Download App

Chapter 3: The True Meaning of The Song

- makna lagu yang sesungguhnya -

Alana membuka perlahan buku itu. Ia masih berada di kelasnya sekarang. Ya, setelah ia mengambil buku yang tadi ia temukan di taman, ia masih memiliki jadwal kelas terakhir untuk hari ini.

Bisa langsung Alana simpulkan, pemiliknya sangat menjaga buku itu. Karena setiap lembarnya masih seperti baru, padahal warnanya sudah agak menguning. Namun, hampir tidak ada lembaran yang lecek.

Hal lain yang bisa Alana simpulkan, itu adalah buku lirik. Jangan heran kenapa Alana bisa mengetahuinya, karena setiap lembarnya terisi oleh chord dan not yang tersusun dengan sempurna.

Alana menyenandungkan penggalan lirik yang tertulis disana,

"Hm, bagus juga lagunya" pikir Alana

Hari yang sudah sore membuat Alana tersadar dari kesibukannya. Sudah waktunya ia kembali ke asrama. Hari ini terasa cukup melelahkan bagi Alana.

Saat Alana beranjak keluar dari kelasnya, ia berpapasan dengan seorang mahasiswa. Sepertinya ia sedang kesulitan membawa beberapa buku sendirian. Tanpa pikir panjang, Alana menawarkan bantuan. Ternyata, buku itu harus diantarkan ke perpustakaan.

Kemudian, Alana pun membantu membawakannya hingga ke perpustakaan. Inilah yang membuatnya sangat digemari oleh orang di sekitarnya, ramah dan suka membantu.

Selesai sudah urusan Alana di kampus untuk hari ini. Ia berjalan keluar dari perpustakaan dengan santai, hingga kemudian ia mendengar alunan piano yang dimainkan dengan begitu piawai.

Alunan itu membangunkan rasa penasaran Alana. Ia mendekat ke asal suara itu dimainkan. Ah, ternyata itu ruang musik. Biasanya, sudah tidak ada yang berada di dalam kelas jam segini.

Alana mengintip dari jendela ruang musik di luar, ada seorang pria yang memainkan piano dan menyanyikan suatu lagu.

ALANA'S POV

Eh? Kok liriknya kayak familiar ya?

Ah! Itu lirik yang tertulis di buku. Lirik itu juga sempat ku nyanyikan tadi.

Tanpa sempat mengakhiri rasa penasaran dan lamunanku, pria di ruang musik itu sudah terlebih dahulu menyadari kehadiranku. Kami sempat bertatapan mata. Astaga! Dia itu orang yang sudah mengembalikan buku harianku. Aku bahkan belum mengetahui namanya.

Pria itu berjalan keluar perlahan menuju ke arahku. Tatapannya sedikit menyelidik. Akupun mengambil inisiatif duluan untuk berkenalan. Ku ulurkan tanganku dan memperkenalkan diri.

POV END

Namun, responnya tak sesuai dengan yang Alana duga. Pria itu bahkan hanya menatap Alana dengan dingin dan tidak mengulurkan tangannya sedikitpun.

Keadaan menjadi canggung. Alana menarik kembali uluran tangannya dan kemudian bertanya,

"Nama kamu siapa?"

Pria itu menghembuskan napas sebelum akhirnya menjawab,

"Gavin"

GAVIN'S POV

Sungguh, aku duduk terpaku sembari memainkan lagu yang kubuat. Sebisa mungkin ku ingat setiap bagian lirik yang telah ku tulis. Semua karena buku ku yang hilang.

Tanpa ku sadari, ada seorang gadis yang mengintip dari jendela. Ah, sial! Memangnya dia tak ada ada kerjaan lain selain mengintip orang apa?

Ku langkahkan kakiku keluar. Berharap orang itu pergi sesegera mungkin setelah menyadari kehadiranku. Namun yang terjadi malah sebaliknya. Ku tatap dirinya lekat-lekat. Ah, Hei! Dia kan si gadis buku harian!

Dia kemudian mengulurkan tangannya dan memperkenalkan diri. Entah kenapa, seketika aku lupa bagaimana cara memperkenalkan diri dengan benar. Aku hanya menatapnya tanpa membalas uluran tangannya.

Tanpa sempat menjabat tangannya, ia sudah menarik ulurannya terlebih dahulu. Aku merasa sedikit menyesal, bukan maksudku untuk mengacuhkannya.

Setelah itu, ia menanyakan namaku. Aku menghembuskan napas, membuang jauh-jauh pikiran anehku. Kemudian, ku sebutkan namaku

"Gavin"

POV END

"Gavin aja?" tanya Alana lagi

"Gavin Aksa Martendra" jawab Gavin. Seharusnya ia menyebutkan nama lengkapnya sejak awal. Yah... apa yang bisa diharapkan dari Gavin yang kaku bukan?

Seakan menemukan sesuatu yang berharga, Alana tersenyum manis. Akhirnya ia mengetahui nama lengkap pria itu, ya meskipun harus dengan sedikit usaha.

"Oh iya! Ini buku kamu?" tanya Alana sembari memberikan buku berukir kata G.A.M kepada Gavin.

Tentu saja, Alana menyadari bahwa buku itu memang milik Gavin. Sesungguhnya, ia telah menyadari itu sejak mendengar lagu dan alunan piano tadi. Kemudian, nama lengkap Gavin yang baru ia ketahui semakin memperjelas semuanya.

Awalnya, Gavin menaikkan sebelah alisnya. Seakan heran akan maksud ucapan Alana. Hingga setelahnya, ia menyadari bahwa buku yang diberikan Alana adalah buku liriknya yang sedari tadi hilang.

Gavin sedikit terkejut karena buku yang dicarinya ternyata ada di tangan Alana. Ia baru menyadari kebodohan dirinya karena tidak sadar bahwa buku itu tertinggal di bawah pohon taman ketika ia memperhatikan wajah Alana lekat-lekat dari dekat.

Gavin mengambil buku itu dan mengucapkan terima kasih pada Alana.

"Oh iya, maaf tadi aku sempat baca isi bukunya" ucap Alana mengakui perbuatannya.

Biasanya, Gavin akan sangat marah dan benci jika ada seseorang yang membaca buku lirik miliknya tanpa ijin. Namun, berhubung ia pernah membaca buku harian Alana tanpa seijinnya juga, maka Gavin merelakan perbuatan Alana.

Setelah berkutat dengan pikirannya, Gavin menjawab singkat,

"Iya"

Sungguh, Alana rasa ada perekat di sekitar mulut Gavin yang mencegahnya untuk berbicara lebih banyak. Tak bisakah ia mengucap sepatah kalimat yang lebih panjang lagi?

Kemudian, suasana menjadi lebih canggung. Alana melupakan tujuan awalnya untuk pulang. Ia kembali mencoba membuka topik obrolan,

"Semua lagu itu buatan kamu?" tanya Alana penasaran.

Sayangnya, Gavin hanya menjawab Alana dengan anggukan. Sepertinya, kesabaran Alana sedang diuji hari ini.

"Bagus, aku suka" ucap Alana sambil tersenyum manis.

Deg...

Lagi, jantung Gavin tak bekerja sebagaimana mestinya. Senyum Alana seakan membuat atmosfer dan suasana sekitar menjadi lebih hangat. Dengan cepat Gavin menepis perasaannya.

"tapi..." Alana menggantung kalimatnya seakan ragu untuk mengatakan sesuatu.

Gavin menunggu dan menerka apa yang sebenarnya ingin Alana sampaikan. Namun, bukan jawaban yang ia dapat.

"Ah, tidak. Tidak apa-apa" dengan cepat Alana memperbaiki kalimatnya.

Alana merasa, ia tak pantas mengatakan ini. Karena, entah kenapa ia merasa ada sedikit kehampaan dalam lagu yang Gavin mainkan. Seakan, lagu itu bukan perasaan yang sesungguhnya.

Gavin menghela napas. Ia tidak bisa memaksa Alana untuk meneruskan kata yang tadi ingin disampaikannya. Kemudian, ia kembali masuk ke dalam ruang musik. Memainkan lagu yang belum selesai ia aransemen.

Gavin mengacuhkan kehadiran Alana yang ikut masuk ke dalam ruang musik. Selama ia tidak mengganggu, maka tidak ada alasan bagi Gavin untuk mencegahnya masuk.

>> setengah jam berlalu

Gavin mulai merasa frustasi. Ia menemukan aransemen yang pas. Namun, entah kenapa liriknya seperti ada sesuatu yang kurang. Ia menghela napas dengan gusar.

Alana mengerti perasaan Gavin. Pasti ia sedang kesulitan memikirkan kelanjutan lagunya.

Kemudian, Alana yang hanya memandanginya sejak awal mulai berjalan menuju piano. Ia tidak memperdulikan Gavin yang menatapnya heran tentang apa yang ingin dilakukannya.

Dengan lembut, Alana menekan tuts-tuts piano dengan penuh keyakinan, ketegasan, dan keanggunan. Ia memainkan lagu yang tak pernah didengar Gavin sebelumnya. Lagu yang ia mainkan bukanlah lagu yang rumit, hanya memerlukan chord dasar. Namun, entah kenapa seluruh bagian lagu itu seakan menghanyutkan pendengarnya.

Lagi, dan lagi. Alana telah membuat Gavin terperangah untuk sekian kalinya. Ia terpaku mendengar permainan piano dan suara Alana.

Lagu itu diawali dan diakhiri dengan sangat sempurna. Alunannya benar-benar seperti sihir. Gavin bahkan belum sepenuhnya bangkit dari perasaan takjubnya.

Alana bangkit berdiri, mengambil tasnya dan kemudian melangkah keluar.

"Aku pulang dulu ya, sampai ketemu lagi!" ucap Alana

Sesampainya di depan pintu keluar, Alana mengucap sesuatu dengan pelan,

"Lagu itu dibuat dan dimainkan dengan perasaan, bukan cuma dengan kelihaian"

Memang pelan, namun Gavin tetap mampu mendengarnya. Seakan tertohok dengan perkataan Alana yang telah beranjak pergi, Gavin menyadari sesuatu hari ini.

Selama ini, ia membuat dan memainkan lagu hanya karena itu sebuah hobi dan keharusan. Ia belum pernah mencurahkan perasaannya dengan sungguh-sungguh ke dalam lagu yang ia buat. Itulah yang membuat lagu-lagunya terasa hampa dan kosong.

Gavin bahkan belum sempat mengucapkan terima kasih pada perkataan Alana yang menyadarkan dirinya.

Mungkin, pertemuan mereka memang sudah terencana sejak awal...


Load failed, please RETRY

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C3
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login