Download App

Chapter 2: 1.2 Dream

Suasana antara Lunar dan Ian menjadi canggung mengingat kejadian waktu mereka masih SMP. Mereka menghabiskan makanan mereka lalu membayarnya dan keluar.

Lunar masih termenung. Ian hanya memperhatikan Lunar yang terus menunduk, dan mencari cara untuk menghilangkan rasa canggung ini.

"Masih ada 2 jam lagi sebelum waktu latihan selesai. Apa ada yang ingin kamu lakukan?" tanya Ian. Lunar melirik Ian sebentar dan memikirkan apa yang ingin ia lakukan.

_Padahal aku ingin melakukan banyak hal di cuaca yang cerah ini. Tapi saat sudah mendapatkannya kenapa aku tidak tahu apa yang ingin aku lakukan_

"Ehhmmm... Entahlah. Aku tidak tahu. Selama ini aku selalu pergi dengan orang tuaku hanya untuk bisnis keluargaku. Aku tidak tahu apa yang biasanya dilakukan untuk menikmati waktu luang." Ucap Lunar. Ia selalu pergi ke London hanya untuk urusan bisnis perusahaan keluarganya di sana. Meski begitu ia sangat senang, karena bisa melihat pemandangan London dari langit.

Keluarganya adalah seorang pebisnis yang cukup terkenal di London. Walaupun begitu Lunar tidak ingin tinggal bersama ayahnya di London, karena muak melihat kertas-kertas bertumpukan yang tidak pernah habis.

Hingga akhirnya ia memiliki tinggal dengan ibunya disini yang seorang desainer pakaian terkenal.

Karena menolak untuk tinggal dengan ayahnya, ia harus mengikuti semua jadwal yang sudah diatur oleh ayahnya. Semua itu dilakukan agar Lunar terbiasa disiplin dan bisa menjadi penerus yang perusahaan yang kompeten. Dan waktu untuk Lunar menikmati masa kecilnya benar-benar habis untuk mengikuti jadwal.

Sang ibu juga tidak bisa membantah permintaan sang suami yang merenggut kebebasan putri sekaligus satu-satunya anak mereka. Karena modal yang sang ibu dapatkan untuk bisa sukses seperti sekarang semuanya berkat donasi dari sang ayah. Ibunya pun berpikir mungkin saja itu memang yang terbaik untuk Lunar.

Ian menunduk. Padahal ia tahu kalau Lunar mungkin saja akan mendapatkan masalah karena ajakannya untuk meninggalkan jadwal yang sudah diatur. Ian tidak memikirkan konsekuensinya untuk Lunar.

Lunar melirik Ian yang terlihat murung. Sepertinya Lunar tahu kenapa Ian tiba-tiba menjadi murung, ia mengelus rambut putihnya Ian seperti mengelus kepala seekor kucing. Lelaki itu selalu terlihat polos di depan Lunar.

"Jangan khawatir. Aku tidak apa-apa. Kalaupun nanti ketahuan, ibuku hanya akan mengurungku di kamar dan memintaku menyelesaikan dokumen yang terus menumpuk." Lunar berusaha meyakinkan Ian kalau tidak akan ada masalah besar yang menimpah Lunar meski ia bolos.

"Benarkah?" tanya Ian. Lunar mengangguk.

_Yah... Tidak masalah selama ayah masih di London untuk mengurus bisnis. Ibu tidak akan menghukum berat hanya karena anaknya bolos sekali, kan?_

"Kalau begitu bagaimana kalau kita pergi ke taman bermain? Di sana ayo coba rollercoaster." Wajah murung Ian berubah 180° menjadi seperti anak kecil yang menemukan mainannya.

"Eh... Kalau rollercoaster rasanya agak-" Ian langsung menarik tangan Lunar tanpa mendengarkan ucapan Lunar.

"Ayo cepat!! Jangan khawatir. Aku akan berada di sampingmu." Ian tersenyum ceria. Wajah yang indah itu terlihat bersinar terkena sinar matahari. Mata merahnya memperhatikan Lunar dengan lembut, senyum selalu mengembang di wajahnya. Cahaya yang selalu membuat Lunar menjadi lebih berani.

"Baiklah. Kalau kamu memaksa." Lunar tersenyum bahagia. Mungkin saja kebahagiaan ini akan hilang begitu saja. Tapi ia ingin menikmati kebebasan sementara ini, sebelum kembali terkurung dalam sangkar yang mengekang.

* * *

"Salah. Ini sama saja dengan menyiksaku." Lunar berjalan dengan sempoyongan. Pandangannya sedikit kabur akibat terlalu pusing setelah menaiki rollercoaster.

"Maaf ya. Aku tidak mengira kamu akan sampai seperti ini." Ucap Ian. Ia menuntun jalan Lunar supaya tidak menabrak sembarang orang.

"Berhentilah meminta maaf, ini. bukan salahmu. Aku juga sedikit penasaran bagaimana rasanya saat menaiki rollercoaster. Seharusnya aku sudah menduga sebelumnya." Lunar berusaha menahan rasa mual. Ian membiarkan Lunar duduk di bangku taman dan beristirahat.

"Emm... Aku akan belikan air. Kamu istirahat saja dulu." Ian langsung menghilang di antara kerumunan banyak orang.

Lunar menyenderkan tubuhnya di bangku taman dan memperhatikan orang-orang lalu lalang yang lewat dihadapannya.

Remaja seusianya berbincang-bincang, sepasang kekasih yang berjalan berdua, suami istri dan anaknya tertawa bahagia, dan lainnya.

Lunar mulai berpikir, kapan terakhir kalinya ia bersenang-senang dengan keluarganya?

Angin kencang berhembus, Lunar merasa ngantuk karena terkena angin yang sejuk. Perlahan ia menutup matanya.

* * *

Lunar membuka matanya dan ia terbangun di kamar yang gelap dan mewah. Hanya beberapa lilin yang menjadi penerang.

"Ini dimana? kenapa aku bisa berada disini?" Lunar kebingungan. Bagaimana bisa ia terbangun di kamar yang mewah ini.

ia beranjak dari tempat tidur yang luas itu dan tersadar pakaian yang ia kenakan bukan seragam sekolahnya, melainkan baju tidur putih yang panjang. Jika dipadukan dengan rambut hitam Lunar yang panjang, dan makeup hantu. Ia bisa menjadi kuntilanak.

"Kenapa aku memakai ini baju ini? Dimana seragamku?" Lunar benar-benar kebingungan.

_Apa ini mimpi?_

Lunar mengambil lilin di atas meja dan berjalan ke arah pintu. Perlahan Lunar memutar gagang pintu dan mengintip di sela-sela pintu.

Hanya ruangan yang gelap, Lunar tidak bisa melihat apa-apa. Ia membuka lebar pintu itu. Lorong panjang yang sangat gelap dan besar, dengan beberapa hiasan dinding nuansa eropa.

Lunar menyusuri lorong itu, dan mendapati ternyata posisi tempat ia terbangun ternyata berada di lantai dua.

"Kyaaa!!! Tolong ampuni saya!!!" Teriakan seorang wanita. Lunar sangat terkejut, ia meletakkan lilin di meja paling dekat dan mengambil pedang rapier yang menjadi pajang di dinding.

Lunar berjalan ke arah teriak tadi dan berdiri di depan sebuah pintu besar yang sepertinya asal suara teriakan tadi.

_Sepertinya teriakan itu berasal dari sini_

"Ampuni saya, Tuan!!! Saya tidak akan u-" Sekarang teriakan seorang pria. Sekali lagi suara teriakan meminta pengampunan.

"Ahhhhhh!!!" Suara teriakan wanita dan pria bergantian. Seketika semuanya menjadi hening. Tidak ada suara teriakan lagi yang terdengar dari balik pintu.

Lunar menyiapkan diri, memastikan memegang pedangnya dengan posisi yang benar.

Saat Lunar ingin membuka pintu itu, pintunya terbuka dengan sendirinya. Sosok pria muncul dari balik pintu.

"Oh? Rupanya suara tadi membuatmu terbangun ya? Maaf ya, seharusnya aku membereskannya di tempat yang jauh dari kamarmu." Suara pria terdengar familiar di telinga Lunar, hanya saja terdengar lebih berat.

Wajah pria itu tidak terlihat karena gelap. Tapi matanya terlihat bersinar berwarna merah.

"Kamu-" Suara Lunar bergetar.

"Lebih baik kamu tidur lagi. Masih ada waktu sebelum dini hari." Pria itu menggendong Lunar. dan wajahnya mulai sedikit terlihat di kegelapan karena cahaya lilin. Wajahnya berlumuran darah.

"Kenapa bisa kamu-?!" Seketika kepala Lunar terasa pusing. Pandangannya mulai kabur. Ia sempat melihat pria itu tersenyum dan mendengarnya mengatakan sesuatu.

"Jangan khawatir, beristirahatlah. Semuanya akan aku bereskan. Dan dirimu akan menjadi perantara."

* * *

Ian baru saja kembali dari dari membeli minuman. Tubuhnya basah terkena air.

Ian melihat Lunar yang tertidur di bangku taman.

Ian selalu senang melihat temannya itu bisa beristirahat dengan tenang, namun perlahan wajah Lunar berkerut terlihat ketakutan.

_Mimpi buruk?_

Ian berusaha membangunkan Lunar, tapi tidak juga terbangun. Tubuh Lunar mulai bergetar.

"Lunar! Lunar!" Ian menggoyangkan badan Lunar. Tapi tetap tidak bangun.

"Lunar!!!" Ian berteriak. Perlahan Lunar membuka mulai matanya, tubuhnya keringat dingin. Wajahnya seketika terkejut melihat baju Ian basah kuyuh dan ada noda merah.

"Da-Darah!!!??" Lantas Lunar langsung berteriak membuat semua orang yang melewati mereka berdua memperhatikan mereka. Ian berusaha menenangkan Lunar yang masih syok melihatnya.

"Tenang, tenang. Ini bukan darah. Ini saus tomat. Tadi aku pergi cukup lama untuk membersihkan bajuku dulu. Tapi sepertinya nodanya tidak bisa hilang." Ucap Ian. Lunar kembali memperhatikan noda merah itu. Ternyata warna merahnya tidak terlalu pekat seperti darah.

"Ah... Begitu ya. Maaf." Lunar memijit kepalanya.

"Kamu tidak apa?" Ucap Ian.

"Ah iya. Hanya mimpi buruk. Tapi... Aku tidak ingat bermimpi apa." Lunar berusaha mengingat mimpinya.

"Ah ya. ngomong-ngomong. Bagaimana bisa bajumu terkena saus tomat?" Tanya Lunar.

"Oh ini. Tadi ada perempuan membawa tokkebi hot dog dan menabraku." Jelas Ian.

"Ehmm... Permisi. Maaf mengganggu." Seorang gadis mendekati Ian.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login