Download App
2.95% ZOMBIE AREA

Chapter 8: Para Lansia yang Terbuang

Pagi ini seharusnya menjadi suasana makan yang menyenangkan, tetapi atmosfer berubah menjadi tegang setelah semangkok bubur berserakan di lantai. Soo Hwan, si magang sudah pucat pasi melihat makanan nan terbuang itu.

Seorang nenek berdiri dengan angkuh menghadap pemuda itu. Nenek Hana, begitulah orang-orang di sana memanggilnya. Wajahnya memerah dengan mata yang melotot. Ia dikenal sering mengomel soal rasa masakan, sering berbuat semena-mena tanpa pandang usia dan termasuk orang yang pelit. Sehingga ia cukup terkenal dan ditakuti, tetapi bukan karena nenek Hana sangat kuat dalam hal tenaga, melainkan mereka takut karena keluarga nenek Hana sangat berkuasa di panti jompo itu.

''Menjijikkan! Sekarang lalat bercampur dalam bubur udangku. Kalau tak bisa jaga makanan jangan berada di sini! Berapa biaya rumah sakit jika aku tertelan hewan kotor itu? Lambungku akan berulat. Ambil bubur itu dan cicipi sendiri rasanya!'' suara lantangnya mengganggu semua lansia di sana. ''Aku tak akan menerima permintaan maaf mu, sebelum kau cicipi makanan itu untukku! Sekarang juga!''

Pemuda itu berkali-kali memohon maaf, tapi nenek Hana memaksanya untuk mencicipi bubur yang sengaja ditumpahkan. Soo Hwan begitu malu dan tak berani melawan, terpaksa ia turuti kemauan si tua itu. Pegawai lain hanya menyaksikan kekejaman itu tanpa berniat ikut campur. Mereka sungkan, dan tak punya nyali besar untuk menghentikan perbuatan buruk nenek Hana. Para lansia lain lebih tak berani lagi unjuk diri membela pemuda itu, sehingga hanya mencela perbuatan nenek Hana dari bisik-bisik tersembunyi mereka.

Akan tetapi, hal itu tidak berlaku pada nenek Nam. Ia bangkit dan langsung main jitak kepala pemuda itu. Semua orang terheran-heran.

''Mau-maunya diperintah oleh dia!'' lalu katanya pada nenek Hana, ''Berbaik hatilah sedikit, Hana! Bagaimana jika cucumu yang diperlakukan begini? Apa kau tidak merasa kasihan? Lalat masuk ke buburmu bukan karena ulahnya. Kalau tak suka tinggal di sini, kenapa repot-repot kemari dan cari masalah. Apa ... kau ditelantarkan?'' ucapan terakhir nenek Nam sebenarnya menyebut diri sendiri. Nenek Soo Jin mengerti hal itu. Akan tetapi hal demikian cukup sensitif di telinga para lansia lain, sehingga meledaklah kekesalan nenek Hana.

''Tidak tahu diri! Kupastikan cepat atau lambat kau akan ditendang dari sini!'' ancam nenek Hana, suara lantangnya membisukan semua orang.

Nenek Nam tersenyum menyepelekan. ''Laporkan saja! aku sudah lama ingin keluar. Ayo-ayo laporkan!'' tantangnya dengan berani dan suara yang besar.

Nenek Hana berubah cemberut, kekesalannya membawa kepalan tangan itu menghantam lengan nenek Nam. Walau sempat ditepis, jika tidak, Nenek Nam akan mendapatkan pukulan tepat di dada.

Sebelum terjadi perkelahian sengit, seorang ketua perawat yang biasa dipanggil Jerry, berjalan dengan langkah-langkah besar dan berhasil mencegah pukulan kedua. Ia dengan pandangan garang memerintah para perawat lain untuk membantu menangani nenek Hana. Di tempat itu juga, nenek Hana diberikan obat penenang.

''Kemungkinan, nenek Hana mengalami stres berat. Istirahatkan dia di atas. Dan beri makanan hangat saat sudah bangun,'' interupsi ketua perawat itu. ''Hubungi dokter psikologi keluarganya dan beritahukan untuk kemari.''

Semua perawat yang sempat kisruh, lekas menuruti oleh perintah pria itu. Di tempat itu hanya dia yang tidak memandang status keluarga para lansia. Meski sebagian pemasok ekonomi dari keluarga berada. Pria bernama panjang Han Dong Kyu (Jerry), semula hanyalah seorang anak kecil usia tujuh tahun. Ditinggalkan di tempat itu bersama neneknya berusia 66 tahun. Karena ketelatenan merawat dan menjaga para lansia sehingga dengan bermodal jasa belasan tahun, ia pun diangkat sebagai petugas perawat.

Walaupun tidak berstatus lulusan sekolah resmi, akan tetapi mengikuti sekolah lanjutan yang dibuka oleh pemerintah daerah demi memenuhi jumlah perawat dalam bidang sosial. Pekerjaan tenaga perawat di panti jompo tidak menghasilkan gaji yang memadai, hal itulah menyebabkan lowongan pekerjaan ini tidak banyak digandrungi masyarakat. Umumnya mereka bekerja sebanyak dua puluh jam dalam sehari, dan hanya memiliki dua kali libur dalam sebulan.

Suasana makan kembali sedia kala. Nenek Nam melanjutkan makan bersama lima temannya.

''Benarkah kau ingin keluar dari sini, Nam?'' tanya nenek Soo Jin yang sedikit tuli. Ia juga menatap mata teman-teman lain untuk memastikan ia tak salah dengar. Mereka yang lain mengangguk-anggukkan kepala.

Atas pertanyaan itu, nenek Nam sedikit bimbang. Ia sudah menjadi satu dengan suasana di tempat ini. Akan tetapi di sisi lain, kerinduan pada keluarga terlebih dua cucu manisnya yang sempat menjanjikan akan menjenguknya saat hari libur, tak kunjung datang. Ia ingin sekali pergi dan melihat keadaan mereka. Meski sudah dua bulan kurang empat hari berada di sana, rasa sakit dan marahnya belum hilang sempurna kepada anak serta sang menantu.

''Setelah makan, siapa yang punya waktu untuk membantu ku mencari peta kota ini...?'' tanya nenek Nam seraya melihat kepada wajah teman-temannya.

Mereka saling melirik pada satu orang yang dipandang paling pintar. Yakni pada pria tinggi kurus, duduk di paling ujung dan biasa dipanggil kakek Seo.

Di taman luas nan teduh oleh pohon-pohon, letaknya sebelah tenggara dari gedung Panti. Para lansia tersebar membentuk kelompok secara alami dan beberapa perawat berkeliling memberikan air mineral.

Angin sepoi-sepoi menerbangkan bau keringat mereka, menciptakan sejuknya tubuh sehabis olahraga. Kegiatan olahraga dilaksanakan dua kali dalam seminggu yakni pada minggu dan kamis pagi. Siang itu, selesai melakukan senam bersama, nenek Nam menghampiri enam orang yang beristirahat di bawah sebuah pohon besar, Mereka itu dua laki-laki dan empat wanita. Sebelum nenek Nam duduk, ia meregangkan tubuh. Beberapa lansia di sekitarnya menunjuk dan sesekali berbisik tentang sikapnya yang dianggap pamer kebugaran.

''Hi, Nam Yoo, apa kau tidak lelah? Tiap kali olahraga kau tampak bersemangat sekali.'' Yang berbicara adalah nenek Han. Lansia kurus lagi tinggi. Penampilannya sudah seperti orang disedot maut saking kurusnya. Usianya padahal tak jauh beda dengan nenek Nam yakni 61 tahun.

Nenek Nam berhenti melakukan peregangan. Ia berjalan menghampiri mereka. Ditepuknya pundak salah satu teman agar memberinya celah untuk duduk di bawah pohon.

''Waktu muda dan kulit masih sekencang bayi, aku sering merawat kecantikan. Semasa Sekolah menengah, aku sering kencan dengan senior. Dari pergi ke taman bunga, dinner di pantai, sampai menonton drama Audrey Hepburn,'' ungkapnya dengan bangga. ''Sayang, semua itu berakhir setelah berkeluarga. Punya anak dan mendidiknya sampai-sampai tak terasa usia dimakan waktu. Kalau dipikirkan sekarang, waktu terasa cepat.''

''Dahulu tak pernah terbayang, tua seperti ini,'' nenek Woon ikut berbicara. ''Omong-omong, setelah menikah apa kau tidak merayakan hari pernikahan dengan suamimu? Kau bilang, semua kesenangan semasa remaja hilang saat menikah. Tentu kami jadi penasaran.''

Nenek Nam minum sebentar, lalu mulai bercerita, ''Bagaimana mau merayakan, kami hanya saling mengingatkan hari jadi pernikahan dengan sambungan telepon kabel. Tak kupikirkan sebelum menikahinya, kalau punya suami seorang pasukan pertahanan, ternyata memiliki istri abadi selain aku.''

Ujung kalimatnya membuat mereka heran dan penasaran.


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C8
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login