlakuanku padamu semalam," Christine tetap tidak menghiraukannya.

Jonathan menyusul Anastasia yang sudah berada di mobilnya sejak tadi.

"Maafkan aku, aku tahu pasti ibumu telah menceritakan semuanya padamu," celetuk Jonathan sembari mengemudikan mobilnya.

Seperti biasa, Anastasia hanya diam menatap ke arah jendela mobil.

"Aku hanya tidak ingin ibumu terlalu keras padamu," lanjut Jonathan.

Kemudian Jonathan merasa janggal ketika tubuh Anastasia kali ini yang menghadap ke arah jendela mobil, bukan hanya kepalanya.

"Ana? Kau tidak apa-apa?" tanya Jonathan.

Anastasia menggeleng sebagai jawabannya, namun setetes air mata jatuh ke pipi lesungnya.

Saat pelajaran berlangsung, Freya juga merasakan hal yang janggal dari Anastasia. Tubuhnya sedikit gemetar serta wajahnya yang tampak pucat.

"Ana? Kau kenapa?" Freya pun menyentuh telapak tangan lanjut keningnya.

"Ana badanmu panas sekali,"

Freya segera menghampiri guru yang sedang mengajar di depan kelas. Memberitahu bahwa Anastasia sedang sakit. Kemudian guru itu segera mengantarkannya ke UKS.

Tak lama sesampai disana, Morgan datang melihat keadaannya. Menyentuh keningnya yang begitu panas dengan lembut.

"Aku ambilkan obat untukmu, di minum dulu ya?" Morgan memberikan sirup obat pereda nyeri untuknya. Anastasia segera meminumnya, lalu merebahkan tubuhnya kembali dengan posisi tubuhnya yang miring.

"Istirahatlah sejenak, aku akan menghubungi Jonathan untuk menjemputmu segera," ujar Morgan lembut namun cemas.

Tak sengaja Morgan menyentuh punggung Anastasia, tubuhnya langsung terjingkat sedikit, kedua matanya terpejam sekilas.

"Ada apa, Ana? Apa punggungmu sakit?"

"Tidak, bu," suara Anastasia sedikit bergetar.

"Coba aku lihat ya,"

Anastasia mencoba menghalanginya.

"Tidak apa-apa, Ana, ibu hanya memeriksanya sebentar saja, ya,"

Morgan terkejut ketika melihat memar di bagian pinggang Anastasia saat membuka sedikit seragam sekolahnya.

"Ya Tuhan," sahut Morgan sembari menutup mulutnya.

Akhirnya Jonathan pun datang di ruang UKS.

"Ada apa dengannya Morgan?" raut wajah Jonathan sangat cemas.

"Aku tidak bisa berkata-kata lagi, maafkan aku, kau bisa lihat sendiri, Jon,"

Jonathan semakin khawatir memandang bibir Morgan yang bergetar saat mengatakannya. Ditambah lagi ketika ia melihat sendiri sekujur punggung Anastasia yang dipenuhi luka memar dan lebam. Kemudian ia segera membawanya ke rumah sakit terdekat.

Perasaan amarah yang tak terkendali ia rasakan saat mengemudikan mobilnya yang kini menuju ke rumah Christine. Sesampai disana, ia membuka paksa pintu rumahnya.

"Christine!" bentaknya keras.

"Ada apa lagi?!" balas Christine menantang.

"Kau apakan, Ana?!"

Christine merasakan ketakutan yang luar biasa saat ia melontarkan pertanyaan itu.

"Jawab!" gertak Jonathan.

Christine tak menjawab apapun, sekujur tubuhnya gemetar hebat.

"Dengar baik-baik! Pertama, jelas aku tidak akan menikahimu! Kedua, aku akan melaporkanmu ke polisi!" lanjut Jonathan.

"Jon, aku mohon jangan, aku menyesal atas perbuatanku," ujar Christine menangis sembari bersujud di hadapan Jonathan, lalu memeluk kedua kakinya.

Namun Jonathan hanya beranggap bahwa segala tangisannya itu adalah air mata buaya. Kepercayaan terhadapnya kini sudah pudar tak tersisa lagi.

"Lepaskan!" mengibaskan kakinya hingga Christine tersungkur.

"Jangan harap kau bertemu dengan Ana, selamanya!"

"Baiklah! Aku juga akan melaporkanmu atas kekerasanmu padaku semalam!" Christine masih saja melawannya.

"Baik! Silahkan! Laporkan saja! Rasa sakitmu itu tidak sebanding dengan yang Ana rasakan sekarang!"

Kemudian Jonathan lebih memilih pergi daripada harus berdebat dengan wanita kaku dan keras semacam Christine.

***

Sore ini, Jonathan mengunjungi rumah Tony yang ternyata tak jauh dari rumah Christine.

"Jon? Ada apa?" setelah membuka pintu rumahnya.

"Aku ingin bicara sebentar, apa kau sibuk?" jawab Jonathan.

"Tidak tidak, silahkan masuk,"

"Aku tahu rumahmu dari Ana, ia berkata bahwa rumahmu tidak jauh dari rumahnya, lalu aku mencoba bertanya-tanya dengan orang di sekitar sini," jelas Jonathan seiring mengambil tempat duduk di ruang tamu.

"Ada apa, Jon?" tanya Tony sekali lagi ketika melihat raut wajah Jonathan yang tampak cemas.

"Ana sedang dirawat di rumah sakit,"

Tony sangat terpukul saat mendengar jawaban dari Jonathan. Ia pun segera menuju ke rumah sakit tanpa basa-basi lagi padanya.

Sesampai di ruang pasien, Tony tak tega melihat Anastasia tergeletak lemah di ranjang dengan saluran infus di lengan kecilnya.

Perlahan Tony menghampirinya, sebab ia tak percaya jika gadis kecil itu adalah gadis kecil kesayangannya. Namun memang begitulah kenyataannya.

Akhirnya ia menangis, karena mengingat mendiang adik kandungnya.

"Jangan lagi," bisiknya sambil mengenggam erat tangan Anastasia.

Jonathan datang menepuk pundaknya.

"Biarkan dia istirahat sejenak," ujarnya.

Mereka berdua keluar dari ruang pasien sejenak.

"Apa yang terjadi padanya, Jon? Katakan padaku?" tanya Tony dengan isak tangisnya yang masih tersisa.

"Christine memukulinya, entah kapan ia melakukannya, Ana tidak menceritakannya padaku, anak itu tidak pernah mengatakan apapun padaku," jawab Jonathan.

"Jahanam, wanita jahanam," bisik Tony geram.

"Tenang, hal ini sudah aku urus kepada kepolisian, serta surat hak asuh Anastasia,"

"Surat hak asuh?" tanya Tony penasaran.

"Aku berikan hak asuh Anastasia padamu, Tony. Aku mengatakan pada mereka bahwa kau saudara kandungku dengan segala upaya yang telah aku lakukan, aku harap kau tidak keberatan..."

"Tunggu dulu, Jon, mengapa tidak kau saja yang merawatnya? Mengapa harus aku?" potong Tony.

"Aku tahu, selama ini kau lah yang paling dekat dengan Ana, jika aku lihat dari cara dia menyambutmu. Maka dari itu aku percayakan ini padamu, Tony," jelas Jonathan.

"Aku orang yang sangat sibuk sebenarnya, dan aku merasa aku tidak pantas merawatnya dengan situasi kehidupanku yang begitu rumit selama ini, aku juga tidak ingin menambah beban anak itu," lanjutnya.

Akhirnya Tony memahaminya, namun ia tetap saja masih tidak percaya saat Jonathan memberikannya hak asuh untuk Anastasia.

Satu jam kemudian, Anastasia terbangun dari tidurnya. Ia tersenyum ketika melihat Tony yang tengah duduk di sebelah ranjangnya.

"Tony," sapa Anastasia dengan suaranya yang terdengar lemah.

"Hei, bagaimana kondisimu sekarang?" sambil membelai lembut rambut coklatnya.

"Aku tidak mengira Tony akan menemaniku disini," senyum hangat yang ia persembahkan membuat Tony sedikit lega.

"Aku akan selalu menemanimu, Ana, cepat sembuh ya,"

Anastasia menatap wajah Tony yang seolah menyembunyikan kepedihan yang ia rasakan. Namun ia tidak tahu apa itu? Ia menggenggam lembut tangan Tony dan tersenyum. Mencoba membuatnya nyaman, mencoba merubah suasana hatinya yang terlihat gundah.

Tony pun membalas senyum, meski tak kuasa lagi menahan air matanya. Ia tetap berusaha membalas senyum manis dari Anastasia.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C7
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login